Kristologi Bonaventura (1217-1274) dikemukakan antara lain dalam karya terakhirnya,Collationes in Hexaëmeron (Collations on the Six Days).
Karya tersebut merupakan kumpulan konferensi-konferensi yang ia berikan di universitas Paris pada sekitar tahun 1273. Pada bab I paragraf 17 dari karya tersebut, dengan mengutip kata-kata Injil Yohanes, “Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa” (Yoh.16:28), ia merangkum sistem pemikirannya dalam pola triadik, dan menamakannya “metafisika kita” (nostra metaphysica):
“[…] dan inilah seluruh metafisika kita, yaitu emanasi (emanatio), exemplaritas (exemplaritas), dan konsumasi (consummatio), yaitu diterangi oleh cahaya ilahi agar dibawa kembali kepada Yang Tertinggi. Dengan demikian engkau menjadi seorang metafisikus sejati”[1]. Kutiban tersebut mengandung dua poin utama: Pertama, pemikiran Bonaventura ditempatkan dalam kerangka “pencarian metafisik manusia”[2], yaitu tentang asal-muasal kehadirannya dalam sejarah dunia (exitus/egressus) dan makna atau tujuan akhir perjalanan hidupnya (reditus/regressus)[3]. Kedua, sistem metafisik tersebut dirangkai dalam pola triadik, yaitu sebuah pola yang mencerminkan paradigma teologis lebih mendasar, yang menopang seluruh sistem pemikiran Bonaventura, yaitu Allah Trinitas. Dalam dinamika itu Kristus ditempatkan sebagai titik pusat (medium) atau titik kongruensi (convenientia) tata ciptaan[4]. Pemahaman atas struktur universal realitas mengandaikan pemahaman atas titik pusatnya, yaitu Logos ilahi. Ratio Praecipua Inkarnasi
Bonaventura mengembangkan kristologinya dalam perspektif convenientia atau kongruensi tata ciptaan, di mana Kristus merupakan maxime congruum-nya[5]. Ia tidak menyibukkan diri dengan pertanyaan spekulatif seperti “cur deus homo”? (Anselmus) atau “apakah Sabda tetap menjadi manusia seandainya Adam tidak berdosa”? (Duns Scotus). Bonaventura bertolak dari data iman: ‘Sabda menjadi manusia’. Pribadi kedua dari communioTrinitas, yaitu Sabda atau Putra, telah menampakkan wajah Allah dalam sejarah. Berdasarkan data iman itu, ia mencoba memberikan pengertian/pertimbangan (ratio praecipua) mengenai inkarnasi. Istilah ratio praecipua menunjuk bukan hanya pada sebab (causa) atau motif inkarnasi, tetapi alasan-alasan khusus yang memungkinkannya, baik dari pihak Allah maupun dari pihak manusia[6]
Dari Pihak Allah
Bagi Bonaventura Allah itu niscaya bebas; kebebasan-Nya total. Ia tidak dapat dipengaruhi, apalagi didesak, oleh suatu sebab eksternal. Allah satu-satunya infinitum[7]. Sebab itu Allah bukan hanya agen ciptaan; Ia mau menciptakannya (agens et volens). Dalam keyakinannya ini Bonaventura menolak pandangan filsafat alam Aristotelianisme yang mengklaim bahwa bumi bersifat kekal – bahwa tidak pernah ada penciptaan sebagaimana diyakini dalam iman Kristen. Inkarnasi terjadi dalam kerangka kasih Allah; ia merupakan wujud paling luhur karya penciptaan. Predestinasi Kristus merupakan bagian dari karya luhur Allah, bukan sesuatu yang dipikirkan kemudian lantaran manusia berdosa. Karena itu, menjadikan dosa sebagai motif inkarnasi adalah sebuah inkongruensi. Sebab, sebagai karya paling luhur, inkarnasi memiliki tujuan intrinsik yang tidak bergantung pada dosa manusia[8]. Bonaventura menempatkan misteri inkarnasi lebih dalam perspektif penyempurnaan ciptaan, bukan melulu penebusan dari dosa. Harus dikatakan pula bahwa ungkapan kasih Allah kepada manusia melalui Sabda itu tidak mengubah, apa lagi merusak kodrat-Nya[9]. Di sini hendak ditunjukkan bahwa Allah hadir lebih dekat pada realitas ciptaan, tidak hanya sebagai penyebab, melainkan sebagai objek yang menggerakkan dan membimbing roh terbatas dalam pencariannya akan kepenuhan hidup[10]. Untuk menggambarkan keluhuran ungkapan diri Allah itu, Bonaventura menggunakan istilah Sabda (Word, Verbum). Kitab Suci tidak hanya berbicara tentang inkarnasi Sabda, tetapi juga peran Sabda sejak penciptaan: dalam Dia segala sesuatu telah dijadikan Allah. Di satu pihak dapat dipikirkan bahwa penciptaan dan inkarnasi merupakan dua peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain, mengingat ciri-ciri inteligible realitas semesta. Di lain pihak, pengakuan iman bahwa Sabda yang sama itu hadir baik dalam penciptaan maupun inkarnasi, menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara kedua peristiwa tersebut; justru terdapat kesesuaian kondisi metafisik antara keduanya, karena sama-sama berbasis pada Sabda[11]. Poin sentral kristologi Bonaventura ialah kongruensi[12] antara penciptaan dan inkarnasi. Dalam penciptaan, Allah berkata-kata dari kedalaman diri-Nya (Verbum mentis) dengan bebas. Kata-kata itu membuka komunikasi antara yang ilahi dan yang insani, antara yang infinitum dan yang finitum. Sabda merupakan ratio exprimendi[13], yaitu model komunikasi diri Allah yang merangkul segenap ciptaan: The Word in which all things are spoken[14]. “Dalam diri Yesus dari Nazaret, Sabda kekal menjelma dalam sebuah kesadaran yang yang paling eksplisit…kehidupan historis-Nya merupakan sumber penafsiran atas misteri yang kekal dalam sejarah, sebab Ia adalah basis segenap ciptaan”[15]. Peran Sabda dapat dirangkum demikian: “Sebagai sungguh Allah sungguh manusia, Yesus Kristus, homo vivens, menghadirkan titik temu yang sempurna antara pertanyaan manusia (manusia yang adalah sebuah pertanyaan) dan jawaban Allah, sebab Ia sendiri sebagai Pribadi, adalah pertanyaan manusia sekaligus jawaban ilahi. Dalam Dia kerinduan manusia untuk naik kepada Allah bertemu dengan kerinduan Allah turun kepada manusia: Gerak naik dan turun bertemu pada titik sentral yaitu Anak Allah, homo vivens, Raja yang rendah hati, yang rela mati demi keselamatan manusia”[16]. Peran Sabda tersebut hendak dimengerti dalam pola pandang berikut ini: Bagi Bonaventura, Allah adalah satu-satunya yang infinitum[17]. Sebagai satu-satunya infinitum, kepada Allah tidak dapat ditambahkan sesuatu yang lain (impossibile est infinito addi), dan tidak ada hal lain yang lebih besar dari-Nya (infinito nihil maius)[18]. Eksistensi Allah bahkan dilukiskan dalam bentuk-bentuk superlatif: infinitissimum, completissimum, unitissimum[19]. Di lain pihak ditegaskannya bahwa Allah pada dirinya (in se) itu sekaligus Allah bagi kita (pro nobis). Dalam Itinerarium Mentis in Deum, Bonaventura berbicara tentang dua nama Allah. Mengikuti Yohanes Damaskus, ia berbicara tentang nama Esse (Ada) berdasarkan Kel. 3: 14: “Aku adalah Aku”; mengikuti Dionysius Areopagita, ia merenungkan nama Baik: “Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja (Luk. 18: 19)”[20]. Dalam pengaruh Dionysius itu lahir frase terkenal ini: “yang baik itu memancarkan dirinya” (bonum diffusivum sui est)[21]. Dalam Allah komunikasi diri terungkap secara paling istimewa (summa communicabilitate). Ia adalah superexcellentissimam bonitatem[22]. Ungkapan kasih Bapa paling luhur ialah Kristus. Dari Pihak Manusia
Sabda dari kedalaman diri Allah (inner Word, uncreated Word) merupakan model paling luhur bagi ciptaan. Ciptaan merupakan outer word atau external word. Dari Allah lahir Sabda yang menjadi model (exemplar) dan pusat (medium) tata ciptaan. Dengan kata lain, Sabda merupakan basis ontologis bagi wawasan dunia. Bahasa manusia adalah analogi inkarnasi Sabda, sebab ia adalah makhluk yang memiliki pengetahuan (mental word) dan ia mampu mengekspresikannya melalui suara (vocal word)[23]. Ibarat kata-kata manusia yang tetap tinggal sebagai konstruksi mental yang sekaligus terungkap dalam bahasa dan suara, demikian halnya Verbum tetap tinggal dalam Allah sekaligus termanifestasi dalam sejarah[24].
Berbeda dari ciptaan pada umumnya, manusia –yang adalah mikrokosmos, makhluk paling luhur dalam tata ciptaan[25], mata dunia yang terbuka kepada Pencipta –berelasi dengan Allah bukan hanya sebagai penyebab-nya (causa), tetapi terutama sebagai tujuan personal dari kemampuan intelek dan afektifnya. Oleh karena itu, meskipun antara yang ilahi dan yang insani terdapat perbedaan ontologis, tetapi ada pula “convenientia ordinis”[26]antara mereka. Pada manusia terdapat basis kemungkinan inkarnasi. Kemanusiaan Yesus dari Nazaret menunjukkan bahwa Allah memilih potensi diri manusia sebagai tempat untuk mewahyukan diri-Nya, sehingga manusia, mikrokosmos itu, dapat menjawab komunikasi diri ilahi[27]. Berkat potensi jiwanya, manusia terbuka pada Allah. Jiwa manusia merupakan similitudo dei. Convenientia ordinis antara Allah dan manusia memungkinkan kesatuan dua kodrat (Allah dan manusia) sebagaimana terwujud secara istimewa dalam (satu) pribadi Yesus Kristus[28]. Dalam hal ini, manusia adalah gambar Allah Putra, yang merupakan buah sulung segenap ciptaan. Manusia diangkat untuk berpartisipasi dalam keputraan Kristus (bdk. Gal. 4: 4-5). Kristus adalah ratio exemplar generasi yang kekal Allah Bapa. Ia adalah penjelmaan dari Sabda kekal dalam sejarah. Dengan penjelmaan Kristus itu, manusia dapat menerima komunikasi diri Allah. Dengan kata lain, manusia bukan hanya makhluk (res, thing) tapi tanda (signum, meaning); ia bukan tanda biasa, melainkan tanda yang memiliki kemampuan menafsirkan apa yang ditandakannya, tanquam per signa ad signata[29]; ia makhluk hermeneutis. Manusia mampu menerima komunikasi diri Allah (meskipun terbatas), karena padanya terdapat potensi ilahi. Dengan mengutip Agustinus[30], Bonaventura menyimpulkan: homo capax Dei. Pada jiwa manusia terdapat baik aspek kognitif maupun afektif. Aspek yang kedua ini berkaitan dengan kehendak manusia, yang dalam bahasa bonaventuriana dikaitkan dengan hasrat akan kasih (desiderium)[31], yang mendorong jiwa agar terus mendambakan kesatuan dengan Allah. Pada jiwa ada potensi keterbukaan pada Allah, anima capax Dei[32]. Kristologi Pola Triadik
Allah Bapa: Prinsip Pertama
Pertanyaan tentang prinsip pertama merupakan tema fundamental dalam pemikiran teologis Bonaventura. Dalam tindakan berpikirnya, manusia bertanya tentang asal-usul dari pengada-pengada yang terbatas[33]. Bagi Boanventura, Allah Bapa adalah Prinsip Pertama (Primo principio) dalam arti ketat. Pandangannya tentang primatas (primity/firstness) Allah Bapa ini, dipengaruhi prinsip filosofis Neo Platonis, Proclus, dalam traktatnya Liber de Causis (The book of causes)[34], yang mengatakan bahwa “semakin luhur sesuatu, ia semakin produktif, dan karena itu menjadi prinsip bagi yang lain”[35]. Sebagai pribadi yang tidak berasal dari sumber lain, Allah Bapa tidak dilahirkan (innascibilitatem )[36]. Ciri innasciblitaspada Prinsip Pertama bermakna negatif sekaligus positif: Secara negatif Prinsip Pertama tidak dilahirkan dari prinsip lain; secara positif ia merupakan ‘sumber kesuburan’ (fontalis plenitudo). Prinsip pertama tidak mengalir dari yang lain (unemanated), dan karena itu merupakan sumber asali. Keluhuran prinsip pertama terletak pada perannya sebagai sumber primordial pluralitas pribadi ilahi. Bagi Bonaventura eksistensi Allah memiliki corak unum in pluribus, bukan unum in uno. Dalam struktur seperti ini primat prinsip pertama tidak mengabaikan melainkan mengandaikan (includit) pluralitas[37]. Sebab itu, pengetahuan manusia tentang Ada in sé, mengandaikan pengetahuannya akan atribut-atribut transendental dari sang Ada itu sendiri, yaitu satu (unum), benar (verum) dan baik (bonum)[38]. Dalam Komentar terhadap buku kedua Sentences Petrus Lombardus, Bonaventura menandaskan bahwa “prinsip tunggal, yang darinya mengalir keserbaragaman adalah prinsip pertama dalam arti sesungguhnya, dan karena itu produktif dan memiliki daya kesuburan yang luas serta tidak terbatas”[39]. Adapun prinsip pertama itu berpola triadik:
“Wujud yang serbaragam berasaldari prinsip yang tunggal, sebab dalam kenyataan terdapatprinsip pertama, dan prinsip pertama itu tunggal. Mengingat bahwa yang utama itu adalah sekaligus yang pertama, ia subur serta memiliki kuasa kesuburan yang begitu luas dan tidak terbatas(multitudinem et infinitatem). […]. Oleh karena kuasanya yang begitu luhur, ia dapat menghasilkan banyak wujud yang lain. Oleh karena kebijaksanaannya yang begitu luhur, ia mengetahui segala sesuatu. Dan karena ia adalah kebaikan tertinggi, ia menghendaki untuk mengomunikasikan dirinya dengan banyak wujud dan membuahkan banyak wujud. Demikianlah keserbaragaman wujud datang dari prinsip tunggal, justru karena prinsip itu adalah yang pertama dan satu-satunya”[40]. Triplice Verbum
Adanya prinsip pertama merupakan keniscayaan: Ia ada dari kekal, bersifat tunggal, tidak ganda: Ia ada “atau ada dari dirinya (ex sé), menurut dirinya (secundum sé), dan bagi dirinya (propter sé), atau ada dari ada yang lain, menurut yang lain dan bagi yang lain”. Bagi Bonaventura, eksistensi prinsip primordial ini memiliki corak triadik:
“[…] adalah sebuah keniscayaan bahwa ada (esse) yang berasal dari dirinya, sekaligus berada menurut dirinya dan bagi dirinya. Ada dari dirinya merupakan ratio asal-usul, ada menurut dirinya merupakan ratio eksemplar/model, dan ada bagi dirinya merupakan ratio finalitas. Allah Bapa adalah rasio asal-usul, Allah Putra adalah rasio eksemplar, dan Roh Kudus merupakan rasio titik akhir”[41]. Pola triadik itu dikaitkan secara jelas dengan peran Sabda (Verbum) sebagai titik pusat pengetahuan manusia. Bonaventura merangkum secara padat sistem kristologi-trinitasnya dengan menekankan peran Sabda yang bersifat triadik (triplice verbum): Verbum increatum, Verbum incarnatum dan Verbum inspiratum[42]. Pola triadik Sabda ini dimaknai sebagai sumber iluminasi bagi tiga kualitas intelek (triplex intellectus): Verbum increatum mendasari pengetahuan tentang asal-usul segala sesuatu; verbum incarnatum menerangi pengetahuan tentang pembaruan atau pemulihan segala sesuatu; dan verbum inspiratum berkaitan dengan pewahyuan akhir. Tegasnya, Verbum merupakan pusat pengetahuan manusia. Oleh karena itu, demikian Bonaventura, “memahami Sabda berarti memahami segala hal yang lain”[43]. Dalam Breviloquium Bonaventura telah merangkum tema convenientia ordinis antara pemberian diri Allah dalam Kristus dan potensi keterbukaan manusia. Di sini tampak satu kesatuan tema Trinitas, penciptaan, inkarnasi dan antropologi dalam pemikirannya. Dalam paradigma itu, inkarnasi dipandang sebagai karya Allah paling luhur.
“Allah Bapa telah menjadikan segala sesuatu melalui Sabda yang tidak tercipta, dan Ia pula yang menyatukan segala sesuatu melalui Sabda yang telah berinkarnasi. Sebagaimana Allah telah menjadikan segala sesuatu dengan segenap kuasa, kebijaksanaan dan kebaikan atau kemurahan hati, demikian pula Ia akan mengumpulkan kembali segala sesuatu dengan kuasa, kebijaksanaan dan kebaikan. Apa gerangan yang lebih kuat-kuasa selain yang menyatukan dalam satu pribadi dua kodrat yang begitu jauh berbeda? Apa gerangan yang lebih bijaksana dan lebih tepatdaripada membawa seluruh ciptaan kepada kesempurnaan yang utuh dalam kesatuan antara yang awal dan yang akhir, yaitu Sabda Tuhan, yang adalah awal mula segala sesuatu, dan manusia, sebagai puncak dari segenap ciptaan”?[44]. Christus Medium
Bagi Bonaventura Kristus adalah ‘persona media’. Ia adalah pribadi kedua dalam persekuatuan Trinitas (Trinitas ad intra). Istilah medium menunjuk peran Kristus sebagai ungkapan kasih Allah dalam tata keselamatan (Trinitas ad extra). Peran Kristus sebagai medium dari kuasa Allah sebagai Alfa dan Omega. Peran Kristus dimengerti dari dua sisi: Pertama, sebagai titik pusat pada arah keluar (medium in egressu). Pada arah ini medium berperan sebagai model (exemplar). Kedua, sebagai titik pusat pada arah kembali (medium in regressu). Pada arah ini medium berperan sebagai pengantara (mediatorem). Gambarannya demikian:
“Merupakan sebuah keniscayaan bahwa terdapat titik pusat antara proses berjalan keluar dan berjalan kembalinya sesuatu; tetapi adalah niscaya bahwa pada proses keluar, titik pusat lebih berpaut pada titik yang mengalirkannya; sedangkan pada proses kembalinya, ia lebih berpaut pada titik yang membawanya masuk kembali. Dengan proses serupa, sebagaimana segala sesuatu keluar dari Allah dalam Sabda-Nya, ia pun kembali dengan sempurna; maka, adalah niscaya bahwa pengantara antara Allah dan manusia tidak hanya Allah tetapi sekaligus manusia. Dengan demikian manusia dapat kembali kepada Allah”[45]. Dasar Biblis
Teologi biblis Paulus dan Injil Yohanes menunjuk dengan jelas bahwa peran Kristus bukan hanya sebagai ‘mediator’ antara Allah dan manusia[46]: Dia adalah pusat pandangan dunia (world-view) dalam seluruh tata keselamatan. Ia keluar dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa (Yoh. 16: 28). Ia diutus oleh Bapa (Yoh. 4: 34; 10: 36; 17: 8); Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan (Kol 1, 15), ungkapan wajah Allah yang tersembunyi (Yoh. 1: 18). “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita” (Yoh. 1: 14). Kristus telah datang ke dunia, menampakkan wajah Allah, dan karena itu Dialah Buah Sulung bagi segenap ciptaan (Rom 8: 29); Ia akan mengumpulkan kembali anak-anak Allah yang tercerai-berai (Yoh. 11: 52). Kepada Filipus yang memohon “Tuhan tunjukkanlah Bapa kepada kami”, Yesus menjawab: “Barangsiapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14: 8-9). Metafor “sayap serafim”, “pintu”, “jalan” dan “tangga” yang digunakan Bonaventura dalam Itinerarium Mentis in Deum, yang digali dari Injil Yohanes dan spiritualitas Fransiskus Assisi, memberi indikasi jelas tentang metodologi exitus-reditusdalam kristologi bonaventuriana: “Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yoh. 10: 9). Yesus bahkan menegaskan identitas-Nya sebagai satu-satunya jalan menuju Bapa: “Akulah jalan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14: 6).
Medium Paling Luhur
Kata kunci untuk pribadi ilahi yang kedua ialah exemplar. Dari Allah Bapa, Prinsip Pertama, mengalir rahmat kasih secara gratis (amore gratuito). Pribadi penerima itu ialah Allah Putra. Putra lahir dari Bapa; oleh karena itu Ia merupakan model sempurna (exemplar) dari kasih Bapa[47]; Dialah kebenaran (veritas) Allah. Dengan bahasa Agustiniana, Bonaventura melukiskan Sabda ilahi sebagai seni Allah Bapa (Ars Patris) atau ‘seni ilahi‘ (ars divina). Sebagai seni ilahi Ia memancarkan keindahan yang paling luhur. “Dari kekal Bapa melahirkan Putra yang adalah gambar dan rupa-Nya (similitudinem suam), yang mengungkapkan diri-Nya, dan dengan demikian mengungkapkan totalitas kuasa-Nya, yaitu apa yang telah dan, terutama, yang hendak dilakukan-Nya. Bapa mengungkapkan segala sesuatu di dalam Putra, yang merupakan pusat (medio), ungkapan senidiri-Nya (sua arte). Dan pusat itu adalah kebenaran (veritas)”[48]. Bagi Bonaventura Kristus adalah Pengantara antara Allah dan manusia, dan karena itu menjadi pusat segala realitas (tenens medium in omnibus)[49]: “[…]. dalam Kristus tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan (Kol. 2:3), dan Dia adalah pusat dari segala pengetahuan (medium omnium scientiarum). Ia juga adalah pusat dari tujuh bidang (kategori), yaitu esensi, natura, jarak, doktrin, kesahajaan (modestia), keadilan dan keharmonisan. Yang pertama berkaitan dengan refleksi seorang metafisikus, kedua dengan fisikawan, ketiga dengan matematikawan, keempat dengan ahli logika, kelima dengan ahli etika, keenam dengan politisi atau yuris, dan ketujuh dengan teolog. Kategori pertama berkaitan dengan asal-usul yang kekal, yang kedua untuk difusi/pancaran daya kekuatan, yang ketiga berkaitan dengan posisi sentral/ sentralitas, keempat tentang ekspresi rasional, kelima tentang pilihan-pilihan moral, keenam tentang tata pengadilan, dan ketujuh tentang perdamaian universal. Kristus adalah medium dari generasi yang kekal, medium dalam inkarnasi, dalam penderitaan, dalam kebangkitan, kenaikan ke surga, dalam pengadilan, dan dalam ganjaran akhir atau beatifikasi”[50]. Kristus Pusat | Disiplin ilmu | Atribut Kristologis ad extra | Peristiwa Kristologis |
esensi | metafisika | primat asal-usul yang kekal | dilahirkan dari kekal |
natura | fisika | penyebaran daya kekuatan | inkarnasi |
jarak | matematika | kedalaman dan sentralitas posisi | penderitaan (passion) atau salib |
doktrin | logika | ekspresi yang jelas dan rasional | kebangkitan |
kesahajaan | etika | pilihan moral atau kebaikan | kenaikan ke surga |
keadilan | politik/hukum | otoritas yuridis dalam pengadilan | pengadilan akhir |
kerukunan | teologi | pembawa damai – perdamaian universal | ganjaran hidup kekal atau beatifikasi |
Salib: Pusat Pandangan Dunia
Pada tataran soteriologi, peran Kristus sebagi medium tata keselamatan direfleksikan dalam teologi salib (hoc medium fuit in crucifixione). Sebagai penyelamat, Kristus telah menancapkan tanda keselamatan ke dalam bumi agar bumi dipulihkan. Bagi Bonaventura,
“Kristus..[…] tidak hanya datang di atas permukaan bumi (ad superficiem terrae), tapi pada kedalaman pusatnya (in profondum centri), dan dengan demikian Ia mematok tanda keselamatan di tengah-tengah bumi, sebab setelah penyaliban, jiwa-Nya naik ke neraka untuk merebut kembali takhta-takhta surgawi”[51]. Terinspirasi oleh spiritulitas St. Fransiskus dari Assisi, Bonaventura meyakini bahwa sumber keselamatan telah menampakkan wajahnya pada salib. Salib Kristus merupakan jalan kerendahan hati atau jalan turun Allah, agar manusia keluar dari egoismenya (modus dosa) dan memusatkan pandangannya pada Kristus (modus rahmat). Dalam hal ini, sebagaimana direfleksikan Hayes[52], dosa diartikan sebagai obsesi manusia merebut peran Kristus sebagai satu-satunya medium dan satu-satunya buah sulung segenap ciptaan, lantaran manusia mengandalkan dirinya sebagai pusat pandangan hidup, seakan-akan menyaingi peran Krisus. Penutup
Bonaventura menempatkan dimensi Trinitas sebagai basis kristologinya. Kristologinya berciri Trinitaris, karena itu dapat dinamai kristologi-trinitaris. Baginya, komunikasi diri merupakan ciri intrinsik eksistensi Allah. Secara negatif hendak dikatakan bahwa tanpa dimensi komunikatif dalam diri-Nya, Allah bukanlah Allah yang berkomunikasi dengan ciptaan.
Dalam dinamika triadik itu Kristus adalah titik pusat kongruensi tata ciptaan; Dialah basis pencarian metafisik manusia; pusat wawasan dunia (world-view). Dalam perspektif ini, kebenaran dipahami bukan hanya sebagai sesuatu yang objektif, tetapi juga personal[53]. Sebagai ungkapan diri Allah dalam sejarah, yang ditawarkan Kristus bukan sekedar sebuah contoh etika, melainkan penjelmaan dari prinsip etis paling mendasar yang hidup dalam sejarah[54]. Pada tataran soteriologi, kristologibonaventuriana memaknai salib sebagai pusat bangunan keselamatan. Salib Kristus itu ibarat titik pusat orientasi terhadap bangunan geometris. Dialah batu penjuru tata keselamatan. Memandang salib berarti mengarahkan pandangan kepada pusat wawasan dunia, pusat segala pengetahuan, yaitu Christus unus omnium magister[55]. Kristologi bonaventuriana yang juga berciri kosmik (kristologi kosmik) ini, dapat menjadi sebuah jendela bagi teologi untuk berdialog dengan pandangan sains modern yang meyakini bahwa alam semesta ini merupakan realitas yang terbuka (contingen); bahwa tata ciptaan ini masih berjalan dalam penyempuraan. Dunia ini adalah an incomplete world[56]. Kesempurnaan yang utuh akan terjadi dalam kesatuan dengan Allah Bapa (reductio ad Patrem)[57].
[1] Hexaёm., I, 17 (V, 332): “Hoc est medium metaphysicium reducens, et haec est tota nostra metaphyisca: de emanatione, de exemplaritate, de consummatione, scilicet illuminari per radios spirituales et reduci ad summum. Et sic eris verus metaphysicus”. Lihat Hayes, “The Metaphysics of Exemplarity”, dalam The Cord 59.4 (2009), hlm. 412. Sumber utama karya-karya Bonaventura: Seraphici Doctoris Sancti Bonaventure, Opera Omnia (10 volumes), Studio et Cura PP. Collegii a. S. Bonaventure, Ad Claras Aquas, Quaracchi, 1882-1902. [2] Zachary Hayes, “The meaning of Convenientia in the Metaphysics of St. Bonaventure”, dalam Franciscan Studies 34 (1974). hlm.74. Lihat juga Hayes, “Incarnation and creation in the Theology of St. Bonaventure”, dalam R. S. Almagno dan C. L. Harkins (eds.), Studies Honoring Ignatius Charles Brady, The Franciscan Institute, Saint Boanventure, NY., 1976, hlm. 310. [3] Metodologi ini dikenal juga dengan metode reductio. Istilah reductio merujuk pada traktat De reductione artium ad theologiam, yang menekankan penyempurnaan ilmu pengetahuan dalam teologi, jadi bahwa segala pengetahuan manusia mendapat jawabannya dalam Allah sebagai sumber Kebijaksanaan. Lihat Works of St. Bonaventure (I), On the Reduction of the Arts to Theology (translation, introduction and commentary by Zachary Hayes OFM), Franciscan Institute Publications Saint Bonaventure University, NY., 2002. [4] III Sent., d. 1, a. 2, q. 1 (III, 9). Istilah medium menunjukkan peran Kristus sebagai penghubung antara dua eksrim yang berbeda [III Sent., d. 19, a. 2, q. 2, fund (III, 409b): medium debet esse inter extrema]. [5] III Sent., d.1, a.2, q.1 (III, 19). [6] Bdk. Hayes, “The meaning of Convenientia …”, 92-93 [7] Myst. Trin., q. 8, resp. ad 7 (V, 115b). [8] III Sent., d.1, a. 2, q. 2, contra 5 (III, 22 – 23). Bdk. Hayes, “Incarnation and creation..”, 328. [9] Bdk. Hayes, “The meaning of Convenientia…”, 79-80. [10] Bdk. Hayes, “Bonaventura: Mystery of Triune God”, dalam The History of Franciscan Theology (K. Osborne, ed.), The Franciscan Institute, St. Bonaventure, NY., 1994, hlm. 109-110. [11] Bdk. Hayes, “Incarnation and creation…”, 310. [12] Menurut Hayes, kata ‘kongruensi’ (convenientia) hendaknya dimengerti dalam kesadaran bahwa tata ciptaan, bagaimanapun, berciri kontingen. ‘Kongruensi’ itu lebih dari sekedar ‘tidak bertentangan’; namun di lain pihak tidak identik dengan ‘keniscayaan absolut’. “To speak of congruity, in Bonaventure’s view, is to say considerably more than mere non-contradiction, and less than absolute ncessity”. Dalam hal ini ciri kebebasan Allah dan manusia hendak diberi tempat. Pemahaman kita terhadap wahyu Allah pun terbatas. Hayes, “Incarnation and creation”, 310. [13] I Sent., d. 27, a. un., q. 3, resp. (I, 487). Hayes, “Incarnation and creation…”, 311. [14] Travis E. Ables, “The Word in which all things are spoken: Augustine, Anselm, and Bonaventure on Christology and the Metaphysics of Exemplarity”, dalam Theological Studies Vol. 76 (2015), hlm. 293. [15] Hayes, “Bonaventura. Mystery of the Triune God”, dalam K. Osborne (ed.), The History of the Franciscan Theology, The Franciscan Institute, St. Bonaventure University, NY., hlm. 84. [16] M. Tedoldi, “Verbum vivens in verbo homanis. L’influsso del Verbo sulle Parole dell’uomo nei Sermoni Domenicali di San Bonaventura”, dalam Doctor Seraphicus 62 (2014), hlm. 94. [17] Myst. Trin., q. 8, resp. ad 7 (V, 115b). [18] I Sent., d. 43., a. u, q. 3. concl. (I, 771b); II Sent., d. 1., a., q. 2. (II, 20). [19] Bdk. Kenan B. Osborne, OFM., The Infinity of God and a Finite World. A Franciscan approach, Franciscan Institute Publications, St. Bonaventure University, NY., 2015, hlm.102, 116. [20] Bdk. Itin., V, 2 (V, 304a). [21] Ps. Dionysius, De Caelest. Hierarch., 4, 1; de Div. Nov., 3.1; Itin., VI, 2 (V, 310). [22] Bdk. Itin. VI, 2-3 (V, 310-311). [23] Hayes, “Incarnation and creation…”, 314, 316. [24] Bdk. M. Tedoldi, “Verbum vivens in verbo homanis”, 102. [25] Brevil., II, 4 (V, 222). [26] III Sent., d.1, a. 2, q.1 ad 4 (III, 11). [27] Bdk. Hayes, “The meaning of Convenientia..”, 84. [28] Bdk. Hayes, “The meaning of Convenientia..”, 85. [29] Itin., II, 11 (V, 302). [30] De Trinitate, XIV, viii [31] Bdk. Luc Mathieu, La Trinità Creatrice secondo san Bonaventura, B.F, Milano, 1994, hlm. 230. [32] Lihat Luc Mathieu, La Trinità Creatrice secondo san Bonaventura, hlm. 214ii [33] Cherubino Bigi, “La dottrina della temporalità e del tempo in San Bonaventura”, dalam Ant 39 (1964), hlm. 448. [34] Semula dipandang sebagai Aristoteles. Sekitar 1268 ditemukan bahwa sangat mungkin tulisan Proclus. [35] Liber de causis, prop. 1 et 17, dikutip dalam I Sent., d. 17, p. 1. a.u., q.2 ad 3 (I, 470): “quanto aliquid prius, tanto fecundius est et aliorum principium”. Cf. I Sent., d. 2, a. u., q. 2, resp., 1 (I, 53b) [Luc Mathieu, La Trinità Creatrice, 73]; Cf. Brevil., pars I, c. 3 (V, 212). [36] I Sent., d. 2, a. 1, q. 2 concl. (I, 54a): “Ratio primitatis persona nata est ex se aliam producere; et voco hic primitatem innascibilitatem, rationes cuius, ut dicit antiqua opinio, est fontalis plenitudo in Patre ad omnem emanationem”. [37] Myst. Trin., q. 8, concl. (V, 114). M. Melone “La vita di Dio. ‘Summa Bonita et Caritas’, nel Mistero della Trinità”: Il fondamento della comunione della creazione, dalam Doctor Seraphicus, 62 (2014), hlm. 11. [38] Bdk. Itin., V, 2 (V, 304a). [39] II Sent., d.1, p. 2, a.1, q. 1, concl. (II, 40a): “Quia enim est principium simpliciter primum, ideo fecundum et potens est fecunditate infinita et immensa”. [40] Bdk. II Sent. d.1, p. 2, a.1, q.1 (II, 40ab); Z. Hayes, The Gift of Being. A Theology of Creation, The Liturgical Press, Collegeville, Minnesota, 2001, hlm. 48-49. [41] Hexaёm., I, 12 (V, 331). [42] Hexaёm., III, 2 (V, 343). [43] Hexaёm., III, 4(V, 344). [44] Brevil, IV, I, 2 (V, 241). [45] Red. Art., 23 (V, 325a). [46] Bdk. L. Chiarinelli, “Prolusione: Cristo, la Porta”, dalam Doctor Seraphicus 61 (2013), hlm. 8-10. [47] Itin., VI, 2 (V, 311). [48] Hexaёm., I, 13 (V, 331): “Pater enim ab aeterno genuit Filium similem sibi et dixit se et similitudinem suam similem sibi et cum hoc totum posse suum; dixit quae posset facere, et maxime quae voluit facere, et omnia in eo expressit, scilicet in Filio seu in isto medio tanquam in sua arte”; lihat juga Hayes, “The Metaphysics of Exemplarity and the Itinerarium” , dalam Cord, 59 (2009), hlm. 413. [49] Hexaëm. I, 10 (330b). [50] Hexaëm. I, 11. Liat juga Kevin Huges, “St. Bonaventure’s Collationes in Hexaëmeron: fractured sermons and protreptic discourse”, dalam Franciscan Studies, 63 (2005), hlm. 120. [51] Hexaëm. I, 22 (333a). [52] Hayes, “Incarnation and creation…”, 326. [53] Hayes, “The meaning of Convenientia..”, 99; bdk. Hayes, “The Metaphysics of Exemplarity and the Itinerarium”, dalam The Cord, 59. 4 (2009), hlm. 419-420. Lihat juga studi-studi berikut ini: Edoardo Mirri, “La verità, l’uomo e la storia nel pensiero di San Bonaventura”, dalam Doctor Seraphicus, 59 (2011), 7-27; Orlando Todisco, “Il carattere Cristiano del Pensare Bonaventuriano”, dalam Doctor Seraphicus, 61 (2013), hlm. 13-41. [54] Hayes, “Bonaventura. Mystery of the Triune God”, 84. [55] Chr. Unus. 15, 17 (V, 571b-572a). [56] Hayes, “Incarnation and creation…”, 320. [57] W. Hellmann, Divine and Created Order in Bonaventure’s Theology (Eng. Trans., J. M. Hammond), The Franciscan Institute, St. Bonaventure, NY., 2001, hlm. 63.