Urgensi social distancing maupun physical distancing sebagai komitmen komunal untuk memutus rantai wabah Covid-19 memunculkan kesadaran tentang peran terbatas indra manusia.
Ancaman wabah Corona memunculkan reinteperetasi atas peran pancaindra sebagai media relasi sosial manusia. Tulisan ini membahas pandangan santo Bonaventura (1217-1274) tentang indra spiritual (sensus spirituales, spiritual senses) sebagai media baru yang melampaui batas pancaindra.
Tubuh: Media yang Dicurigai. Manusia adalah makhluk indrawi: ia melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, meraba atau menyentuh dengan kulit, menghirup atau mencium bau dengan hidung, dan mengecap dengan lidah. Namun dalam konteks wabah Covid-19, fungsi kulit, hidung dan lidah kendengaran sebagai ancaman bagi relasi sosial, sebab peran indra-indra tersebut justru menjadi media penyebaran virus. Kehadiran fisik yang sudah direduksi karena media daring, dapat semakin terpuruk karena wabah virus yang menyebar melalui tubuh.
Fenomena ini menantang kita menafsirkan ulang (tidak menyangkal atau meniadakan) peran pancaindra dalam pola relasi antara manusia. Telah menjadi kultur umum bahwa orang berjabatan tangan atau merangkul, bahkan mencium, sebagai ungkapan ikatan kasih dan afeksi. Italia, misanya, sebuah negara dengan tradisi kuat ekspresi keakraban melalui rangkulan hangat (abbriacciare) kepada keluarga atau sahabat, tentu sekarang merasakan dampak batasan ini.
Pembatasan secara fisik sangat dianjurkan dalam banyak aktivitas sosial dan keagamaan: Kita semua dianjurkan untuk tinggal di rumah, berdoa di rumah, bekerja dari rumah. Kenyataan ini merupakan kebaruan yang menarik. Dimensi indrawi sebagai bagian esensial keberadaan manusia kini tidak mendapatkan ruang sebagaimana wajarnya. Rasa-rasanya kebertubuhan manusia bukan lagi media yang mutlak untuk mendefinisikan apa yang disebut kehadiran.
Ujian bagi Media Batin. Kita mengalami bahwa ketika tubuh manusia menjadi media yang dicurigai, media virtual mendapatkan ruang. Media tubuh (fisik) menjadi sempit, sebaliknya media virtual dapat bergerak melampaui ruang dan waktu. Jejaring media virtual memungkinkan kontak dan komunikasi secara daring dengan anggota keluarga atau sahabat yang berada jauh di tempat-tempat lain.
Di satu sisi kita tahu bahwa dimensi indrawi begitu penting; namun di lain pihak, semakin disadari bahwa dimensi itu terbatas. Social distancing menyadarkan kita bahwa relasi melalui media indrawi bukan jaminan bagi sebuah relasi batiniah. Social distancing mendorong kita untuk menguji mutu relasi batiniah. Sebab, media fisik itu bermakna hanya kalau didasarkan pada media batiniah yang berkualitas.
Tubuh adalah media komunikasi manusia, dan justru karena sebagai media, ia bukan tujuan final relasi antara manusia. Dan sebagai media yang terbatas, ia memang perlu didasarkan pada motivasi yang lebih mendalam. Ketika Anda hanya bisa melihat orang terkasih di layar gawai, hanya memandang foto diri, tanpa menyentuh atau merangkul, indra fisik perlu diperkuat oleh indra spiritual. Perasaan, intuisi dan emosi berperan penting ketika dimensi fisik menjadi terbatas.
Sensus Spirituales. Indra spiritual sangat relevan dengan ritus iman Kristen. Banyak seruan doa kita lahir dari kepekaan indrawi: ‘Jamahlah aku Tuhan’, ‘pegang tanganku Tuhan’, ‘kudengar Firman-Mu’, ‘kukecup bayi Yesus’, ‘Tuhan peluklah aku’, ‘pandanglah aku hamba-Mu’. Seruan-seruan itu memperlihatkan bahwa lima pintu indrawi membantu kepekaan batin agar dapat merasakan kehadiran Allah yang memang tidak nyata secara fisik. Sensibilitas indrawi mengasah kepekaan hati [sensus cordis]. Ketika kita berbicara tentang indra spiritual, kita tidak sedang mencari penjelasan logis, melainkan hati nurani dan iman yang teguh.
Bagi Bonaventura, kepada orang yang bertobat dan merindukan perjumpaan dengan Tuhan, pada saatnya nanti “mata akan memandang keindahan yang paling cemerlang, lidah akan mengecap rasa yang paling manis, hidung akan mencium aroma yang paling harum, kulit akan merasakan pelukan yang paling hangat, dan telinga mendengarkan suara yang paling merdu” (Solil., IV, 20).
Ia juga merenungkan misteri Salib Kristus dalam citarasa indra spiritual: “Dari salib Kristus menantikanmu, kepala-Nya tertunduk hendak menciummu, lengan-lengan-Nya terentang hendak memelukmu, tangan-tangan-Nya terbuka menyambutmu, tubuh-Nya terkulai pasrah seutuhnya, kaki-kaki-Nya terpaku menantimu dalam diam, bahu-bahu-Nya terbuka menyambut kedatanganmu” (Solil. I, 33-34).
Fenomena Indra Spiritual dalam Gereja. Beberapa minggu lalu viral foto Paus Fransiskus memberikan berkat dari sebuah balkon menghadap Lapangan Santo Petrus yang sepi tanpa peziarah. Tampak Paus memberkati lapangan kosong: Tentu ini bukan berkat hampa! Tak ada umat yang hadir di sana, namun seluruh Gereja bersatu dalam persekutuan spiritual di bawah satu pemimpin yang mewakili Kristus.
Lalu pada 27 Maret 2020, pkl. 18.00 waktu Roma, telah terjadi peristiwa bersejarah dalam sejarah Gereja Katolik: Paus Fransiskus memberikan berkat Urbi et Orbi khusus bagi bumi yang sedang diserang wabah Corona. Tak ada umat yang hadir di lapangan, namun 17 juta orang menyaksikan dari gawai. Gereja yang sedang terombang-ambing diterpah angin, diteguhkan oleh Yesus: ‘jangan takut’!
Apakah Paus telah melakukan sebuah ritual magis? Apakah Ia memperlihatkan ritus tak bermakna? Tidak. Pada momen ini justru tampak jelas bahwa persekutuan spiritual dalam Gereja itu nyata benar, karena memang merupakan akar utamanya. Gereja disatukan Sabda Tuhan, terpadu dalam satu simbol sakramen, bersama memandang salib ungkapan kasih Allah dan berserah pada Maria, model iman.
Where is God? Dalam situasi sulit seperti sekarang, di mana Anda mencari Tuhan? Ia tidak lagi dijumpai dalam gedung Gereja atau Masjid. Ia tidak perlu dicari di lapangan Santo Petrus atau Ka’abah. Ia juga tidak ada di Sinagoga. Tuhan sedang berkata kepadamu: “hari ini aku harus menumpang di rumahmu” (Luk. 19: 5).
Tuhan tak perlu dicari dalam simbol-simbol dan ritus agama yang ramai dan meriah. Kali ini Tuhan mau berbicara kepadamu dalam keheningan. Jangan merasa sudah saleh karena rajin masuk ke ke Rumah Ibadah. Masuklah dalam hatimu, dan dengarkanlah suara Tuhan yang berbicara lembut. Tuhan tidak perlu dicari dengan mikrofon atau pengeras suara. Heninglah, dengarkanlah bisikan-Nya.
Stay at home! Di mana Tuhan hadir? Ia hadir bukan di mall, bukan di alun-alun kota yang ramai, bukan di bioskop atau konser dengan tiket mahal. Jangan mencari tanda kehadiran Tuhan dalam ritual penyembuhan yang menawarkan hiburan sesaat. Ingat, Tuhan sudah selalu memperlihatkan wajah-Nya kepada Anda dalam anggota keluarga. Tinggal di rumah adalah kesempatan untuk berbagi kisah dengan anak-anak, untuk duduk makan semeja dalam keluarga, merehab sudut doa keluarga, mematikan televisi dan bercengkrama bersama keluarga.
Terima kasih Pater….. sangat menyentuh hati ….
Terima kasih pater.
Trima kasih Pater…Refleksinya di masa covid 19… Betul pater.. Dalam kesibukan dengan Rutinitas. Kepekaan jadi tumpul…semoga semakin dipertajam…
Terima kasih pater ?
Kita semua diberi kesempat untuk merefleksikan**maknanya sangat mendalam pater.-Terima kasih atas suguhan lewat tulisan. (Salam & Doa,semoga pater sehat selalu).
Terima kasih Pater sangat menyentuh dan membuat sy u semkin mengerti.
Terima kasih Pater untuk renungannya yg relevan buat refleksi diri
Sungguh postingan yg sangat bermanfaat bagi kita semua utk menyadari lebih dlm akan kehadiran Yesus dlm hati kita masing2. Dlm situasi saat ini mwngajak.kita utk lbh dlm lagi berhubungan/ berkomunikasi lebih dekat dng Tuhan…..
Covid-19 sungguh mengubah segalanya. Tak jarang kita berujar ” biasanya begini,..biasanya begitu…” kali ini Tuhan mengubah yg biasa menjadi luar biasa Terima kasih Pater…Tulisan dan Refleksi yg mendalam.
Keren banget bahasan ini.