Biasanya kita bersyukur kepada Tuhan karena kita percaya bahwa Tuhan telah memberikan apa yang kita mohon dalam doa-doa. Kebaikan itu kita terima melalui sesama yang hadir di sekitar kita. Ketika mengucapkan rasa syukur kita menyadari bahwa segala yang baik itu datang dari kasih Tuhan. Tentu saja nilai kasih Tuhan tidak sebanding dengan jasa dan usaha kita. Segala yang kita terima dari Dia adalah pemberian gratis atau cuma-cuma. Itulah rahmat Tuhan. Nilainya begitu luhur, sehingga tidak ada manusia yang sanggup dan pantas membalasnya.
Kita bersyukur karena Tuhan adalah donatur yang murah hati. Ibarat dalam pengalaman kita, ketika menerima pemberian atau sumbangan berharga dari seorang yang murah hati, dan kita tidak pernah saunggup memberi balasan yang sepadan, demikianlah kasih Tuhan yang melimpah itu hanya pantas kita syukuri, tidak sanggup kita membalasnya. Ketika seseorang pendonor darah menyumbangkan darahnya bagi orang yang sedang sakit dan sungguh membutuhkan darah, kita mengerti bahwa nilai di balik darah pendonor itu adalah kehidupan bagi si penerima.
Santo Paulus, dalam Surat kepada jemaat di Korintus bertanya: “Apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya”? (1Kor 4: 7). Kata-kata Paulus ini mengandung pesan mendalam: Dengan menyadari bahwa segala yang kita miliki adalah pemberian cuma-cuma, kita belajar bersyukur, tahu berterima kasih, dan seharusnya tidak banyak menuntut. Orang yang hidup penuh syukur juga tidak egois dan cemburu dengan kelebihan orang lain, ia suka berbagi
Dalam Luk 17: 11-19 dikisahkan tentang sepuluh orang kusta yang disembuhkan Yesus, dan hanya satu orang yang kembali kepada Yesus untuk mengucap syukur. Kepada orang asing yang bersujud syukur itu Yesus berkata: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (19). Orang yang bersyukur itu tidak hanya sembuh secara lahiriah, tetapi juga diselamatkan secara rohani.
Yang diberikan Tuhan kepada kita ialah rahmat yang mendatangkan keselamatan. Rahmat berdampak bukan pada kebutuhan jasmani, melainkan kebutuhan batiniah manusia, yaitu keselamatan, yaitu hidup kekal dalam kesatuan dengan Allah. “Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita” (Tit 3: 5-7).
Santo Fransiskus Assisi misalnya, memuliakan Allah sebagai Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum). Baginya Allah itu paling baik, asal segala yang baik, dan kebaikan-Nya tiada bandingnya. Karena itu tanpa Allah, tak ada sesuatupun yang baik (Urbap. 2). Dalam doanya Fransiskus juga memuji Allah sebagai “segala kebaikan, paling baik, seluruhnya baik, hanya Engkau sendiri yang baik” (PujIb. 11; bdk PujAllah. 3). Sebagai kebaikan paling luhur, Allah satu-satunya yang layak menerima segala pujian dan syukur kita. Jika Allah itu kebaikan tertinggi, dan segala yang baik kita terima dari Dia, mengapa kita sering mengeluh dan kurang bersyukur?
Tulisan bagus…menyadarkan kita utk senantiasa bersyukur sepanjang hidup…
Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum!
Terima kasih…
Mengucap syukur dalam segala hal.
Trima kasih Romo.
Berkah Dalem.
Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum!
Bersyukur kepada Tuhan karena Ia baik***Syukur kepada Tuhan karena Ia masih memberilan Napas Hidup bagi kita…Terima kasih ama pater…(Salam & Doa..Semoga romo sehat selalu )
Terimakasih Pater.
Luar biasa. Tulisan yg mnyadarkn kita utk tidak mnyombongkan diri.
Tuhan beri berkat selalu.