Neraka merupakan salah satu bagian dari tema realitas eskatologis, selain Api Penyucian dan Surga. Dalam Injil pada umumnya neraka diidentikkan dengan kuasa iblis.[1] Yesus sendiri sering berbicara melawan kuasa Iblis. Ia sendiri pernah mengalami godaan Iblis di padang gurun dan ketika Ia mengalami ketakutan akan maut (bdk Mat 4; Mrk 1; Luk 4: 22, 53, dll).
Terang vs Gelap. Yesus menggambarkan kuasa-Nya sebagai terang dunia (Yoh 8: 12) yang bertentangan dengan gelap (bdk Yoh 3: 19) yang identik dengan kuasa Iblis. Injil menunjukkan bahwa karya Yesus adalah karya pembebasan manusia dari kegelapan karena kuasa Iblis (bdk Mat 4: 16; Luk 1: 79; Yoh 12: 46; Kis 26: 18; Rm 13: 12; Kol 1: 13; 1 Ptr 2: 9 dll).
Jelas bahwa terang tak dapat berada bersama kegelapan, karena keduanya bertentangan satu sama lain. Jika seseorang memilih Kristus, ia tidak dapat sekaligus tinggal dalam kegelapan. Kebenaran atau terang tidak dapat dipersamakan dengan kedurhakaan atau kegelapan. “Persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap”? (2Kor 6: 14). Tidak ada orang yang tinggal dalam kegelapan mendambakan terang (bdk Ef 5: 11; 1Tes 5: 4-5; 1Yoh 1: 6; 2: 9, 11 dll).
Yesus sendiri juga berbicara tentang tempat di mana ada kuasa Iblis atau kegelapan: “Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub dalam Kerajaan Surga, sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Mat 8: 11-12); “Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (Mat 22: 13).
Neraka Menyala-Nyala. Selain ‘kegelapan’ Yesus juga menggunakan gambaran lain tentang kuasa Iblis, yaitu neraka yang bernyala-nyala.[2] Beberapa teks PB yang membicarakan neraka: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil ! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat 5: 22).
“Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan m engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka” (Mat 5; 29-30; 18: 9; bdk Mrk 9: 43-47).
“Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka” (Mat 10: 28; Bdk Luk 12: 5).
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk menobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri” (Mat 23: 15).
“Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka”? (Mat 23: 33).
Suatu Tempat? Istilah neraka (Hell, Gehenna) merupakan terjemahan dari istilah gehenna yang berasal dari bahasa Aramik gehinnam dan diterjemahkan dalam bahasa Yunani gehenna atau Ibrani gehinnom yang menunjuk lembah Ben-Hinom di sebelah selatan sepanjang lereng gunung Yebus di Yerusalem (Bdk. Yos 15: 8; 18: 6) – kini wilayah Wadi er-Rababe.
Pada sekitar Abad ke-VII SM, di lembah ini orang sering kali mengadakan ritus mempersembahkan anak-anak yang dibakar api kepada patung tuangan dewa Molokh (2Taw 28: 3; 33: 6 dll). Karena itu raja Yosia misalnya, menyebut tempat itu sebagai tempat najis (2 Raj 23: 10). Nabi Yeremia menubuatkan bahwa lembah itu akan menjadi tempat pengadilan, dan ia menamakannya lembah pembunuhan atau tempat mayat-mayat dikurbankan (Yer 7: 32; 19: 6-7). Demikian pula sumber-sumber Yudaisme yang tidak masuk kanon Kitab Suci juga mengidentikkan wilayah tersebut dengan lembah api dan tempat pengadilan akhir.
Yesus menggunakan pengetahuan ini untuk menjelaskan kepada para pendengarnya tentang neraka sebagai tempat kuasa Iblis, tempat di mana ada “api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya” (Mat 25: 41). Dengan pedas Yesus juga mengatakan bahwa orang yang telah menyesatkan orang lain dan melanggar perintah Allah akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah terdapat ratapan dan kertakan gigi (bdk. Mat 13: 41-42). Perihal keberadaan orang-orang dalam hukuman di neraka, Yesus dengan jelas menggambarkan bahwa di tempat tersebut “ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam” (Mrk 9: 48 mengutip Yes 66: 24) dan di sana terdapat “api yang kekal” (Mat 25: 41).[3]
Dapat dikatakan bahwa teks-teks PB memberikan pesan baik yang berkaitan dengan kondisi atau sikap moral, maupun tentang suatu ‘tempat’ di mana orang mengalami hukuman, yang pada umumnya disebut neraka. Pesan tersebut telah dibahasakan Santo Agustinus demikian:
“Dikatakan bahwa neraka itu berada di bawah tanah karena keberadaannya yang bercorak badaniah; juga karena jiwa dari orang yang telah meninggal, yang berdosa karena cinta pada keinginan daging, pantas masuk dalam neraka yang disediakan hanya bagi mayat-mayat. Oleh karena itu kata neraka dalam bahasa Latin disebut inferi, karena ia berada di bawah tanah. Dari segi jasmaniah, menurut hukum gravitasi, yang paling berat berada di bawah, demikian halnya dari segi rohaniah, yang berada paling bawah ialah yang paling sedih.”[4]
Neraka Bersifat Kekal? Apakah benar bahwa Allah mengganjari orang yang berdosa dengan api neraka, dan itu berarti ada manusia yang tidak diselamatkan? Greshake membedakan antara bahasa informatif dan performatif.[5] Ketika Yesus berbicara tentang neraka, Ia menggunakan bahasa performatif dengan tujuan untuk memengaruhi pendengar merealisasikan masa depan yang baru berdasarkan kesadarannya akan kenyataan yang ia alami sekarang.
Bahasa performatif itu mem-format kesadaran orang untuk membuat keputusan dan menempatkan dalam suatu realitas baru sebagai orang beriman. Kata-kata Yesus tentang neraka perlu dimaknai dalam suatu konteks dan pesan yang hendak disampaikan kepada pendengar; jadi bukan melulu suatu informasi tentang keberadaan neraka.
Pandangan Greshake itu mengandung pengertian bahwa menyangkal sama sekali adanya Neraka berarti jatuh dalam relativisme iman, karena dengan demikian tanggung jawab manusia dalam beriman diabaikan; sebaliknya memaknai Neraka sebagai hukuman definitif tanpa menyisakan harapan akan kerahiman Tuhan berarti membentuk cara beriman yang penuh rasa takut.[6] Betapa absurdnya hidup manusia yang hanya berakhir dengan suatu kehancuran kekal.
Dengan kata lain, Neraka bukan sekedar metafora, melainkan suatu pertanggungjawaban manusia atas tindakan bebasnya menyangkal dan menolak kasih Tuhan. Pernyataan terakhir ini hendaknya di maknai secara luas, yaitu dalam konteks harapan akan keselamatan dari Allah.
Keterpisahan dari Tuhan. Neraka menggambarkan situasi orang yang terpisah dari Tuhan, karena ia dengan sadar menolak tawaran keselamatan Allah yang diungkapkan dalam diri Yesus Kristus. Ia hidup terpusat pada dirinya, seakan-akan tidak Allah tidak ada (etsi Deus non daretur). Allah menghargai kebebasan manusia, termasuk kebebasan manusia untuk menolak tawaran keselamatan yang diberikan oleh Allah.
Gereja Katolik meyakini bahwa keselamatan itu terwujud ketika manusia menjalin relasi dengan Allah: “Mati dalam dosa berat, tanpa menyesalkannya dan tanpa menerima cinta kasih Allah yang berbelaskasihan, berarti tinggal terpisah dari-Nya untuk selama-lamanya oleh keputusan sendiri secara bebas. Keadaan pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus ini, dinamakan ‘neraka’ (KGK. 1033).
Mengomentari pernyataan KGK no 1033-37, Paus Benediktus ke XVI mengatakan bahwa ada orang-orang yang dalam dirinya telah hancur sama sekali keinginan akan kebenaran dan kesediaan akan kasih. Diri mereka dilingkupi dengan kebohongan; mereka hidup penuh kebencian dan hanya mengejar cinta diri. Sungguh mengerikan pandangan itu, namun menurut Ratzinger “pribadi-pribadi tertentu di dalam sejarah kita ini secara mengejutkan menunjukkan diri sebagai orang yang termasuk golongan semacam itu” (SS 45).
Pilihan untuk bersikap demikian dapat terjadi karena kehendak bebas setiap individu. Bagi Paus Benediktus, “dalam diri orang-orang semacam itu tidak terdapat lagi apa yang bisa disembuhkan, dan kehancuran dari apa yang baik tak terelakkan lagi. Itulah yang dimaksud dengan kata neraka” (SS 45). Ratzinger memberi suatu perspektif tentang pentingnya tanggung jawab manusia terhadap pilihannya sendiri, termasuk pilihan untuk hidup bagi dirinya sendiri, dan itu berarti maut menjadi kata terakhir baginya, bukan harapan.
[1] Gagliardi, La Verità è Sintetica, 837.
[2] Gagliardi, La Verità è Sintetica, 838.
[3] Gagliardi, La Verità è Sintetica, 839.
[4] Agustinus, De Genesi ad litteram, XII, 34, 66 (Gagliardi, La Verità è Sintetica, 839-840).
[5] Greshake, Vita – Più Forte della Morte, 165.
[6] Greshake, Vita – Più Forte della Morte, 166-168.