Pada setiap perayaan Kamis Putih Gereja mengulang ritual pembasuhan kaki, sebagaimana yang dulu dilakukan Yesus bagi para murid-Nya sebelum Ia wafat di salib. Dalam masa pandemi ini, ketika kontak fisik mendatangkan resiko penularan virus, bagaimana ritual ini dapat dirayakan?
Ritual tersebut sangat hidup dalam tradisi umat Kristiani. Meniru tindakan Yesus, ritual itu dilakukan sebagai ungkapan kerendahan hati, semangat saling melayani, dan saling memaafkan. Dalam hal ini pembasuhan kaki tidak hanya dilakukan di Gereja sebagai ritus liturgi pada Kamis Putih, di mana imam berperan sebagai wakil Kristus, dan 12 umat sebagai simbol 12 rasul.
Ritual pembasuhan kaki sering dilakukan misalnya pada saat retret, rekoleksi, tahun baru, atau kesempatan lain. Keluarga atau komunitas religius dapat melakukannya. Ritual ini dapat dirangkai dengan sebuah Ibadat Sabda atau doa bersama, jadi tidak harus dalam perayaan Ekaristi.
Di saat pandemi ini, karena Ekaristi diadakan secara online, keluarga dan komunitas dapat melakukannya. Kesulitan merayakan misa offline, justru menjadi kesempatan istimewa bagi kita untuk mewujudkan pesan Yesus ini seca konkret dengan orang-orang yang kita kasihi.
Dalam keluarga misalnya, anak-anak dan orang tua dapat saling membasuh kaki. Indah bukan? Yesus berkata: “Jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Guru dan Tuhanmu, maka kamupun wajib saling membasuh kaki” (Yoh 13: 14).
Pakar Injil Yohanes, Raymon Brown mengatakan bahwa ritual simbolik pembasuhan kaki merupakan praktek “sakramentali”, jadi bukan sakramen (The Gospel According to John, 558). Air pembasuhan dapat dimaknai sebagai simbol air baptis yang membersihkan. Simbol ini pun mendapat makna yang lebih tegas pada darah Kristus sendiri (19: 34), darah Perjanjian Baru dan kekal.
Penginjil Yohanes mengisahkan bahwa pembasuhan kaki diadakan sebelum hari raya Paskah Yahudi; dan pada saat itu “Yesus telah tahu bahwa saatnya sudah tiba untuk beralih dari dari dunia ini kepada Bapa” (13: 1). Dikatakan pula bahwa pembasuhan itu diadakan dalam konteks sebuah perjamuan. Dari pihak Yesus, setting situasi ini mengungkapkan bahwa Ia “senantiasa mengasihi murid-murid-Nya…sampai kepada kesudahannya” (13:1).
Dengan kisah pembasuhan kaki dalam perjamuan malam perpisahan (13: 1-20), Yohanes sebenarnya tetap menyampaikan makna pokok Ekaristi, yaitu penyerahan diri Yesus bagi keselamatan semua orang dan perendahan diri hingga wafat-Nya. Sebagai Guru dan Tuhan, Ia tidak hanya memberi ajaran moral, tetapi memberi teladan bagi para murid-Nya dengan gesture agar mereka mengerti (13: 12) dan melakukan sebagaimana yang telah Ia lakukan (12: 13-15).
Terima kasih Pater
Terimkasih renungannya pater.
Salam SFD
Terima kasih Pater