Yohanes Paulus I, Paus dengan masa kepausan terpendek dalam sejarah, 34 hari, dibeatifikasi pada Minggu 4 September 2022 oleh Paus Fransiskus. Beatifikasi ini sekaligus menepis berita-berita simpang-siur seputar kematiannya pada 28 September 1978, termasuk tuduhan adanya konspirasi.
Ketua dewan Penganjur (Postulator) beatifikasi, Kardinal Beniamino Stella dan wakilnya Stefania Falasca, diperkuat orang-orang kunci yang memberi testimoni. Mereka adalah: keponakan Paus, Lina Petri (anak dari saudarinya, Antonia), suster Margherita Marin, orang yang pertama kali melihat paus sudah tak bernyawa, dan pastor Juan José Dabusti dari Argentina yang berdoa memohon penyembuhan bagi seorang gadis dengan berdoa kepada Yohanes Paulus I.
Keponakan Paus mengenang kartu-kartu pos yang dikirim ‘paman’ serta percakapan mereka tentang Santo Agustinus dan Thomas. Lina Petri juga mengenang percakapan dengan paman via telepon: Pamannya bercerita bahwa ia akan bertemu dengan Hitler dan Mussolini.
Kardinal Stellah meyakini bahwa motivasi beatifikasi Yohanes Paulus I, paus yang digelari “Paus Senyum” sudah teruji, karena telah diteliti dengan metodologi ‘historis kritis’. Selain berdasarkan penelitian yang akurat, signal beatifikasi sebenarnya sudah diberikan juga oleh Paus Benediktus XVI.
Stefania Falasca menegaskan bahwa penelitian akurat untuk menguatkan beatifikasi ini juga menepis dugaan bahwa Paus ini mati karena telah diracuni. Falasca menyayangkan bahwa berita itu beredar di kalangan umum, bahkan di intern Gereja, selama 44 tahun sejak kematian Paus.
Kardinal Stella juga memastikan bahwa pemeriksaan secara medis pada tubuh Paus memastikan bahwa ia meninggal secara alami. Dapat dikatakan bahwa Paus ini telah meninggal mendadak, tetapi ini bukan suatu kesengajaan. Ada dugaan kuat bahwa ia kena serangan jantung.
Menanggapi pertanyaan orang ‘mengapa pada waktu itu tidak diadakan otopsi’, Stella menjelaskan bahwa pada waktu itu belum ada hukum yang mengatur otopsi: Hal ini baru dimulai dibuka oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1983.
Suster Margherita Marin mengenang kata-kata terakhir almarhum di malam jelang kematiannya: “Esok kita masih saling bertemau, jika Tuhan masih menghendaki, dan kita masih akan merayakan Ekaristi bersama”. Rupanya itu kata-kata terkahir sebelum ia mengalami serangan jantung.
Paus yang lahir pada 17 Oktober 1912 ini sering berjalan dengan membawa secarik kertas. Ketika mati didapati tangannya masih menjepit secarik kertas yang memuat catatan tentang kebijaksanaan – tema katekese yang sedang disiapkannya untuk Audiensi Umum pada hari Rabu berikutnya.
Catatan tersebut merupakan salah satu peninggalan yang disimpan oleh tim pengarsipan. Catatan harian dan beberapa transkrip Paus pada periode 1929 -1978 masih tersimpan baik. Catatan tentang kebajikan akan dipersembahkan kepada Paus Fransiskus sebagai sebuah relikui.
Pastor Juan José Dabusti dari Argentina memberi kesaksian: Ia meyakini bahwa oleh gerakan Roh Kudus, ia terdorong untuk memohon doa dari Albino Luciani (nama asli Paus). Candela Giarda, gadis yang mengalami penyembuhan, melalui pesan video pendek, bersama ibunya Roxana Sosa, turut mendukung beatifikasi Paus, meskipun mereka tidak dapat hadir secara langsung di Vatikan.
Wah….. terima kasih Pater.