Setiap 1 November Gereja Katolik merayakan Hari Raya Semua orang Kudus. Gereja meyakini bahwa tujuan panggilan manusia ialah mencapai kekudusan. Panggilan itu ditanggapi manusia selama ziarah di dunia. Seorang Kristen percaya bahwa oleh rahmat dan kasih Allah, pada saatnya nanti kerinduannya untuk memandang wajah Allah akan terpenuhi. Santo Paulus mengajarkan bahwa dalam kesatuan dengan para kudus, manusia akan memandang Allah ‘dari muka ke muka’ (bdk 1 Kor 13; 12).
Gereja Katolik mengamini ajaran Paulus itu. Para Kudus pun telah memberi kesaksian akan kepercayaan bahwa kelak saatnya, manusia boleh ikut serta dalam persekutuan para kudus dan menikmati ‘pandangan yang membahagiakan’ (visio beatifica) di hadapan wajah Allah.
Wajah. Memandang wajah orang yang dikasihi adalah dambaan yang wajar dalam diri manusia; dan sebaliknya memalingkan wajah dari musuh adalah kewajaran yang tak perlu disangkal. Kata ‘wajah’ memang telah menimbulkan penafsiran makna yang menarik dalam sejarah beradaban, misalnya dalam pemikiran filosofis Emmanuel Levinas (1906-1995). Kata itu juga bermakna khusus dalam tradisi Kristen. Kata prόsopon dalam bahasa Yunani, pada umumnya dikaitkan dengan gagasan mengenai sesuatu ‘yang terjadi di hadapan mata’, ‘yang dapat dilihat’. Sesuatu yang tampak atau yang kelihatan itu identik dengan ‘penampilan’ atau ‘wajah’ sebagai pancaran diri. Ada keyakinan bahwa wajah mengekspresikan sisi batiniah seseorang. Dalam bahasa Indonesia kita menggunakan kata ‘muka’ untuk menunjuk tampilan wajah atau perihal di depan. Kita juga mengenal kata ‘masker’(maschera, masquer, mask) untuk menunjuk sebuah media yang melindungi area wajah dari debu atau virus.
Dalam dunia Yunani, istilah ini dikaitkan dengan topeng wajah, yang dikenakan seorang aktor tetater. Seorang aktor teater sedang mementaskan drama. Melalui topeng ia sedang memerankan tokoh atau figur tertentu. Seseorang disebut aktor karena ia tidak sedang menjadi diri sendiri, tetapi justru karena harus memerankan karakter lain. Sedapat mungkin peran itu dilakoni dengan persis, agar penonton terhibur, seolah-olah sedang menyaksikan figur asli. Seorang aktor berhasil ketika ia melakoni perannya sedemikian sehingga penonton menjadi ‘terkecoh’, terpukau oleh aksinya.
Sebuah topeng wajah perlu diberi dekorasi berupa lelucon yang menarik, atau sebaliknya figur setan dan hantu yang menakutkan. Misalnya lukisan wajah hewan tertentu dalam dunia mitologi atau dongeng. Tentu saja peran aktor belum terwakili dengan topeng wajah. Untuk lebih meyakinkan penonton, ia juga perlu menirukan suara dan melakukan gerak tubuh mirip seorang tokoh atau figur. Dengan demikian atraksi drama dimungkinkan tidak hanya dari wajah tetapi juga gerak lidah dan nada suara yang menjadikannya lebih memukau dan menarik. Apa yang tampak dari aktor drama pada dasarnya adalah pancaran dari keterampilan memilih trik-trik gerak dan suara yang tepat.
Halloween: Malam Para Kudus. Di Eropa dikenal sebuah tradisi kuno yang disebut Halloween, yaitu sebuah pesta kostum yang identik dengan penyamaran dengan kostum seram. Festival tradisional yang jatuh pada 31 Oktober (atau berlangsung sepanjang Okotber) ini merayakan suatu malam di mana diyakini bahwa para makhluk gaib pergi mengembara dan dapat ditiru atau dihindari oleh manusia pengembara. Sejak sekitar abad ke-18, tradisi ‘meniru roh-roh ganas’ mengarah pada permainan lelucon di dataran tinggi Skotlandia dan Irlandia.
Tradisi kuno ini dikenal juga sebagai trick or treating (menipu atau mengobati).Tradisi yang jatuh pada akhir musim panas ini oleh orang Kristen Barat diadopsi dan dirayakan sebagai Hari Raya semua orang Kudus (All–Hallows’Day) yang jatuh pada 1 November – tetapi sudah dimulai pada 31 Oktober petang hari. Kata Halloween terbentuk dari kata “Hallows” yang berarti para kudus, dan “een” (dari kata evening) yang mengandung arti malam vigili. Jadi Halloween berarti malam para Kudus. Sebagai perayaan Kristen, malam para kudus ini mengingatkan kita akan malam Natal maupun malam Paskah: malam menantikan kelahiran Sang Juru Selamat, dan malam menantikan kemenangan Kristus atas kuasa maut.
Tentu ini sebuah ironi: Ketika alam memulai musim dingin sebagai paruh paling gelap dalam tahun, orang Kristen justru memaknainya sebagai hari kudus: Diyakini bahwa orang-orang kudus adalah mereka yang telah berjuang melepas topeng kepalsuan, dan sekarang berjaya dengan wajah baru di hadapan sang Pencipta. Ketika dunia mengalami masa gelap dalam putaran musim yang sementara, manusia merindukan wajah sang Terang abadi.
Dalam penanggalan Liturgi Katolik, tanggal 2 November umat mendoakan keselamatan jiwa kaum beriman. Demikianlah wajah maut tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan bagi orang beriman Kristen, sebab sengat maut telah dikalahkan oleh Sang Terang Kehidupan. Segala yang menakutkan di wajah bumi ini akan menjadi baru karena kelak saatnya kita mengalami ‘visio beatifica’, yaitu memandang wajah Allah dari muka ke muka.
Mari kembali ke kata ‘wajah’. Sebagai pengertian umum prόsopon belum menjadi sebuah istilah teknis yang kuat, misalnya dalam dunia Filsafat dan Teologi. Di kemudian hari, dengan istilah hypόstasis sebagai sinonimnya, prόsopon dikaitkan dengan eksistensi partikular dari wujud tertentu atau individu konkret. Dalam tradisi pemikiran Barat-Latin, terutama oleh pengaruh pemikiran Severinus Boetius (475/477-524/526), kata tersebut diterjemahkan dengan kata persona (pribadi), dan dikaitkan dengan individu konkret atau subjek yang memainkan perannya dalam tatanan sosial. Dalam hal ini ‘wajah’ subjek memancarkan ‘wajah’ sebuah tatanan masyarakat.
Wajah dan Hidup Sehari-hari. Dalam drama kehidupan sehari-hari, yang kelihatan pada wajah mungkin saja sebauh intelligent design sang aktor. Seseorang yang sedang marah tetapi harus selalu tersenyum karena tuntutan peran atau profesi, memerlukan intelligent design wajah yang ramah dan bersahabat. Drama kehidupan memang lebih kompleks: Seseorang dapat dengan sengaja membenturkan wajahnya ke tiang atau dinding keras, tetapi membuat berita bahwa ia telah mengalami kecelakaan. Seseorang yang telah melakukan operasi wajah dapat saja mengaku telah mengalami kekerasan dari orang tak dikenal.
Kehidupan sehari-hari adalah sebuah drama. Setiap person adalah aktornya. Peran para aktor kehidupan dapat ditonton dari wajah. Aktor-aktor teater kehidupan ini sangat terlatih. Penonton pun bisa tertipu oleh sandiwara kehidupan yang tersamar di balik wajah. Ketika prόsopon tidak lagi menampilkan persona yang otentik, maka ia hanya menjadi semacam kostum. Dalam skenario itu wajah seolah-olah terpisah dari persona. Ketika wajah tidak lagi memancarkan peran persona sebagai kodrat rasional dalam tatanan masyarakat (Boethius), wajah itu sedang diperankan sebagai media hoax. Maka pertanyaan ini selalu relevan. Wajahku: trick or treating?. Semoga doa para kudus menyemangati batin kita yang sedang berziarah sampai memandang wajah Sang Pencipta.
Terima kasih ama pater,…Menyajikan tulisan yang sarat dengan makna yang sangat mendalam….Saya terus penasaran merindukan sesuatu yang baru***Sama halnya dengan menyaksikan drama wajah bertopeng,membuat penonton semakin penasaran…Terima kasih (Salam.& Doa..semoga pater sehat selalu)*