Perayaan Kamis Putih berpusat pada kenangan Gereja akan Perjamuan Akhir (last supper) yang diadakan Yesus bersama para murid-Nya sebelum Ia menderita sengsara dan wafat di salib. Hal itu kita temukan dalam teks 1Kor 11: 23-26, Luk 22: 15-20, Mrk 14: 22-25, Mat 26: 26-29. Dalam teks-teks tersebut para penulis memberi kesaksian bahwa Yesus dan para murid mengadakan sebuah perjamuan menjelang kematian Yesus. Menu makannya roti dan anggur. Semua murid hadir, termasuk Yudas Iskariot yang mengkhianati Yesus.
Yesus bertindak sebagai pemimpin perjamuan, tepatnya sebagai pelayan. Ia mengambil roti, mengucap syukur atau berkat atasnya, memecah-mecahkannya lalu memberikan kepada para murid. Ia juga mengambil anggur, mengucap syukur, lalu memberikannya kepada para murid.
Ada dua tindakan Yesus yang mencolok: Pertama, Ia mengidentikkan roti dengan tubuh-Nya: “Terimalah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku”. Yesus juga mengindentikkan anggur dengan Darah-Nya: “Terimalah dan minumlah, inilah piala Darah-Ku”. Kedua, Ia memberi amanat kepada para murid setelah perjamuan: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku”.
Atas roti dan anggur Yesus mengucap syukur. Perlu kita ketahui bahwa tindakan “mengucap syukur” bukan pertama kali dilakukan Yesus dalam Perjamuan Akhir. Ketika Ia melakukan mukjizat menggandakan roti (Mrk 6: 35-44; bdk Yoh 6: 11) Ia telah melakukan hal serupa: mengambil roti, memberkati (eucharistesas), memecah-mecahkan dan memberikannya kepada para murid. Jadi, tindakan mengucap syukur dan membagikan roti bukan hal aneh bagi para murid. Yesus, Guru mereka, telah menunjukkan hal serupa dalam hidupnya.
Tindakan Yesus itu bukan semacam pamer. Perjamuan memang sudah merupakan cara khas Yesus mendekati orang-orang berdosa. Ia makan bersama para murid, orang banyak, bahkan bersama para pendosa. Makan bersama para pendosa bukan semacam sensasi yang dibuat Yesus. Sebab, dengan makan bersama mereka, Ia mewartakan belas kasih Allah bagi para pendosa. Dengan makan bersama para pendosa, Yesus mengajarkan bahwa kasih Allah sekarang nyata bagi mereka, dan mereka diterima kembali oleh Allah sebagai anak-anak-Nya.
Apa pesan yang disampaiakan Injil tentang makna Ekaristi yang kita rayakan? Pertama, Yesus adalah pusat Ekaristi. Seperti yang dilakukan Yesus, kita umat Kristen memaknai Ekaristi sebagai perayaan syukur. Kita berkumpul sebagi persekutuan, kita disatukan oleh satu perjamuan. Yesus sendiri bertindak sebagai pemimpin perjamuan, bahkan Ia sendiri adalah perjamuan itu sendiri.
Sebab ketika kita menerima hosti kudus, kita percaya bahwa ini adalah Tubuh Kristus. “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan (koinōnia) dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? (1 Kor 10: 16-17).
Kedua, Yesus sendiri yang memberi amanat Ekaristi: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku”. Jadi, perayaan Ekaristi itu bukan rekayasa kita. Karena itu kalau kita ditanya apakah Yesus menyuruh kita merayakan Ekaristi, hendaknya kita menjawab dengan
merujuk pada amanat Yesus itu.
Tentu sebagai sebuah tata liturgi, ritus perayaan itu berkembang dari waktu ke waktu, tetapi inti pesan Yesus tidak berubah: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku”. Amanat Yesus itu menjadi kuat ketika Ia memecahkan roti di hadapan dua murid dari Emaus, sehingga mata mereka terbuka, hati berkobar-kobar, dan bangkit menuju Yerusalem untuk mewartakan keobangkita kepada para murid yang lain (bdk. Luk. 24: 13-35).
Ketiga, terkait ucapan syukur. Yesus menjalani hidup penuh syukur. Rasa syukur itu Ia bagikan kepada banyak orang. Dalam Perjamuan Akhir menjadi lebih nyata bahwa ucapan syukur Yesus itu terpancar melalu persembahan diri-Nya bagi para murid. Kalau sikap Yesus ini diterapkan kepada kita, pesannya begini:
Terdapat kaitan erat antara rasa syukur dalam hidup sehari-hari dengan ucapan syukur kita dalam Misa Kudus. Orang yang kurang atau tidak tahu bersyukur dalam hidup sehari-hari akan sulit memaknai Ekaristi sebagai ucapan syukur. Misa di Gereja pada hari Minggu terasa hampa makna, kalau kita tidak bersyukur atas kasih Tuhan dalam hidup harian, dan mengungkapkannya dalam solidaritas dan saling mengampuni.
Penginjil Yohanes mengisahkan bahwa pada malam terakhir Yesus membasuh kaki para murid. Ini juga bahasa tubuh yang maknanya sangat mendalam. Sebagai Guru dan Pemimpin Yesus mengajar bukan dengan kata-kata, tetapi dengan teladan. Tindakan Yesus membasuh kaki para murid tentu menjadi aneh para murid jika selama hidup Ia tidak mengajar dengan teladan kerendahan hati dan pengampunan.
Demikian halnya bagi kita. Apa makna perayaan Ekaristi bagiku, jika dalam hidup sehari-hari saya tidak belajar mengampuni dan melayani sesama?
Selamat merayakan Kamis Putih. Terimakasih tulisannya.
Terima kasih ya