Yudas Iskariot adalah salah satu dari dua belas murid Yesus. Yudas adalah nama Yunani dari Yehuda, nama yang dihormati oleh salah satu suku Israel. Mengenai ‘Iskariot’ pada nama Yudas, ada banyak penafsiran. Namun pada umumnya itu dikatikan dengan nama tempat; íš Qeriyōt berarti “laki-laki dari Keriot, sebuah kota di selatan Yudea” (Raymond Brown, The Gospel According to John, 298).
Yudas sosok terkenal karena Injil mencatat kisah pengkhianatannya terhadap Yesus gurunya. Dalam daftar nama para murid Yesus versi Sinoptik, pada nama Yudas ditambahkan keterangan ‘pengkhianat’ (Mrk 3:19; Mat 10: 4; Luk 6: 13-16). Penginjil Markus dan Matius dengan jelas menyebut Yudas sebagai orang yang ‘menyerahkan’ Yesus kepada para imam dan ahli-ahli taurat (Mrk 14: 43-45; Mat. 26: 47-49).
Yesus sendiri mengatakan: “Lebih baik kalau orang itu tidak pernah lahir” (Mrk 14: 21). Teks-teks tersebut menjadi dasar pendangan tradisional dalam Gereja bahwa Yudas adalah pelaku dosa besar: Ia mengkhianati Tuhan. Ia satu-satunya orang yang pasti masuk neraka. Dalam artikel ini, pandangan tradisional ini perlu dievaluasi. Tetapi sebelumnya akan dipaparkan dulu narasi biblisnya.
Markus, Injil tertua ini menunjukkan bahwa pengkhianatan oleh Yudas sudah diramalkan oleh Yesus pada saat perjamuan terakhir (Mrk 14:17), jadi Yudas juga ikut dalam Perjamu Akhir bersama Yesus. Pengkhianat bukanlah orang di luar kelompok Yesus, tetapi justru satu dari mereka yang paling dekat dengan Yesus dan ikut ambil bagian dalam perjamuan terakhir. Mendengar kata-kata Yesus itu para murid merasa sedih. Tampaknya, kata-kata Yesus ini menggemakan apa yang diungkapkan pemazmur: “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku” (Mzm 41:9).
Yesus sendiri menyatakan bahwa pengkhianatan ini akan mendatangkan celaka bagi si pelaku: “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Mrk 14:21). Perkataan Yesus ini dapat dimaknai sebagai peringatan bagi si pengkhianat (Garland, A Theology of Mark’s Gospel, 166).
Perlu diperhatikan bahwa dalam ayat tersebut Yesus tidak menyebut secara eksplist nama Yudas sebagai pengkhianat. Yesus juga tidak mengutuk Yudas. Ia malah menegaskan bahwa pengkhianatan Yudas termasuk rencana Allah. Tetapi tindakan Yudas jelas dicela. Tidak dikatakan apakah dia juga ikut mengajukan pertanyaan “Bukan aku, ya Tuhan?” (ay 19). Tidak dikatakan pula bahwa Yudas meninggalkan perjamuan sebelum waktunya (Yoh 13: 26-30). Penginjil Markus hendak menegaskan bahwa perjamuan Paskah seolah-olah dinodai hadirnya Yudas pengkhianat Yesus (Bdk. Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 438).
Di taman Getsemani Yudas menyerahkan Yesus kepada otoritas Yahudi dengan sebuah tanda, yaitu ciuman (Mrk 14:44-45). Karena rombongan yang dipimpin Yudas tidak mengenal Yesus, maka sebelum beraksi, Yudas memberi sebuah tanda. Ia memilih tanda yang ‘manis’ sekaligus ‘mematikan’. Setiap murid seorang guru Yahudi biasa menyapa pemimpinnya lalu mengecup pipinya. Yudas juga menyapa Yesus dengan sebutan Rabi. Sapaan hormat ini tercemar oleh motivasi jahat, maka ciuman itu masuk dalam sejarah sebagai lambang pengkhinatan. Yudas tampaknya berotak cemerlang sekaligus busuk (Bdk. Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 455).
Penginjil Matius mengikuti kisah Yudas dalam Injil Markus. Hanya saja dalam Injil Matius dinyatakan jumlah yang pasti uang yang dibayarkan oleh imam-imam kepala kepada Yudas, yaitu tiga puluh uang perak. Jumlah ini merupakan harga seorang budak (Kel 21:32) atau upah yang diterima seorang penggembala (Zak 11:13). Agak berbeda dengan Markus, Matius menceritakan bagaimana Yudas kemudian menyesal dan mengakui dosanya, mengembalikan uangnya ke Bait Allah, dan akhirnya menggantung diri (Mat 27: 3-10).
bagi Matius, Yesus tidak hanya mengetahui bahwa Ia akan diserahkan, tetapi juga siapa yang menyerahkan Dia (Bdk. Cathercole, The Gospel of Judas, 3-31): “Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku. Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan. Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: ‘Bukan aku, ya Rabi?’ Kata Yesus kepadanya: ‘Engkau telah mengatakannya’ ” (Mat 26: 21-25).
Jawaban Yesus Engkau telah mengatakannya bernada afirmatif, artinya pertanyaan Yudas kepada Yesus, Bukan aku, ya Rabi?, justru mengekspresikan tujuan tindakannya. Dialog singat antara Yesus dan Yudas versi Matius ini memberi indikasi bahwa Yudas bukan tidak sadar akan niat jahatnya. Seperti Markus, Matius tidak mengatakan bahwa Yudas meninggalkan perjamuan (Yoh 13: 30). Kiranya Yudas meninggalkan kelompok para murid setelah mencium dan menyerahkan Yesus di taman (Bdk. R. T. France, The Gospel of Matthew, 990-991).
Tindakan pengkhianatan Yudas menjadi semakin jelas di taman, ketika ia memberi salam dan mencium Yesus: “Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia. Dan segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: ‘Salam Rabi’, lalu mencium Dia. Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Hai teman, untuk itukah engkau datang?” (Mat. 26: 48-50).
Kata-kata Yesus ‘Hai teman, untuk itukah engkau datang?’ menimbulkan penafsiran yang kabur bahkan berbeda: bisa interogatif, namun bisa imperatif. Ada yang menafsirkan bahwa kata-kata Yesus itu justru sebuah perintah: ‘Friend, do what you have come for!’/ ‘do what you have come to do (Bdk. France, The Gospel of Matthew, 1012). Jadi secara ekstrim, ada yang melihat Yudas sungguh sebagai pengkhianat, tetapi sebaliknya yang lain melihatnya sebagai murid dan sahabat yang dekat dengan Yesus (Robinson, The Secred of Judas, 42).
Lukas. Teks penting ialah Luk 22:3-6: “Maka masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu. Lalu pergilah Yudas kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka. Mereka sangat gembira dan bermufakat untuk memberikan sejumlah uang kepadanya. Ia menyetujuinya, dan mulai dari waktu itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus kepada mereka tanpa setahu orang banyak”.
Teks ini menampilkan tindakan aktif dan sadar dari Yudas: Ia pergi kepada imam-imam, berunding bersama mereka, menyetujui permufakatan menangkap Yesus, mencari kesempatan yang baik. Semua itu ia lakukan tanpa diketahui banyak orang, tentu karena ia sadar itu bukan sebuah perbuatan baik. Apa yang terjadi ini sebenarnya pemenuhan perkataan Iblis sebelumnya ketika Ia gagal mencobai Yesus di padang gurun. “Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik” (Luk 4:13). Inilah waktu yang baik itu. Iblis memakai Yudas untuk mengalahkan Yesus sekali lagi.
Yesus tahu bahwa Iblis berada di balik pengkhianatan ini. Lantas Dia menyatakan bahwa mereka yang terlibat dalam penangkapan-Nya, para pemimpin Yahudi dan Yudas berada di bawah kuasa kegelapan (Luk 22:53). Berada di bawah kuasa kegelapan berarti hidup dalam kejahatan, dikendalikan oleh hasrat dosa.
Kisah Para Rasul mencatat bahwa Yudas mati secara tragis, perutnya terbelah dan isinya tertumpah keluar di tanah yang dibeli dari upah kejahatannya (Kis 1: 18). Jadi perihal akhir hidup Yudas terdapat dua versi. Mana yang tepat: Yudas mati karena menggantung diri (Matius) atau dengan perut terbelah (KPR)? Pertanyaan ini kiranya kurang penting. Sebab Teks Kisah para Rasul menonjolkan pergantian peran Yudas dalam komunitas pelayanan: Dahulu ia salah satu ‘yang mengambil bagian dalam pelayanan’ tetapi kemudian ‘menjadi pemimpin orang-orang yang menangkap Yesus’. Karena itu harus ada orang lain yang menggantikannya (Bdk. Fitzmyer, The Acts of the Apostles, 219-220). Akhir kisah kemuridan Yudas ialah putus asa, bukan niat untuk bertobat.
Teks tersebut menunjukkan bagaimana komunitas para Rasul dipertahankan oleh Tuhan sendiri melalui doa dan persekutuan jemaat. Sikap Yudas mewakili kecenderungan manusia menyalahgunakan kepercayaan dari Tuhan dengan memilih jalannya sendiri (bdk 1: 25). Namun sikap manusia itu tidak membatalkan rencana Tuhan untuk terus memelihara jemaat-Nya (Bdk. Fitzmyer, The Acts of the Apostles, 221).
Dalam Injil Yohanes, Yesus menegaskan bahwa Ia sendirilah yang memilih dua belas murid, namun salah satu di antaranya adalah Iblis: “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang di antaramu adalah Iblis” (6: 70). Penginjil memberi keterangan bahwa Iblis yang dimaksud Yesus ialah Yudas, anak Simon Iskariot; sebab dialah yang akan menyerahkan Yesus, dia seorang di antara kedua belas murid itu” (ay 71).
Kata-kata Yesus tersebut memberi kesan bahwa pengkhianatan Yudas itu tidak terhindarkan. Apakah dengan demikian Yudas tidak bebas. Pakar Injil Yohanes, Raymond Brown menolak kesimpulan seperti itu. Baginya, “Judas’ betrayal has an air of inevitability; this is no a denial of free will but reflects the inevetability of the plan of salvation” (The Gospel According to John, 229).
Reputasi buruk Yudas memang telah terlihat dari sikapnya sebagai bendahara yang tidak jujur. Ia disebut pencuri karena sering mengambil uang yang disimpan dalam kas kelompok (Yoh 12:6). Yudas lebih tertarik pada uang, bukan prihatian pada orang misikin.
Mirip dengan Lukas, Yohanes menampilkan Yudas yang diperalat Iblis. Julukan ‘iblis’ yang dalam tradisi Sinoptik ditujukan kepada Petrus (Mrk 8: 33; Mat 16: 23) di sini dialihkan ke Yudas. Yudas adalah iblis, karena ia ‘kerasukan iblis’ dan ‘iblis membisikkan rencana ke dalam hatinya’ (Yoh 13: 3, 27). Dalam bab 13, secara ironi Yohanes menunjuk Yudas sebagai murid ‘yang menyerahakan Dia’ (11), ‘seorang yang sangat dekat dengan Yesus – makan roti-Ku’ (18), ‘seorang di antara kamu’ (21), ‘yang kepadanya Aku akan memberikan roti’ (26) [bdk. M. Harun, Yohanes Injil Cinta Kasih, 142, 204). Dalam tradisi Yahudi, orang yang diundang untuk makan sehidangan adalah orang dekat, sahabat atau tamu terhormat. Penginjil menampilkan semacam kontradiksi dalam diri Yudas: Ia diperlakukan oleh Yesus seperti sahabat dekat, namun Ia menyalahgunakan kebaikan itu.
Dalam Injil Yohanes, pengkhianatan Yudas yang terjadi pada waktu malam (13:30) mengandung kiasan bahwa Yudas sebenarnya sedang di bawah kuasa kegelapan, yaitu Iblis sendiri. Yudas berasal dari kegelapan dan gagal untuk tinggal dalam terang. Dia bergabung dengan para pemimpin Yahudi yang lebih memilih kegelapan (Yoh 9:39-41). Yesus adalah terang yang datang ke dunia yang tidak bisa dikuasai oleh kegelapan (Yoh 1:5). Yudas adalah wajah dari mereka yang menolak untuk percaya pada Yesus (Yoh 12:45; 14:9). Lebih dari seorang pengkhianat, Yudas adalah gambaran mereka yang tidak percaya.
Selain teks-teks yang telah ditunjukkan di atas, menarik untuk dicatat bahwa kesaksain tertua tentang kebangkitan Yesus terkesan sebagai tradisi yang tidak mengenal narasi pengkhianatan dari Yudas (Lindemann, “The Resurrection of Jesus”, 558-561). Rasul Paulus memberi kesaksian bahwa Yesus yang telah bangkit menampakkan diri “kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya” (bdk. 1 Kor 15: 3-5).
Sosok dan kisah Yudas dalam Injil memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Jika memang kehendak Allah untuk menyelamatkan banyak orang, apakah kehadiran Yudas merupakan bagian dari skenario yang direncanakan Allah? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan sulit, sesulit pertanyaan-pertanyaan ini: Mengapa Allah membunuh anak-anak sulung Mesir, mengapa Allah menyuruh Abraham mengurbankan anaknya Ishak, dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut (dan masih banyak lagi) kiranya hanya dapat ditemukan pada logika Allah. Kesaksian Injil yang paling utama ialah bahwa kasih Allah tidak terbatas.
Apakah Yudas menyesali perbuatannya? Penginjil Matius mengisahkan dengan jelas bahwa Yudas memang kemudian menyesal dan mengakui perbuatanannya sebagai dosa. Ia mengembalikan uang yang diberikan kepadanya, dan akhirnya menggantung diri. “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata: ‘Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah’ (bdk. Mat 27: 3-5).
Menarik bahwa Yudas sendiri mengakui di hadapan publik bahwa tindakannya adalah dosa. Ia tidak menuduh orang lain, tidak membela diri. Ia sadar bahwa orang yang ia jual itu tidak bersalah. Menggantungkan diri merupakan ungkapan penyeselan yang mendalam (Steve Brown, Jesus Drank, Judas Repented, 58), meskipun itu bukan tindakan yang baik secara moral maupun spiritual. Sedangakan tindakan mengembalikan uang mengingatkan kita akan bentuk penyesalan Zakheus pemungut cukai.
Terkait akhir kisah keuridan Yudas, menarik untuk diperhatikan bahwa murid sekaliber Petrus pun telah menyangkal Yesus sampai tiga kali: layak disebut pengkhinat juga. Namun itu bukan akhir dari ziarah kemuridannya: setelah tahu kesalahannya, ia berusaha bangun kembali untuk menjadi murid Yesus, berlari ke kubur Yesus, dan kemudian menjadi Rasul yang hebat yang memberi kesaksian tantang Kristus.
Apakah Yudas bertindak bebas? Jelas bahwa Yudas merancang tindakannya. Tampaknya ia tidak menduga bahwa pengkhianatannya berujung pada kematian Yesus. Seperti mentalitas para murid pada umumnya, sangat mungkin ia mengharapkan bahwa Yesus bangkit melawan musuh-musuh-Nya. Ternyata harapan Yudas itu tidak terjadi pada Yesus. Yang menarik Yudas bukan hanya uang, tetapi juga kekuasaan. Sekiranya Yesus bangkit sebagai mesias politik, Yudas akan mendapat bagian kekuasaan pula. Tetapi tentu tidak fair orang menuduh Yudas seorang diri. Ia hidup dalam mentalitas sosial tertentu, dan berada dalam pengaruh para imam yang bersekongkol membunuh Yesus. Dosa pribadi sering kali terjadi atau sulit dihindari karena pengaruh situasi sosial.
Dalam Teologi berlaku pandangan bahwa prinsip yang niscaya tidak bergantung pada prinsip yang terbatas. Keselamatan Allah adalah niscaya, sebaliknya tindakan Yudas bersifat terbatas (ia tidak harus bertindak jahat). Artinya tindakan Yudas bukan prasyarat bagi tindakan Allah. Sebab, Allah mewujudkan keselamatan semata-mata karena kasih-Nya yang bebas. Seandainya Yudas tidak berkhianat (dan dahulu Adam tidak berdosa) pun, Allah tetap mewujudkan karya keselamatan seturut cara-Nya sendiri – cara yang tentu melampaui logika manusia. Pandangan seperti ini, dikemukakan oleh teolog Fransiskan Abad Pertengahan Yohanes Duns Scotus.
Dengan kata lain: “Tanpa Yudas pun, pimpinan bangsa Yahudi yang mau membunuh Yesus tentu dapat menangkap Yesus. […] Tanpa Yudas pun mereka akan menemukan-Nya. Peran Yudas terbatas pada menunjukkan tempat Yesus di malam hari. Oleh karena itu, peran Yudas bukan peran kunci”. (Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia, 107).
Pemahaman akan peran Yudas ini membantu kita memahami bagaimana cara Allah sendiri bertindak bagi kita. Keselamatan dari Allah yang terwujud dalam diri Yesus, juga dalam peristiwa salib, tidak bergantung pada disposisi manusia: “Tentu Yesus, ya Allah, dapat menebus kita, mengampuni dosa-dosa kita dan membuka keselamatan bagi kita dengan cara yang lain daripada dengan mati di salib. Bahkan, tanpa kematian Yesus, Allah dapat mengampuni segala dosa kita […]. Sama sekali tidak masuk akal bahwa tanpa pengkhianatan Yudas, Allah tidak dapat menebus manusia” (Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia, 107).
Apakah Yudas diampuni Yesus (diselamatkan)? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Namun doa Yesus, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34), kiranya berlaku pula bagi seorang Yudas. Dan pertanyaan serupa dapat diajukan juga kepada kita sekarang: Adakah sesuatu yang Yesus berikan kepada kita, yang setara atau bahkan lebih besar dari yang Ia berikan kepada Yudas? Terkait pertanyaan ini Steve Brown menulis: “I can think of none, other than my own sin” (Jesus Drank, Judas Repented, 47).
Dengan pertanyaan lain, apakah Yudas pasti masuk neraka? Dalam pandangan tradisional, berdasarkan teks-teks Perjanjian Baru tentang pengkhianatan Yudas, diyakini bahwa Yudas adalah orang yang pasti masuk neraka. Lagi pula, setelah mengetahui kesalahannya, bukannya bertobat, ia malah membunuh diri. “Yudas memang seorang penjahat, seorang pendosa berat. Tetapi itu tidak berarti bahwa Yesus tidak mencintainya dan tidak menyelamatkannya. Di situ ada satu hal yang perlu kita ingat: Kita pun pendosa. Barangkali tidak sedramatik Yudas […]. Tetapi Yesus amat keras memperingatkan kita agar jangan menganggap diri lebih baik daripada orang lain, misalnya dari Yudas” (Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia, 112-113).
Terimakasih pater atas tulisan yang menginspirasiku. Misteri pembebasan Allah. Walau sejahat apa pun manusia Yesus tetap berdoa ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya.
Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum!
Benarkah anda bilang murid2 yesus memanggil yesus dengan sebutan rabi ,bukankah itu artinya guru? , mereka itu orang2 yang mengenal yesus dari dekat , jadi kasihan orang2 masa ini yang bertemupun tak pernah dengan yesus lalu memanggil yesus dengan sebutan tuhan ,
terima kasih pater, tulisannya menarik, ingin tanya lebih lanjut bagaimana caranya ya?
Tulis di kolom komentar, saya akan menjawab.. Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikelnya…
Terima kasih pater….Semoga lewat tulisan ini semakin meneguhkan kami.. (Salam & Doa..semoga romo sehat selalu)
Maaf pak kalau menurut saya doa Yesus itu ditujukan kepada orang-orang yg masih hidup saja. Sedangkan orang mati bunuh diri kita tau tempatnya dimana
Terimakasih atas ulasannya pater. Ulasan yang sangat bermakna karena berhasil menghadirkan wajah Allah yang berbelas kasih melalui adanya kemungkinan keselamatan kepada Yudas Iskariot dalam nuansa pemikiran Gereja Katolik, khususnya bersandar pada pemikiran teolog sekaliber Duns Scotus. Paradigma kasih dan kebebasan Allah, plus predestinasi absolut inkarnasi Allah mewarnai latar belakang dan spirit pemikiran dari tulisan ini. Akan tetapi, ada beberapa hal yang mesti saya lontarkan sebagai bentuk tanggapan pembanding (bukan kontra untuk meruntuhkan setiap isi dalam tulisan tersebut) atas kesimpulan yang diberikan pater. Beberapa tanggapan tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Pertama, prinsip keadilan sebagai patokan penilaian dan pembenaran tindakan seseorang sebagaimana diwacanakan oleh Anselmus dari Canterburry dan kemudian dilanjutkan oleh Immanuel Kant kiranya tidak mesti ditiadakan begitu saja. Prinsip keadilan juga mesti mewarnai pribadi Allah dalam memutuskan menyelamatkan seseorang atau tidak sebab apabila tidak demikian, orang akan bertindak semaunya saja karena tahu bahwa seberat apapun dosa yang dibuat, Allah tetap akan memberi pengampunan karena Ia sendiri menjanjikan kasih dan menjadi kasih itu sendiri. Ini merupakan konsekuensi negatif di tengah konsekuensi positif yang dapat kita terima dari memahami Allah yang berbelas kasih.
Kedua, tanggung jawab moral menjadi surut atau berkurang. Pengetahuan akan kasih Allah yang absolut membuat orang menghilangkan tanggung jawab moral terhadap orang lain. Orang bisa menipu siapa saja di sekitarnya karena tahu ketika dia mengaku dosanya (pelaksanaan sakramen pengampunan dosa) kepada Tuhan, Tuhan akan memberi ia pengampunan melalui pelaksanaan absolusi atau semacamnya. Ini merupakan efek ekstrem dari tindakan kasih Allah yang tidak mengganjar orang berdasarkan tindakannya.
Ketiga, hukuman setimpal mesti diberlakukan. Bayangkan apabila tindakan Yudas Iskariot tetap diampuni Tuhan, bukankah (ada kemungkinan) para murid lain juga dapat melontarkan protes seandainya pengetahuan akan kasih Allah yang absolut telah dimiliki mereka kala itu? Tindakan baik para murid lain nyatanya akan mendapat hasil yang sama dengan Yudas, yakni pengampunan dan keselamatan di akhirat. Siapa yang tidak kesal? Pernyataan ini dapat dimaklumi mengingat jasa para murid lain (di luar Yudas Iskariot) yang begitu luhur jauh melampaui tindakan picik Yudas Iskariot yang haus akan kekuasaan dan uang.
Bagaimanapun juga, problem keselamatan Yudas masih menyisakan tanda tanya. Saya pun hanya berharap (meskipun banyak ‘meluncurkan’ protes atas tindakan kasih Tuhan yang terungkap dalam komentar di atas) bahwa Tuhan tetap menyelamatkan Yudas Iskariot, seperti Ia terus menyelamatkan dan mengampuni dosa-dosa saya yang mungkin juga melampaui dosa Yudas karena tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu Yudas.
Pax et bonum
Terima kasih.
Saya berpendapat begini. Pertama, saya kira logika Allah (logika kasih) melampaui soal adil-tidak adil, kasih tidak sedemikian kalkulatif. Lagi pula, prinsip keadilan sendiri problematis. Apa yang kita sebut adil?
kedua, jika atas dasar pengampunan tanpa batas lalu muncul penyalahgunaan akan kasih Allah, saya kira itu kesimpulan yang keliru. Itu masih logika biasa, logika manusia, bukan logika Allah. Logika kasih Allah ialah bahwa ketika seseorang diampuni, ia akan melakukannya demikian juga. Jadi orang yang diampuni dan yang melihat pengampunan Allah akan dikuasai oleh kasih Allah itu dan akan berbuat demikian pula. Ia tidak akan melawan Allah. Jadi, jika orang merasa dikasihi Allah dan sekaligus ‘memanfaatkan’ kasih itu, ia sebetulnya tidak menerima Allah dalam hatinya. Ia tertutup terhadap kasih itu. Karena tidak mungkin orang bersekutu dengan Allah dan sekaligus melawannya seperti Yudas dalam tulisan di atas. Ia dekat dengan Yesus tetapi hatinya tertutup terhadap-Nya.
Ketiga, hukuman setimpal (apabila ini yang dimaksud dengan keadilan) tidak berlaku dalam ajaran Yesus. Gigi ganti gigi, mata ganti mata bertentangan dengan kasih. Yang betul ialah, “jika pipi kirimu ditampar, berikan juga pipi kanamu”.
Tulisan Romo sungguh membuka pengetahuan saya, namun di sisi lain ada banyak pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Oleh sebab itu, saya mencoba memberikan tanggapan saya atas artikel ini dan juga ada beberapa pertnayaan yang saya temukan dalam pembacaan saya. Bahwa kematian Yesus sudah dituliskan (bdk Mrk 14:21), maka memang harus ada orang yang melakukannya dan Yudas ‘tepilih’ untuk itu. Lalu kita kemudian ‘menuduh’ Yudas berbuat salah dan berdosa. Dalam artikel ini romo menjelaskan bahwa Yudas secara bebas melakukan perbuatannuya itu. Dalam Lukas 22:3-6 jelas dikatakan bahwa Iblis merasuki Yudas dalam hal ini hati dan pikirannya sudah tidak lagi jernih, sehingga saya melihatnya bahwa sebenarnnya ia sudah tidak bebas dan tidak sadar lagi, ia ada dalam pengaruh roh jahat.
Mengapa Yesus tidak memperingatkan Yudas? Padahal Ia tahu bahwa Yudas telah mengkhianantinya dan ia sedang dirasuki Roh Jahat. Mungkinkah Yesus lalai atau Ia tidak mau menghalangi rencana karya keselamatan Allah dan membiarkan Yudas melanjutkan tindakan pengkhianatannya. Kalau kita melihat pandangan Scotus yang mengklaim bahwa Maria dicegah dari dosa asal demi terlaksannya rencana Keselamatan Allah maka mengapa Yudas tidak diperlakukan sama, toh dalam prinsip ‘yang niscaya tidak bergantung pada yang terbatas’ memperlihatkan bagaimana kasih Allah yang tak terbatas. Saya bukannya tidak melihat kebebasan manusia di sana tetapi bisa saja jatuh pada prinsip bahwa semua itu adalah rencana Allah.
Menurut saya prinsip ‘yang niscaya tidak bergantung pada yang terbatas’ mengajak kita untuk berandai-andai dan terlalu memojokkan Yudas. Prinsip ini akan menimbulkan banyak pertanyaan? Mengapa Allah menggunakan Yudas sebagai korban dari peristiwa ini, atau menjadikan Yudas sebagai kambing Hitam? Mengapa tidak menggunakan kasih-Nya langsung dengan begitu Yudas akan baik-baik saja. Mengapa harus lewat kejahatan Yudas? Tidakkha lebih baik menggunakan setiap kenaikan manusia demi terlaksannya keselamatan itu, mengingat Allah telah memulainya dengan orang suci bernama Maria. Tentu saja kita tetap berpatokan pada rencana Allah yang tidak dapat dijangkau oleh logika manusia.
Selanjutnya soal pengampunan. Dalam artikel ini pengampuna merujuk pada Lukas 23:24. Pengampuan yang diberikan kepada Yudas berdasarkan kata-kata Yesus ini “sebab mereka tidak tahu?” Menurut hemat saya hal ini bertentangan dengan tindakan bebas atau perencanaan Yudas akan pengkhianatan itu. Tentu kalau Yudas bebas dan itu direncanakan ia pasti tahu apa yang ia perbuat dan bagaimana konsekuensinya. Bagi saya pengampunan yang diberikan kepada Yudas adalah pengampunan Allah karena belas kasih-Nya dan bukan karena Yudas tidak tahu apa yang ia perbuat.
Terima kasih
Terima kasih, Pater. Dalam kitab Alqur-an milik muslim dikatakan bahwa murid-murid Yesus AS adalah para pejuang yang sangat bersemangat membela guru mereka. Tidak ada sama sekali arah mendiskreditkan salah seorang dari mereka. Mereka dipilih khusus oleh Yesus AS di antara banyak pengikut beliau, mewakili 12 suku Bangsa Israel. Artinya, kitab agama Islam sangat memuliakan murid pilihan Yesus AS itu.
Mengapa Bibel sepakat bahwa ada pengkhianat di antara murid pilihan tersebut?
Gracias padre…
Kak Pater ma ksh byk to sharenya luar biasa shg kami makin tahu. Slm sehatbdan tetap semangaat dr kami b3. GBU