Misteri penjelmaan Firman Allah menjadi sama dengan manusia dikatakan, misalnya dalam Ibr 4: 15, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa”. Bagi iman Kristen, Yesus menjadi sama seperti manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa.
Sejak abad-abad awal pasca-Perjanjian Baru, Gereja mempertahankan keyakinan itu terhadap serangan sebuah aliran sesat bernama Doketisme yang mengajarkan bahwa Yesus hanya tampaknya saja menjadi manusia. Bertentangan dengan ajaran itu, para Bapa Gereja mengajarkan bahwa, jika Yesus itu tidak sungguh-sungguh menjadi manusia, maka pengalaman manusiawinya, terutama penderitaan yang Ia alami hanya palsu belaka; tampaknya saja Ia merasa sakit, sebenarnya tidak. Ia adalah wujud ilahi yang hanya mengenakan topeng manusia.
Memiliki Kebutuhan Lumrah seperti kita. Mudah menemukan dalam Kitab Suci teks-teks yang menunjukkan bahwa Yesus melakukan dan mengalami hal-hal lumrah seperti manusia: Ia lahir, tumbuh dewasa, makan, minum, tidur, marah. Penginjil Lukas melukiskan bahwa setelah tertinggal di Baid Allah, Yesus kembali ke Nazaret, tinggal bersama orangtua-Nya, tumbuh, diertai kebijaksanaan ilahi. Yesus sering makan bersama para pemungut cukai dan orang berdosa. Para pemimpin Yahudi menyebut Yesus seorang pelahap dan pemabuk. Ketika perahu para murid diamuk angin kencang Yesus malah tertidur nyenyak di buritan kapal. Dan banyak contoh lain.
Pengetahuan Yesus Terbatas. Yesus tidak tahu siapa yang mendekati-Nya dari belakang dan menjamah jumbai jubah-Nya (Mrk 5: 28-33). Yesus mengenal Perjanjian Lama, namun bisa saja membuat kekeliruan dalam pengutipan: Dalam Mrk 2: 26, Yesus menyebut Abyatar sebagai imam agung pada saat Daud masuk Bai Suci, padahal Ahimelek adalah imam agung saat itu (1Sam 21: 2-7). Bukan Zakharia anak Berekhya yang dibunuh di antara tempat kudus dan mezbah seperti dikatakan Yesus dalam Mat 23: 35, tetapi Zakharia anak Yoyada (2Taw. 24: 20ii).
Ia juga tidak tahu tentang situasi akhir: perihal siapa yang duduk di sebelah kiri atau kanan Bapa (Mrk 13: 32). Sebagai orang Yahudi, Yesus tahu bahwa Israel adalah bangsa pilihan Karena itu para murid-Nya diutus hanya kepada domba-domba dari umat Israel, dan dilarang menyimpang ke bangsa lain atau orang Samaria (Mat. 10: 5-6). Konteks pengetahuan yang khusus ini menjadi lebih terbuka dan universal justru karena iman dan keberanian wanita Kanaan, wanita dari wilayah asing (bdk. Mat 15: 27-28).
Kesadaran Yesu akan relasi dengan Allah Bapa. Kesadaran personal Yesus merupakan salah satu tema penting dalam Kristologi Perjanjian Baru. Kesadaran yang dimaksudkan di sini ialah kesadaran-Nya akan diri dan relasi-Nya dengan Allah, yang disebut-Nya Abba. Kesadaran itu tampak dalam keseharian hidup Yesus, dan terutama dalam doa dan perisitwa-peristiwa yang bermakna khusus. Misalnya baptis di sungai Yordan, ajaran-Nya tentang doa, pencobaan di padang gurun, transfigurasi, kata-kata tentang Tubuh dan Darah-Nya pada malam Perjamuan Akhir, doa pasrah dalam ketakutan di Getsemani.
Wujud kesadaran diri Yesus yang paling khusus tampak dalam klaim kesatuan diri-Nya dengan Allah Bapa, yaitu sebuah kesatuan tanpa syarat, kecuali karena pengenalan personal antara keduanya: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10: 30); “Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” (10: 38). Hanya Putra yang mengenal Bapa dan hanya Bapa yang mengenal Putra, dan antara keduanya terjalin saling percaya yang total. Pengenalan Putra akan Bapa menjadi ketaatan yang dijalani dengan kesadaran dan kehendak bebas. “Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku” (Yoh 6: 38). Diri Yesus identik dengan ketaatan-Nya pada kehendak Bapa. “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4: 34)..
Yesus juga beriman. Perjanjian Baru menggambarkan bahwa di taman Getsemani, dalam rasa takut Yesus ingin bebas dari ketaatan pada salib. Namun pada akhirnya Ia pasrah kepada Bapa, menyerahkan kehendak-Nya kepada kehendak Bapa. Dalam perspektif kesadaran diri Yesus akan relasi-Nya dengan Bapa pertanyaan yang muncul ialah: Apakah Yesus juga beriman? Pertanyaan itu pernah diajukan teolog Skolastik seperti Thomas Aquinas (STh., pars III, q. 7, a. 3).
Di era modern, sejak 1961, Hans Urs von Balthasar, teolog Katolik dari Swiss, mengajukan kembali pertanyaan yang sama, dan menjawabnya secara lebih positif. Kutipan biblis yang digunakan ialah Ibr 12: 2: “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan, tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah”. Sejak von Balthasar, tema iman Kristus (fides Christi) bangkit dalam teologi Katolik, banyak disambut secara positif.
Pada tahun 1985 Komisi Teologi Internasional (KTI) di Vatikan menerbitkan sebuah studi teologi dengan tajuk “Kesadaran Yesus tentang diri dan misi-Nya”. Studi ini memberi tekanan pada pendasaran biblis terkait kesadaran diri Yesus. Berdasarkan studi-studi teologi yang telah berkembang, KTI memberi perhatian pada tema pengetahuan dan kesadaran diri Yesus. Menurut KTI, tema ini penting bagi teologi Kristen karena menekankan dimensi insani Yesus, dan dengan demikian menegaskan bahwa Allah sungguh menjadi manusia, masuk dalam sejarah manusia, bersolider dengan penderitaan manusia, dan bukan hanya berpura-pura menjadi manusia, tampaknya saja manusia.
Firman menjadi manusia. Poin-poin di atas hendak mereflaksikan iman Kristen akan misteri kehadiran Allah dalam pengalaman manusia. Kata-kata Injil Yohanes ‘Firman menjadi manusia’ (1: 14) menekankan ungkapan diri Allah kepada manusia dengan cara menjadi manusia pula. Yohanes juga sering menggambarkan kemanusiaan Yesus dengan daging. Menjadi manusia berarti menjadi daging. Firman menjadi daging: Yesus tidak hanya menjadi seorang pria. Ia menjadi daging, artinya memiliki tubuh selayaknya manusia, termasuk bersifat lemah dan rapuh. Yesus bukan manusia super atau setengah dewa, melainkan sungguh manusia. Dengan menjadi manusia, kasih Allah menjadi sungguh konkret dan mengena pada pengalamanku. Yesus menjadi daging seperti aku, agar aku dibarui dan diselamatkan. Aku diciptakan untuk menyatu dengan Dia dalam sukacita abadi.
Tertulis pada
Bagus sekali Romo Andre congratulation
Malam pater. Terimakasih. Pemahaman akan Yesus semakin dalam.
Terima kasih ama pater..Ulasan yang sangat lengkap mengenai YESUS SEBAGAI MANUSIA..***Tulisan berikutnya ditunggu***Semoga ama pater sehat selalu.
Terima kasih Romo, tulisan yang membuka mata, bahwa Yesus juga manusia.
Sama2. Tuhan memberkati selalu.
Menjadi semakin memahami. Enak bacanya….
Terimakasih Pater
God bless you abundantly!
Terima kasih Pater atas ulasan yang telah Pater berikan. Saya merasa tertarik atas atas ulasan bagaimana Yesus yang menjadi manusia bukanlah suatu pencitraan tetapi merupakan suatu tujuan dari Allah sendiri supaya apa yabg dialami oleh manusia dapat dialami oleh Allah sendiri. Kemanusiaan Yesus memang sangatlah mirip dengan kita sebagai manusia biasa dimana ada kalanya kita merasa takut, merasa lapar, mengantuk, dll. Yang membedakan Yesus dari kita sebagai manusia biasa adalah Yesus tidak perlu iman karena dalam diri Yesus ada keilahianNya. Sehingga yang bisa kita pelajari di dunia ini dari Yesus sebagai manusia adalah bagaimana kita mau menerima ketaatan kita sebagai manusia dalam bentuk apapun dan bersolider dengan sesama kita baik dalam tolong menolong supaya kebaikan Tuhan menjadi nyata di dunia ini.