Dalam dua dokumen yang ditulisnya, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (EG)dan Ensiklik Fratelli Tutti (FT), Paus Fransiskus menggunakan istilah “Polyhedron”. Istilah ini menarik. Arti kata maupun gambarnya menyingkap idealisme Paus tentang komunitas dunia, hunian semua manusia.
Dalam Matematika polyhedron adalah bangunan utuh yang terbentuk dari berbagai bentuk dasar: A solid figure with many plane faces, typically more than six. Ide dasarnya ialah bahwa sebuah bangunan menjadi solid dan stabil karena ditopang bangunan-bangunan kecil yang solid pula: tanpa yang kecil yang besar rapuh; namun ketika yang kecil berdiri sendiri, ia terasing, eksklusi.

EG. 236: “Model kita bukanlah lingkaran, yang tidak melebihi bagian-bagiannya, di mana setiap titik berjarak sama dari pusat, dan tidak ada perbedaan di antara titik yang satu dengan yang lain. Model kita adalah polyhedron, yang memantulkan konvergensi dari semua bagian-bagiannya, yang masing-masing mempertahankan kekhasannya. Kegiatan pastoral dan politik sama-sama berusaha mengumpulkan dalam polyhedron ini yang terbaik dari masing-masing”.
FT. 145: “kebutuhan global tidak membungkam, pun hal tertentu yang terbukti mandul …model kita mestinya berupa suatu polyhedron, di mana nilai masing-masing individu dihargai, dan keseluruhan lebih besar daripada bagian, namun pula lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya”.
Konteks dari dua kutipan tersebut ialah refleksi Paus tentang ketegangan antara keglobalan dan kelokalan. Dalam segala sektor kehidupan, demi kebaikan bersama, hendaknya diupayakan prinsip ‘keseluruhan lebih besar dari bagian’. Ada satu benang merah: EG bab IV berjudul ‘Dimensi Sosial Evangelisasi’, sedangkan bab IV FT berjudul: ‘Hati yang terbuka pada Seluruh Dunia’.
“Kita perlu memperhatikan dimensi global untuk menghindari kepicikan dan kedangkalan. Namun kita juga perlu melihat yang lokal, untuk menjaga kaki kita tetap berpijak di tanah. Bersama-sama, keduanya mencegah kita jatuh dalam salah satu ekstrem” (EG 234; FT 142).
Gagasan sedada diulangi dalam FT: “…tidak mungkin menjadi ‘lokal’ secara sehat tanpa keterbukaan tulus akan yang ‘universal’, tanpa merasa ditantang oleh apa yang terjadi di tempat lain, tanpa keterbukaan untuk diperkaya oleh budaya lain, dan tanpa solidaritas serta perhatian akan berbagai tragedi yang menimpa orang-orang lain” (FT 146).
Paradigma ini relevan untuk banyak hal lain: Misalnya tentang relasi antara manusia. Aku yang otentik adalah hadiah bagi komunitas. “Saya tidak dapat sungguh berjumpa dengan yang lain kalau saya tidak berdiri di atas landasangan yang kokoh, sebab hanya atas dasar landasan tersebut saya dapat menerima hadiah yang orang lain bawa dan sebaliknya memberikan hadiah yang otentik dari pihak saya. Saya dapat menerima sesama yang berbeda dan menghargai sumbangan uniknya yang mereka buat, hanya jika saya kokoh berakar dalam masyarakat serta budaya saya” (FT 143).
“Tanpa menjumpai serta berelasi dengan keperbedaan, sulit untuk mendapatkan suatu pemahaman yang jelas dan utuh bahkan tentang diri kita sendiri serta tanah air kita” (FT 147).
Enskilik Laudato Si, tanpa menggunakan istilah yang sama, menyerukan visi yang sama: “ekologi integral”. Bumi menjadi solid karena tanah, air, udara, angin, api,….Manusia bergantung pada bumi yang sehat. Tindakan kecil satu manusia merawat bumi adalah kontribusi bagi keutuhan komunitas dunia. Tanpa kekayaan lokal, kebutuhan global tidak tercukupi. Semua terkoneksi. Saling butuh.
Berulang kali Paus Fransiskus merefleksikan bahwa bumi adalah rumah bersama, perahu bersama, satu persaudaraan. Setiap manusia, dengan beragam kemampuan, agama, keyakinan, kekayaan, peran, adalah bangunan-bangunan bagi polyhedron persaudaraan semesta: persekutuan.
EG telah menegaskan bahwa ‘prinsip ini juga berbicara tentang totalitas atau integritas Injil yang diwariskan Gereja, di mana kita diutus untuk mewartakannya’. Injil adalah ragi yang menyebabkan adonan mengembang. Injil adalah cahaya yang menerangi semua bangsa’. Pesannya jelas: ‘Injil tidak akan berhenti menjadi Kabar Baik selama belum diwartakan kepada semua orang’ (237).
“Masing-masing kelompok tertentu menjadi bagian dari jalinan persatuan universal dan di dalamnya menemukan keindahannya sendiri. Semua individu, dari mana pun asalnya, tahu bahwa mereka adalah bagian dari keluarga umat manusia yang lebh besar, yang tanpanya mereka tidak dapat memahami diri mereka sendiri secara penuh” (FT 149).
Bangunlah spirit polyhedron di rumah, di komunitas, Gereja dan masyarakat. Banyak anggota namun satu tubuh, banyak karunia namun satu Roh, banyak peran namun satu persaudaraan.

Terima kasih Pater ……
Terima kasih pater