Narasi ‘berdamai dengan covid-19’ muncul ke publik setelah Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada 7 Mei 2020 mengajak masyarakat Indonesia untuk berdamai dengan korona. Beragam tanggapan dan tafsiran muncul terhadap pernyataan tersebut. Pernyataan ini menarik dan mengandung makna. Karangan bebas ini menawarkan sebuah penafsiran juga.
Berdamai dengan Banyak Hal.
Pertama-tama harus disadari bahwa manusia memang perlu berdamai dengan banyak hal: dengan diri sendiri, dengan sejarah masa lalu, dengan trauma dan luka, serta hal lain yang membawa kesulitan dan penderitaan, seperti covid-19 – bahkan dengan maut. Takut dan panik tak disangkal. Tapi itu bukan sikap sejati manusia.
Terhadap realitas negatif manusia juga tidak bisa tinggal di tahap penolakan (denial) saja. Dalam situasi sulit, pertanyaan mengapa terjadi cenderung berujung kebuntuan. Sebaliknya pertanyaan bagaimana harus bersikap membuka wawasan: di sini lah dinamika hidup menemukan tempatnya; di sini lah apa yang disebut new normal itu dijumpai. Solusi instan adalah reaksi insting, bukan proses kerja nalar.
Makna ‘Berdamai’.
Sebagai bagian dari hidup, ‘berdamai’ tidak berarti diam saja atau apatis terhadap hal-hal negatif. Bukan. Menafsirkan berdamai sebagai pasrah jelas tidak benar, dangkal. Berdamai bukan juga berarti membenarkan bahwa virus itu memang lebih kuat sehingga kita pasti kalah. Virus bukan manusia, ia tak memiliki finalitas. Manusia, makhluk berakal budi lah yang memiliki visi terbuka ke depan. Virus tak paham tentang makna harapan dalam krisis. Jadi new normal itu ada dalam kendali manusia.
Berdamai dengan sesuatu yang negatif berarti: saya terima bahwa hal itu ada dan berdampak, maka saya waspada agar tidak terseret dampak buruknya. Saya lah penentu keputusan di hadapan kemungkinan buruk itu. Dalam konteks ini teori Evolusi benar: kemampuan beradaptasi menjadi faktor penentu ketahanan ras makhluk hidup.
Dalam cara pandang itu, berdamai terkait erat dengan kebajikan dalam diri manusia: Semakin diasah kebajikan itu ia semakin efektif mengantar manusia menjadi pencinta kebijaksanaan (philosophia). Orang yang tidak mampu belajar berdamai dalam pengalaman pahit, terkurung dalam cara pandang negatif, sulit menemukan titik terang masa depan. Orang seperti itu ter-lockdown dalam arti eksistensial. Ia hidup di ranah panik dan penolakan.
Banyak Virus Selain Covid-19.
Hemat saya prinsip berdamai dengan penyakit adalah narasi keseharian, sebab yang menyerang tubuh bukan hanya virus korona. Kita masih perlu berdamai dengan HIV, DB, malaria, TBC, dan sebagainya. Sangat mungkin pada saatnya, berkata ‘saya sakit corona’ menjadi se-ringan ‘saya flu’, ‘saya DB’, atau ‘terserang malaria’.
Ketika HIV baru dikenal, orang takut membicarakannya dan panik mencari obat. Sampai sekarang harus diterima kenyataan bahwa belum ada obat HIV. Maka orang yang mengidap sakit ini dianjurkan untuk merawat pola hidup sehat, menggunakan vaksin secara teratur, dan menjaga daya tahan tubuh, agar tidak menjadi rentan terhadap penyakit lain.
Perlu Habitus Baru.
Ketika untuk pertama kali diumumkan kasus korona di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu, tanda-tanda kepanikan tampak jelas. Terjadi panic buying. Banyak orang menimbun sembako, obat-obatan dan masker. Sekarang kita dihimbau untuk mulai meninggalkan tahap panik dan belajar berdamai, yang berarti siap menerima kenyataan bahwa virus kejam itu dapat menyerang siapa saja, entah bagaimana, entah kapan.
Dan jika benar bahwa penemuan vaksin atau pun obat korona masih membutuhkan waktu, entah sampai kapan, maka ajakan ‘berdamai dengan covid-19’ bukan kata-kata kosong. Berdamai dengan covid-19 berarti hidup dengan habitus baru: menghargai alam, solider dengan sesama, membentuk pola hidup sehat, mengenakan masker, menjaga jarak, menjaga kebersihan, menghindari kerumunan orang, serta petunjuk lain yang bermanfaat.
Sembuh-Sehat-Selamat.
Sembuh-nya seorang dari sakit mengandaikan dua proses: medis dan spiritual. Sembuh secara medis terjadi karena obat bekerja efektif, sehingga penyakit atau virus yang menggerogoti tubuh pasien kalah, atau akhirnya musnah. Idealnya begitu, bahwa untuk setiap penyakit atau virus, ada obat mujarab. Apakah selalu begitu?
Para ilmuwan memerlukan proses panjang untuk menemukan obat, itu pun tidak selalu berhasil. Vaksin untuk sebuah virus bukan obat yang dapat menyembuhkan, tetapi untuk melumpuhkan keganasan virus. Apalagi jika suatu virus itu berkembang dan menjadi lebih kuat. Dalam konteks ini, sembuh secara medis bukan satu-satunya jaminan hidup sehat.
Nah, untuk itu pengandaian kedua, yang saya sebut ‘spiritual’ itu penting. Sembuh secara fisik harus diikuti dengan perubahan cara hidup. Sering kali orang yang merasa telah sembuh secara fisik tidak taat pada anjuran dokter: mengulang pola hidup tak sehat. Sembuh karena mengkonsumsi obat itu awal; yang masih panjang ialah berdamai dengan pola hidup.
Dalam Kitab Suci orang Kristen, terdapat perbedaan antara sembuh dan selamat. Ketika Yesus melakukan mukjizat penyembuhan orang sakit, Ia menegaskan pula bahwa orang yang sembuh itu telah diselamatkan. Artinya kesembuhan secara fisik itu diperlukan, tetapi bukan tujuan akhir. Kesembuhan fisik sebaiknya dimaknai sebagai tanda untuk mengubah cara hidup orang demi keselamatan jiwa. Proses kedua ini disebut juga pertobatan. Dalam tradisi Kristen, salah satu unsur pertobatan ialah berdamai dengan diri dan lingkungan.
Motif Kemanusiaan.
Entah kapan obat efektif untuk korona ditemukan. Sementara itu dunia merasa perlu kembali aktif. Lockdown bukan pilihan ideal. Life must go on! Maka pernyataan ‘berdamai dengan covid-19’ perlu dimaknai dengan baik dan benar.
Tujuan ‘berdamai’ bukan hanya untuk kepentingan politik dan ekonomi, tetapi untuk kemanusiaan, untuk hidup semua warga masyarakat. Berdamai dengan korona berarti sadar bahwa ada ancaman virus, tetapi itu dapat dihadapi, yaitu dengan mengubah cara hidup kita; jadi orang beraktivitas normal, namun dengan taat pada petunjuk terpercaya dan anjuran medis, agar virus tidak menyerang atau menyebar kepada semakin banyak orang.
Implementasi Anjuran Berdamai.
Narasi ‘berdamai dengan covid-19’ tentu harus diterjemahkan secara konkret. Berdamai sebagai sebagai pribadi berarti menjaga kesehatan, kebersihan, konsumsi makanan sehat, menghindari rokok dan alkohol, dan taat pada petunjuk menjaga jarak. Kesehatan-ku terkait erat kesehatan-mu. Itu lah solidaritas.
Berdamai sebagai anggota keluarga berarti memerhatikan orangtua atau anggota keluarga yang menderita sakit akut: Mereka perlu dilindungi karena rentan terserang virus. Korona menyadarkan tentang pentingnya perhatian pada mereka yang lemah dan lanjut usia.
Berdamai sebagai umat beragama ditunjukkan misalnya waktu merayakan Misa di gereja. Wabah korona menjadi anjuran bahwa saya harus tiba di gereja sebelum Misa di mulai, karena ada protokol yang harus diindahkan; perlu menjaga jarak, karena gereja itu tempat hening, bukan untuk mengobrol. Dalam hal ini peran para agen pastoral menjadi penting.
Berdamai dalam dunia kerja: Korona menegaskan bahwa ekonomi tak terpisah dari kesehatan. Kesehatan dan keselamatan seseorang menentukan roda ekonomi. Jika saya adalah pemilik perusahaan, saya perlu memikirkan protokol dan kebijakan untuk memberi perlindungan maksimal bagi para tenaga kerja. Dan masih banyak contoh lain.
Makhluk Relasional.
Akhirnya perlu direfleksikan bahwa manusia makhluk terbatas: Ia mampu memilih, namun ia bukan penentu segala sesuatu, sebab ia makhluk fana. Finalitas pilihan manusia melampaui dirinya. Ia memang harus bersikap, tetapi sikapnya tidak mutlak. Sebab itu ia perlu berdamai dengan diri agar mampu menerima realitas dunia sekitar. Anjuran ‘berdamai dengan covid-19’ ternyata bermakna bagi banyak segi kehidupan kita.
Silakan simak artikel lain yang relevan https://andreatawolo.id/2020/04/1592/
Terima kasih Pater … sangat menguatkan….
Tuhan memberkati selalu. Pax te cum!
Betul Pater tk artikelnya, sangat bgus dan menguatkan
Makasih Pater, ya benar sekali kita harus berdamai dengan situasi ini. Semoga semua orang bisa memaknainya. Tq
Pax te cum!
Sama-sama. Blessings
Trima kasih Pater…Artkelnya…semakin terbuka ..akan damai..menyehatkan jiwa dan raga….
Pax te cum!
Terimakasih Pater. Barangkali itu pesan si korona itu sama manusia. Berdamai dengan seluruh situasi yang dihadapi sehingga tidak panik.