Iman lahir dari mendengar, fides ex auditu. Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia (Mat 17: 5). Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus (Rm. 10: 17). Manusia dapat berbicara tentang Allah karena Allah berfirman kepadanya.
Manusia berkata-kata tentang Tuhan dengan perkataannya, tetapi Tuhan adalah Perkataan yang sebenarnya, Logos, Firman yang menjadi daging. Seorang murid Yesus perlu belajar mengoreksi perkataannya, logikanya, agar dapat merasakan Perkataan Tuhan, bahkan menyentuh sang Sabda sekalipun sejenak, seperti Veronika menyeka wajah Yesus, agar mendapat gambar rupa Yesus.
Pengalaman dua murid Emaus merupakan contoh perubahan cara pikir karena daya Sabda. Yesus sudah bangkit. Namun kedua murid merasa putus asa karena menganggap proyek Yesus sudah gagal. Sabda sendiri mendekati mereka, tampak seperti satu-satunya orang asing di Yerusalem yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini (Luk 24: 17). Kedua murid itu sibuk menafsirkan pikiran mereka sendiri.
Sang Sabda ikut berbicara, menjelaskan tentang isi Sabda untuk membuka mata hati kedua murid. Karena sibuk dengan cara pikir sendiri, kedua murid itu lupa pula akan nubuat-nubuat kebangkitan. Dan di rumah Ia tinggal bersama mereka, memecahkan roti, dan mereka pun mengenal Dia. Kehadiran Sabda memuncak pada adegan pemecahan roti. Sabda hadir sebagai pribadi, bukan lagi perkataan. Ia hadir dengan bahasa tubuh yang menyimbolkan pemberian diri-Nya: Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka (Luk. 24: 30).
Jika dalam perjalanan kedua murid tenggelam dalam cara pikir mereka sendiri (logos mereka sendiri), kini mereka merasakan kehadiran Perkataan Allah (Logika ilahi). Jika sebelumnya mereka terkesan bodoh dan lamban, kini mereka dapat merasakan sentuh sang Sabda: Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kita Suci kepada kita? (Luk. 24: 32).
Sentuhan Sabda mendorong mereka bangun dan kembali ke Yerusalem, dan di sana mereka berbagi pengalaman dengan teman-teman (bdk. 24: 33-35). Sementara mereka bercakap-cakap Yesus tiba-tiba berdiri di tengah-tengah mereka (24: 39). Kehadiran sang Sabda yang telah memuncak dalam pemecahan roti berulang kembali: Para murid berkumpul-Sabda hadir di tengah-tengah mereka-para murid siap diutus.
Ekaristi merupakan anugerah kasih Tuhan. Dikatakan anugerah karena bukan hasil pikiran manusia, melainkan persembahan Diri Kristus bagi manusia. Dalam bahasa Luc Marion, kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi mengangkat kesadaran setiap individu kepada kesadaran akan sebuah persekutuan.
Ekaristi memutuskan gap antara kesadaran satu individu dengan individu lain. Kini setiap pribadi dalam komunitas disatukan oleh satu Tubuh, Tubuh Mistik Kristus. Komunitas tidak lagi menjadi eksklusivisme kelompok, karena setiap orang menempatkan Sabda sebagai pusat komunitas.