Pusat perayaan Natal ialah Yesus Kristus. Kelahiran Yesus diyakini umat Kristen sebagai kelahiran kasih Allah bagi manusia.
Manusia mengungkapkan kasih dengan berbagai cara, tetapi Allah memiliki cara tersendiri, cara yang istimewa, yaitu memberi diri-Nya untuk keselamatan dunia. Allah mengasihi dengan cara rela kehilangan diri sendiri demi dunia. Tentu Allah sendiri yang paling mengerti tentang cara mengasihi. Sebab “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1Yoh 4: 16). Deus Caritas Est, demikian judul Ensiklik Benediktus XVI.
Seperti peristiwa kelahiran pada umumnya, kelahiran Yesus membawa sukacita bagi seluruh rumah dunia. Segenap isi rumah menanti dan menyambutnya. Santo Antonius Padua melukiskan bahwa Natal adalah senyum Tuhan kepada dunia. Senyum adalah ekspresi ucapan damai, kelembutan, bahkan kasih.
Sekarang sukacita ilahi sudah ada di tengah-tengah kita. Allah sudah hadir bagi kita. Di hari Natal mata dunia menyaksikan bahwa “kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Tit 2: 11) dalam diri bayi yang lembut bagi semua makhluk: lembu dan domba, para gembala, para sarjana, bahkan Malaikat surgawi.
Peristiwa kelahiran sering kali dilukiskan sebagai peristiwa terang. Ketika melahirkan seorang bayi, sang ibu memberi cahaya kepada bayi itu agar kehidupan bertumbuh dalam dirinya. Dalam hal ini kehidupan dikaitkan dengan terang/ chaya. “Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan” (1 Yoh 1: 5). Datangnya sang Terang kehidupan telah dinubuatkan Nabis Yesaya: “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (Yes 9: 1).
Dalam pemaknaan demikian itu peran Bunda Maria patut dimaknai sebagai peran yang tak tergantikan. Sebab Bunda Maria menyalurkan terang bagi bayi Yesus yang adalah pancaran Terang dari Bapa. Maria menyimpan segala perkara di dalam hati dan merenungkannya. Artinya ia menata dengan baik seluruh rentetan peristiwa yang dialaminya berkenan Anak yang dikandungnya, agar tidak menjadi kepingan peristiwa saja, melainkan terangkai sebagai suatu wujud rencana Allah, yaitu menyelamatkan manusia. Seluruh peristiwa Yesus adalah kesaksian tentang pemberian diri Allah agar kegelapan dosa dunia terhalau.
Allah memilih cara terbaik untuk mengasihi manusia. Ia memilih untuk menjadi manusia, bukan manusia super, tetapi manusia paling lemah. Ia hadir sebagai bayi lemah, daging yang rapuh, terbaring di palungan. Allah yang terbaring pasrah dalam palung hewan itu pula yang akan menjadi santapan Ekaristi.
Ibu yang hendak melahirkan bayi Yesus pun harus mengungsi. Ia lahir dalam ancaman maut karena nafsu kuasa politik raja Herodes. Begitu bersahaja wujud kasih Allah itu sehingga Ia terasing di mata umat-Nya sendiri, dan hanya dapat dikenal oleh makhluk lain yang polos: “Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya” (Yes 1: 3).
Cara Allah mengasihi manusia merupakan sebuah paradoks bagi logika dunia. Dan paradoks ini justru menawarkan sebuah cara pandang baru. Segenap makhluk justru datang kepada-Nya: kambing, domba dan lembu, orang kecil seperti gembala di padang maupun yang terdidik seperti sarjana dari Timur. Tidak hanya manusia tetapi juga malaikat surgawi turut memuliakan bayi Yesus. Di atas jerami Allah menghampahkan diri bagi dunia agar dunia bersatu. Natal adalah nyanyian persaudaraan bagi segenap makhluk, baik yang di bumi maupun di surga.
Memaknai Natal sebagai perendahan diri Allah itulah yang dihayati Fransiskus Assisi di kampung Greccio, Italia, pada 1223. Dan sejak perayaan Fransiskus ini lah tradisi kandang Natal mulai dikenal dalam tradisi Gereja. Sebagaimana dilukiskan Thomas dari Celano, penulis Otobiografi Fransiskus (jilid I), terdorong oleh rasa takjubnya pada penjelmaan cinta kasih Allah, Fransiskus menyuruh Yohanes, seorang sahabat yang disayanginya –meskipun keturunan bangsawan terhormat namun lebih mengutamakan keluhuran jiwa – mempersiapkan sebuah pesta Natal yang bersahaja.
Fransiskus mau merayakan adegan Natal dengan sebuah kerinduan hati yang mendalam : … ‘Aku mau melihat dengan mataku sendiri keadaan-keadaan pahit dan papa yang diderita-Nya sebagai bayi, bagaimana Kanak-kanak itu dibaringkan di dalam palungan, dan bagaimana Kanak-kanak itu diletakkan di atas jerami, dengan didampingi lembu dan keledai’.
Di malam itu kampung Greccio menjadi Betlehem yang baru. Orang-orang berdatangan, pria dan wanita, membawa obor dan lilin seturut kemampuannya, semua bergembira. Palungan telah dibuat, jerami diangkat, lembu dan keledai digiring ke tempat itu. Di situlah kesederhanaan dihormati, kemiskinan dimuliakan, kerendahan hati dipuji. Segenap makhluk mengumandangkan kegembiraan Natal.
Santo Fransiskus sendiri mengungkapkan sukacitanya di malam Natal itu. Thomas Celano melukiskan bahwa ketika berkhotbah, Fransiskus tampak seakan-akan sedang memeluk Kanak-kanak Betlehem itu. Bagi Fransiskus, ‘Dia yang dalam cinta kasih-Nya yang tertinggi dan tak terperikan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita’ (XXX, 84-87). Fransiskus hendak mendramakan secara konkret cara Allah mengungkapkan diri-Nya kepada manusia: Ia hadir dalam sosok bayi kecil, agar kita dapat mengasihi dan memperhatikannya. Allah menjadi seorang bayi, agar semua orang dapat datang kepada-Nya tanpa takut.
Apakah cara Allah itu menarik bagi manusia? Jika dilihat secara sekilas tampaknya cara itu tidak menarik. Nyatanya banyak bentuk keramaian Natal di sekitar kita yang lebih mengutamakan citarasa pamer dan pesta komersial, sulit dimaknai sebagai perayaan ulang tahun Yesus. Meski demikian sebetulnya manusia membutuhkan cara Allah itu. Manusia membutuhkan kasih (caritas), solidaritas, damai, keharmonisan, kebebasan. Dalam sebuah tatanan ekonomi yang adil sekalipun, kasih tetap menjadi kebutuhan manusia.
Menarik apa yang dikatakan Paus Benediktus, ‘keyakinan bahwa manusia hidup hanya dari roti (Mt 4: 4; bdk Ul 8: 3)’ adalah ketakhayulan yang merendahkan manusia dan mengingkari justru apa yang khas manusiawi. Paus emeritus pun menegaskan bahwa ‘barangsiapa mau menghapus kasih, mulai menghapus manusia sebagai manusia. Selalu akan ada penderitaan yang membutuhkan penghiburan dan bantuan. Senantiasa akan ada kesepian. Selalu juga akan ada keadaan kekurangan sarana jasmani, yang membutuhkan bantuan…’ (DCE. 28).
Manusia memang mendambakan budaya kehidupan. Dan perayaan Natal berpusat pada keyakinan bahwa Kristus adalah pembawa sukacita dan harapan akan kehidupan. Dalam Kristus pengharapan manusia akan sukacita terpenuhi. Karena itu, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2: 11).
Luar biasa. Terima kasih Sdr Andre yg telah membagi suka cita, kekayaan refleksi yg amat dalam, spt DIA yg datang dan berbagi damai dan suka cita, di Natal perdana dan di setiap Natal..bravo!!
Mantap bro
Sama2 Romo Agung. Pace e Bene!
Pax te cum!
Selamat bersuka cita_Selamat Natal untuk pater..Menarik sekali ulasan mengenai makna Natal yang dirayakan oleh seantero umat manusia dibelah dunia .. Sang terang yang menerangi dunia, berasal dari sumber yang mempunyai terang..__Luar biasa menterjemahkan dan membawa pembaca memaknai Natal yang sangat mendalam.. (Selamat Natal**Salam & Doa, semoga ama pater sehat selalu)
Selamat Natal ama…
Terimakasih Romo sangat menginspirasi…