Karunia kedua, Roh kesalehan. Sebuah anugerah tidak bertumbuh secara otomatis, maka perlu dilatih. “Berlatihlah menjadi saleh. Tubuh manusia memang dapat dilatih, tetapi ia hanya bertahan untuk sementara waktu; sedangkan kesalehan selalu diperlukan” [DD. III, 1].
Pertumbuhan fisik itu penting, namun pertumbuhan spiritual lebih utama. Dimensi spritual itu perlu dilatih terus-menerus. Sebagaimana latihan spiritual lebih utama dari pada latihan fisik, demikian pula kebaikan spiritual lebih utama dari kebaikan sementara. Kebaikan di mata Tuhan lebih lestari dari pada yang layak di mata manusia. Orang yang saleh mampu menentukan prioritas nilai dalam hidup: Ia memberi tempat bagi hal-hal jasmani, namun mengutamakan yang spiritual dan kekal. Inilah sikap awal bagi tumbuhnya roh kesalehan (III, 1).
Santo Bonaventura meneganjurkan tiga bentuk latihan kesalehan. Pertama, berupa upaya menumbuhkan rasa sembah bakti kepada Yang Ilahi (III, 3-4). Menyembah Allah berarti menempatkan Dia sebagai yang paling utama. Misalnya, bahwa Dia adalah Pencipta semesta, maka Ia patut disembah melebihi segala sesuatu:
“Jika kamu berpikir bahwa Allah bukan Pencipta yang telah menjadikan segala sesuatu oleh karena kasih-Nya, kamu tidak menempatkan Dia pada tataran tertinggi; […]. Hendaknya diingat bahwa kebaikan Tertinggi tidak dapat dimiliki atau disembah oleh orang yang tidak memiliki sikap saleh” (III, 5).
Kedua, latihan menjaga kesucian batiniah (interior holiness). Situasi batin yang dimaksudkan di sini ialah rasa damai: bukan sekedar perasaan damai, tetapi damai batiniah. Orang tidak dapat bersikap saleh tanpa memiliki rasa damai dalam dirinya; orang tidak dapat menjadi pembawa damai jika ia tidak berdamai dengan dirinya sendiri. Batin yang damai membuahkan kemampuan menimbang perkara dengan jernih.
Orang saleh mengutamakan sukacita batiniah, bukan hal-hal luaran yang hanya menghibur sesaat. Camkanlah ini: orang yang lebih mengutamakan sepatu dari pada kakinya, ia tidak sungguh-sungguh mencintai kakinya (III, 6).
Ketiga, latihan memupuk sikap bela rasa (compassion). Kesalehan yang sejati tidak disimpan untuk diri sendiri. Dalam diri orang yang saleh tumbuh sikap bela rasa. Terdorong oleh bela rasa, orang mau membagikan kebaikan kepada sesama. Wujud bela rasa tidak hanya dalam kesediaan berbagi materi. Sebagai bentuk kesalehan bela rasa juga dikaitkan dengan kesabaran dan kelembutan hati. Kesalehan merupakan lawan dari kelaliman dan kemarahan. Kata-kata Bonaventura sejak delapan abad lalu terdengar aktual untuk situasi sekarang:
“Sekarang ini terjadi kelaliman yang begitu besar, sehingga balas dendam pun belum cukup. Sekarang ini manusia dikendalikan oleh sikap tidak sabar dan amarah; mereka saling mengadili secara semena-mena” (III, 9).
Dari mana sumber kesalehan? Sumber utama kesalehan ialah Allah Trinitas (III, 10). Allah Bapa adalah sumber belas kasihan. Ia adalah sumber kerahiman: “Pandanglah segala karya Allah, dari yang paling awal sampai yang paling akhir. Anda akan menemukan bahwa karya kerahiman Allah itu luhur, lebih luhur, dan yang paling luhur. Karya besar Allah ialah alam semesta. Karya lebih besar ialah rahmat ilahi. Dan karya terbesar ialah kemuliaan-Nya”. Kerahiman Allah itu bagaikan mata air yang mengalirkan kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Jika ada mata air rahmat yang mengalirkan kehidupan, mengapa kita malah menjauh darinya? (III, 11).
Roh kesalehan juga mengalir dari diri Yesus Kristus. Sumber itu terpancar dari wajah Allah secara paling nyata dalam peristiwa salib. Salib merupakan sakramen kesalehan. Sakramen ini ‘menjelma dalam daging’, ‘dibenarkan oleh Roh’, ‘diimani di seluruh bumi’, dan akhirnya akan menjadi ‘penuh dalam kemuliaan’. Sebagai sumber anugerah kesalehan, Sabda menjelma dalam rupa roti, sebagaimana yang dirayakan dalam Ekaristi. ‘Sakramen kesalehan’ turun ke altar setiap hari; Ia memenuhi hati kita, agar hati yang beku dicairkan (III, 12).
Kesalehan juga mengalir dari Roh Kudus. Roh menyertai kita melalui sakramen-sakramen Gereja. Rahmat Allah mengalir melalui Bunda Gereja: satu Bunda bagi semua anak yang tersebar di mana-mana. Segenap anggota Gereja adalah anak-anak dari Tubuh Mistik Kristus. Kita, umat Allah ibarat anak-anak yang lahir dari satu rahim. Orang Kristen yang saleh menyadari diri: Siapakah Ibuku? Siapakah Bapaku? Ia juga mampu berefleksi: Apakah saya berbela rasa (compassion) terhadap saudara-sadaraku, khususnya mereka yang menderita? (III, 13).
“Kita adalah anggota dari satu Tubuh. Kita menerima nutrisi dari makanan yang sama. Kita keluar dari rahim yang sama. Kita mendapat warisan yang sama pula. […]. Karena itu kita menyatu dalam Satu Kesalehan. Datanglah kepada Bapa, Ia menyambut-mu; datanglah juga kepada Ibumu, yaitu Gereja. Dengan pertolongan Bunda Gereja, pendosa besar pun tergerak untuk bertobat. Karena itu, marilah kita berbela rasa satu sama lain” (III, 13). Melalui sakramen-sakramen, semua anggota Gereja dipersatukan dalam Kristus (III, 14-15).
Sebagaimana Roh takut akan Allah, Roh kesalehan pun memberi nilai guna (III, 16): Pertama, dengan sikap saleh, orang belajar mengetahui kebenaran (truth). Kebenaran yang dimaksudkan di sini ialah bahwa keselamatan itu nyata dalam diri Yesus Kristus. Bonaventura menulis:
“Tuhan memberikan banyak karunia kepada ciptaan-Nya, tetapi kebenaran diberikannya secara istimewa kepada orang saleh. Bersikap saleh berarti percaya teguh bahwa saya memiliki sumber keselamatan, yaitu Yesus Kristus. Memiliki kesalehan dalam diri berarti mengandalkan Kristus sebagai sumber Kebenaran. Yesus lah jalan, kebenaran dan hidup bagiku” (III, 17).
Kesalehan juga membantu kita terhindar dari bentuk-bentuk kejahatan. Tuhan melindungi orang-orang saleh. Orang yang bersikap saleh, selalu waspada, siap menghadapi jebakan iblis. Orang saleh memiliki suara hati yang peka. Orang saleh memiliki kerinduan dalam diri untuk bebas dari kuasa dosa. Ia memuliakan Tuhan dan mengecam kejahatan dosa (III, 18).
Akhirnya, dengan bersikap saleh, orang akan selalu terarah kepada pilihan yang baik. Orang saleh selalu mau menempatkan Allah Bapa, Sang Kebaikan Tertinggi, sebagai pusat hidupnya. Hidup orang saleh bertumbuh dari sikap yang baik menuju yang terbaik (III, 19).
Renungan: Apakah sikap saleh-ku sungguh terpancar dari sukacita batin? Semoga Tuhan menganugerahkan kepadaku Roh Kesalehan agar aku mampu mengasihi sesama dengan tulus. Amin.
Terimakasih Romo…
Tk Sdra artikelnya ttg buah2 roh
Semoga Tuhan menganugerahkan Roh Kesalehan agar aku mampu mengasihi sesama dengan tulus… Terima kasih pater atas suguhan artikel yang sangat bagus… (Salam & doa,, semoga pater sehat selalu) —-SALAM SEHAT,..
Orang saleh memiliki suara hati yang peka, Gracias Padre