“Vides trinitatem si caritatem vides”. “Bila engkau melihat kasih, engkau melihat Tritunggal Mahakudus” (St. Agustinus, The Trinity VIII, 8. 12).
“Rasul Yohanes berkata: ‘Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetapberada di dalam Allah’ (1Yoh 4: 8, 16). […] “Mengapa harus pergi sambil berlari ke langit yang paling tinggi, ke bumi yang paling dalam, hanya untuk mencari Dia yang tinggal dalam diri kita, sekiranya kita mau tinggal dalam Dia”? (St. Agustinus, The Trinity, VIII, 7. 11).
“Dalam Trinitas Mahakudus, satu hal sama dengan tiga hal bersama, dan dua hal tidak lebih besar dari satu. Ketiganya bersama-sama bersifat tak berhingga. Setiap satu dari mereka adalah salah satu dari yang lain, semua dalam masing-masing dari mereka, dan masing-masing dari mereka dalam semua, semua dalam semua, dan semuanya adalah satu” (St. Agustinus, The Trinity VI, 12).
“Jelas bahwa cinta sejati dan tertinggi tentu ada ketika terjadi kepenuhan segala kebaikan, sebab tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna dari pada cinta kasih. Oleh karena itu, tidak ada orang yang dapat berkata memiliki cinta kasih dalam arti kata yang sesungguhnya, jika ia mencintai dirinya sendiri secara eksklusif. Karena itu, adalah niscaya bahwa cinta ditujukan kepada orang lain agar menjadi cinta kasih. Tanpa keberagaman, tidak terjadi cinta kasih” (Rikard dari Santo Viktor, The Trinity III, 2).
“Sungguh tidak ada yang lebih baik, yang lebih membawa sukacita, sungguh tidak ada yang lebih megah daripada cinta kasih yang sejati, yang tulus dan yang tertinggi (sincere et summa caritate) – yang tentu tidak dapat terwujud tanpa pluralitas persona” (Rikard dari Santo Viktor, The Trinity III, 4-5).
“Suatu Pribadi Ilahi tidak dapat memberikan kemurahan hatinya yang Mahaluhur kepada pribadi lain yang tidak layak menerima kemurahan hati Mahaluhur itu. Satu Pribadi Ilahi tidak akan mengasihi seseorang seperti layaknya ia sendiri, kecuali jika pribadi lain itu sungguh-sungguh memiliki kemuliaan yang setara dengannya. […] Jelas bahwa hanya Allah sajalah kebaikan paling luhur (supremely good); jadi hanya Allah yang memang pantas dicintai secara paling luhur. Oleh karena itu, suatu pribadi ilahi tidak dapat memberikan kasih yang paling luhur kepada pribadi lain yang tidak bersifat ilahi. Lagi pula, kepenuhan keilahian tidak dapat terwujud dalam dirinya tanpa kepenuhan kebaikan. Dan kepenuhan kebaikan, pada gilirannya, juga tidak mungkin terwujud tanpa kepenuhan cinta kasih; dan kepenuhan cinta kasih tidak mungkin terwujud tanpa pluralitas wujud ilahi” (Rikard dari Santo Viktor, The Trinity III, 2).
“Kita berbicara tentang kasih bersama (share-love, condilectio) ketika ada Pribadi Ketiga yang dicintai oleh dua Pribadi lain dalam keharmonisan dan dengan Roh yang sama. Kita berbicara tentang kasih bersama ketika afeksi Pribadi-Pribadi menjadi satu, karena dikobarkan oleh kasih (Pribadi) Yang Ketiga […] Dalam hal ini kita tidak sedang berbicara tentang kasih pada umumnya, tetapi tentang kasih bersama yang sempurna, yakni sebuah kodrat yang tidak diberikan Pencipta kepada ciptaan manapun, dan tidak ada satu pun ciptaan yang layak menerimanya” (Rikard dari Santo Viktor, The Trinity III, 19).
“Prinsip-prinsip yang kekal menghasilkan bersama secara kekal (eternal co-producer). Dalam hal ini terjadi bahwa ada pribadi yang dikasihi (beloved, dilectus) dan pribadi lain yang dikasihi bersama (co-beloved, condilectus); yang pertama itu dilahirkan (generated), yang kedua itu dihembuskan (spirated); yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tanpa dinamika itu, tidak ada kebaikan yang paling luhur, sebab tidak terjadi pemberian diri (self-diffusive) yang paling luhur pula” (St. Bonaventura, Itinerarium VI, 2).
“Bentuk paling luhur dari persekutuan kebaikan niscaya mengandaikan Trinitas, Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dalam Pribadi-Pribadi tersebut, oleh karena kebaikan paling luhur, maka niscaya terjalin sebuah persekutuan yang paling luhur. Dan oleh karena persekutuan yang paling luhur, harus terjalin consubstansialitas; dan dari con-substansialitas niscaya terjalin configurabilitas; dan dari semua itu harus terjadi co-ekualitas yang paling luhur; dan oleh karena itu harus terjalin co-eternitas paling luhur; dan dari semua itu harus terjadi intimitas timbali balik, di mana yang satu niscaya berada dalam yang lain oleh karena inter-penetrasi (circumincessionem) yang paling luhur, yang satu bertindak dalam yang lain dalam kesatuan yang total baik substansi, daya, maupun aktivitasnya dalam Trinitas Mahaluhur itu” (St. Bonaventura, Itinerarium VI, 2).
[RR ‘Andreas Fey’, Malang]