Dalam agama-agama dunia, baik yang besar (Abrahamistik dan Timur) maupun berupa praktek animisme, terdapat praktek ‘menyembah’ atau tidakan ‘mempersembahkan kurban’ kepada suatu wujud adikodrati yang diyakini sebagai penguasa hidup manusia. Praktek menyembah merupakan sebuah “gejala antropologis” (Gagliardi, La Veritá è Sintetica, 717), bersifat umum, tidak semuanya telah direfleksikan secara teologis.
Fenomena tersebut oleh Rudolf Otto (1869-1937) disebut fenomena menyembah (the phenomenon of worship), dan dalam studi Odo Casel (1886-1948) disebut teologi misteri. Manusia menyembah ‘yang misteri’ terdorong oleh rasa gentar sekaligus terpesona padanya. Sang misteri itu tremendum et fascinans (menggetarkan serentak mengagumkan).
Menarik untuk dicatat bahwa ritual primitif keagamaan dilakukan sebagai ritus komunal (communal worship), dimaknai sebagai upaya menjaga keharmonisan antara sebuah komunitas masyarakat dengan wujud adikodrati. Seruan-seruan atau jestur tradisional merupakan simbol relasi antara komunitas manusia dengan wujud adikodrati. Bahan persembahan manusia itu bersifat sakral, karena menandakan relasinya dengan wujud adikodrati itu. ‘Fenomena menyembah’ menunjukkan adanya intuisi universal manusia akan adanya suatu wujud yang transenden.Tindakan manusia mengurbakan sesuatu kepada wujud adikodrati itu merupakan tipologi simbol, yang dalam kekristenan disebut sakramen [bdk. Cheslyn Jones et all (eds.), The Study of Liturgy, 7-8].
Odo Casel, seorang biarawan Benediktin dari biara Maria Laach, dekat kota Bonn, Jerman, mengembangkan teologi misteri dalam karangka pemahaman tentang Sakramen dan Liturgi Gereja Katolik. Casel bertolak dari pengalaman praktisnya dalam liturgi dan doa. Penelitiannya itu dihadapkan dengan ciri utama modernisme, yaitu upaya pencerahan akal budi. Rasionalisme tumbuh subur oleh karena kebebasan berpikir. Humanisasi maupun sekularisasi agama menguat, mitos-mitos ditinggalkan. Dogma agama bukan lagi menjadi penentu otoritas kebenaran. Pendek kata, “rasionalism and mystery do not go well together” (Casel, The Mystery of Christian Worship, 5).
Di lain pihak Casel melihat bahwa otonomi manusia itu tidak memadai sebagai solusi terakhir atas pertanyaan tentang makna hidup dan tujuan akhir sejarah. Independensi ratio justru menjadi semacam belenggu baru. Apa yang oleh orang modern diyakini sebagai pembebasan itu ternyata berciri tirani juga. Semakin manusia mengagungkan rasio dan kemajuan teknologi, juga dalam sikap moral, semakin pula ia sadar bahwa ‘ia telanjang’ (Kej 3: 7). Dampak negatif dari arus materialisme industri, produksi senjata nuklir (perang dunia), dan individualisme memperjelas cacat ratio. Sebaliknya mysterium yang ‘tersembunyi’ dari ratio justru semakin didambakan manusua, terutama dalam bentuk pertanyaan tentang makna hidup manusia.
Objek utama penelitian Casel ialah praktek-praktek penyembahan (worship) yang dihayati umat beriman dalam sakramen-sakramen. “Misteri penyembahan” (the mystery of worship) adalah aspek kunci studinya. Pertanyaan yang menarik perhatiannya ialah bagaimana praktek-praktek penyembahan itu ada dan hidup dalam sejarah dunia, sejak peradaban primordial sampai dunia modern dan kontemporer. Dalam misteri penyembahan itu, Casel melihat suatu dinamika yang lebih kurang umum dan tetap: Tindakan Allah (rahmat) dan tanggapan manusia (iman). Artinya penyembahan itu tidak berhenti pada keterikatan manusia dengan benda tertentu (berhala) , tetapi keyakinannya akan Wujud Yang Ilahi (Casel, The Mystery of Christian Worship, 14-15).
Kata ‘misteri’ digunakan Casel untuk menunjuk kekristenan. Ia tidak mengkategorikan kekristenan sebagai agama, melainkan sebuah misteri. Misteri kekristenan terletak dalam penjelmaan diri Allah yang tidak terbatas (infinite) ke dalam realitas terbatas (finite). Penjelmaan itu hanya mungkin datang dari inisiatif Allah, bukan hasil karya manusia. Dan Allah benar-benar telah mengungkapkan diri-Nya dalam diri Kristus (bdk. Casel, The Mystery of Christian Worship, 6-8). Yang menarik perhatian Casel ialah bahwa misteri hidup hidup dalam diri manusia. Oleh sebab itu yang mungkin dapat dilakukan manusia ialah menyembah sang Misteri yang tidak terbatas itu melalui simbol dan ritus keagamaan (O’Loughlin, The Eucharist, 148).
Corak misteri itu menjadi semakin kuat mengingat bahwa Allah infinitum (yang tak berhingga) itu tetap mendatangi manusia, tetap setia, juga ketika manusia berdosa dan sesengguhnya tidak layak di hadapan-Nya. Manusia pendosa tidak sanggup membalas kerahiman Allah. Ketidaklayakan manusia itu juga tidak menghalangi kerinduannya untuk ‘membalas’ kasih Allah melalui penyembahannya: tentu bukan penyembahan kosong karena mengalir dari pengalaman akan penyertaan Allah sendiri. Menafsirkan pemikiran Casel, Davies (Bread of life and Cup of Joy, 51) menegaskan bahwa dalam kerangka sakramentologi, praktek menyembah bukan sebuah fenomana yang bersifat psikologis-subjektif, melainkan berciri ontologis-objektif (not a physiological or subjective reality, but an ontological and objective reality) .
Casel menyimpulkan bahwa sakramen-sakramen Gereja bukan sesuatu yang sekonyong-konyong ada, melainkan mengalir dari ingatan jemaat akan tindakan Allah. Misteri Ekaristi misalnya terungkap secara istimewa dalam diri Kristus, Imam Agung yang telah mempersembahakan diri bagi manusia. Dalam Perjanjian Baru, bukan lagi hewan kurban yang dipersambahkan. Sebab, sekarang Kristus sendiri lah yang bertindak: Ia memberi diri-Nya menjadi makanan bagi dunia.
Itulah misteri kasih Allah: Ia mau menyempurnakan manusia dengan mengangkat mereka menjadi anak-anakNya. Casel menegaskan bahwa persembahan diri Kristus itu merupakan cara Allah membarui manusia: Kita ‘mati untuk bangkit bersama Dia’. Kurban Kristus merupakan penyempurnaan martabat manusia. Roti dan anggur Ekaristi bukan hanya benda, tetapi tanda (sign) yang menghadirkan misteri ilahi (Casel, The Mystery of Christian Worship, 22-23, 29).
Tindakan menyembah dalam sakramen Ekaristi, hidup bukan hanya dalam individu tertentu, melainkan komunitas Gereja. Dalam komunitas itu kurban misteri Kristus dihadirkan kembali; Ia menjadi pusat myterium, Dialah mysterium itu sendiri; dan karena Dia-lah penyembahan umat beriman itu mendapat makna yang lebih mendalam, yaitu antisipasi hidup baru dalam Allah. Dengan demikian Casel hendak menegaskan bahwa yang hadir dalam Ekaristi ialah Kristus sendiri. Misteri penebusan yang dikerjakan Kristus ribuan tahun lalu tetap hadir dan hidup dalam perayaan sakramen Gereja, khususnya dalam Ekaristi kudus, melalui ritus penyembahan
(Tater-Sweet-Home, 28/6/19].
Salom pater…..Manuia makluk penyembah** Saya berulang kali membaca tulisan yang sangat menarik,**Pemahaman saya yang sederhana, dalam sakramen sakramen dan salah satunya Ekaristi,,,,Dalam Ekaristi kudus,,Tanda dan sarana kehadiran Allah yang menyelamatkan …Setelah membaca secara keseluruhan sangat menambah wawasan dalam berkatekesa…Terima kasih romo****(Salam & Doa ,semoga ama romo sehat selalu)
Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum.