Beberapa tahun silam saya merasakan kesedihan mendalam karena seorang saudara sekomunitasku, yang waktu itu baru berusia 43 tahun, sehat walafiat, enerjik, cakap bekerja tangan, tiba-tiba didapati telah meninggal dalam sumur air, hampir pasti karena kehabisan oksigen ketika ia sedang berada di dalam sumur itu. Tanggal 18 Januari 2021 kami mengalami peristiwa yang sunggu menyedihkan: ayah kami terkasih yang masih sehat dan kuat akhirnya pergi mendahului kami.
Manusia takut akan Maut. Kematian itu kejam, karena merenggut rencana-rencana masa depan manusia; ia tidak pandang waktu dan usia; bahkan mendatangi manusia secara sadis. Kematian merupakan tanda ketidakberdayaan manusia secara total. Manusia hanya bisa menerimanya secara pasif. “Maut menempatkan seluruh eksistensi manusia dalam pertanyaan tanpa ada jawaban” (Karl Rahner).
Maut pula yang mendorong manusia bertanya: Setelah kehidupan di dunia ini saya akan ke mana? Apakah akan ada kehidupan lain? Apakah kehidupan lain itu bersifat sementara atau abadi? Seandainya tidak ada kehidupan baru di sana, apa gunanya hidup saleh di dunia? Manusia tidak hanya ingin tahu, tetapi juga gelisah menghadapi saat kehancuran fisik yang definitif. Maut tak terelakan.
Bela Rasa Yesus. Kita membayangkan perasaan janda dari Naim yang kehilangan anak laki-laki satu-satunya (Luk. 7: 11-17). Anaknya yang telah menjadi pemuda dan merupakan satu-satunya harapannya kini telah tiada. Betapa hancur hati si janda ini. Orang banyak hanya dapat menyertai dia, tidak mampu mengubah keadaan. Si janda larut dalam sedih dan rasa kehilangan yang mendalam.
Dalam Yoh. 11: 1-44 ditampilkan rasa kehilangan mendalam yang dialami Maria dan Marta atas kematian Lazarus saudara mereka. Di hadapan Yesus kedunya mengekspresikan penyesalan mendalam: “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini saudaraku pasti tidak mati” (11: 21,32). Kisah ini juga menyoroti emosi kemanusiaan Yesus terhadap kematian Lazarus: terharu dan gentar, masygul, menangis. Yesus juga merasakan apa yang dialami manusia. Ia turut berbela rasa dengan perasaan sedih mendalam yang kita rasakan karena kematian orang-orang terkasih.
Yesus sangat memahami kepedihan janda dari Naim. Hati Yesus tergerak oleh belaskasihan. Ia menguatkan hati si janda: “Jangan menangis!” Tetapi lebih dari sekeder menghibur, Yesus juga bertindak dengan penuh kuasa dan kewibawaan. Yesus memiliki kewibawaan ilahi. Dengan mantap Yesus berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!”
Yesus bertindak penuh kuasa, dan para murid ditantang untuk percaya. Dalam mukjizat penyembuhan Lazarus, Yesus juga bermaksud mendidik para murid-Nya, agar belajar percaya (Yoh. 11: 15). Dengan bersikap “dingin” menanggapi berita sakitnya Lazarus (Yesus tinggal dua hari lamanya), Yesus memberi kesempatan kepada para murid untuk belajar percaya bahwa Ia adalah Tuhan atas maut.
Kuasa Yesus tampak dari kata-kata-Nya yang penuh wibawa: “Angkat batu itu!”; “Lazarus marilah ke luar!” Dan setelah Lazarus keluar dari kubur dengan kaki dan tangan yang masih terikat dan muka yang tertutup, Yesus berkata: “Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi”. Bangkitnya Lazarus membuktikan seruan Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.”
Kewibawaan Yesus ini menjawab keraguan-raguan Thomas.: “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia.” Dengan membangkitakan Lazarus, Yesus juga menjawab kerinduan Marta yang, meskipun tahu bahwa Ia adalah Mesias Anak Allah, namun belum sungguh percaya bahwa saat ini juga Yesus dapat membangkitkan Lazarus saudaranya.
Kuasa Yesus juga membuka mata beberapa orang Yahudi yang bertanya pesimis: “Ia yang memelekkan mata orang buta, tidak sanggupkah Ia bertindak sehingga orang itu tidak mati? Kabar baik bagi kita orang Kristen ialah bahwa Yesus sendiri menghargai kehidupan, sehingga dengan mengalami situasi batas itu manusia justru masuk dalam kepenuhan harapan yang paling radikal.
Berharap pada Allah yang Hidup. Kasus yang diajukan kaum Saduki melawan kebangkitan dan tanggapan Yesus (Mat 22: 24-32) bermakna juga bagi kita yang sering kali mempunyai pertanyaan dan kebimbangan sekitar kebangkitan. Meskipun gambaran manusia tentang hidup kekal terbatas, namun kerinduan itu memang melekat pada kodratnya. Manusia mendambakan hidup abadi.
Bagi orang Kristen, ada beberapa pendasaran yang memberi harapan akan hidup baru setelah kematian: Pertama, dunia kebangkitan itu, sebagaimana jawaban Yesus kepada kaum Saduki, baru sama sekali, sungguh-sungguh berbeda dengan hidup di dunia ini. Contoh dalam kasus tersebut mengungkapkan bahwa manusia yang dibangkitkan Allah tidak lagi memerlukan hubungan perkawinan untuk menjamin kelangsungan umat manusia, karena mereka tidak lagi mengalami kematian. Di alam kebangkitan pelestarian ras manusia tidak penting lagi. Mereka hidup seperti malaikat dan berelasi akrab dengan Allah sebagai anak-anak-Nya yang serupa dengan Putra-Nya.
Kedua, Allah sendiri memungkinkan kebangkitan karena Ia bukan Allah orang mati. Hanya orang hidup yang dapat berhubungan dengan Dia. Allah tetap merupakan Allah nenek moyang setelah mereka meninggal dunia (32). Hubungan itu hanya mungkin kalau Allah tidak membiarkan hubungan yang telah dimulai antara Dia dengan mereka di dunia ini sama sekali diputuskan oleh kematian jasmani. Allah sendiri memelihara kehidupan mereka di seberang kematian. Ia membangkitkan mereka dari alam maut.
Ketiga, keyakinan bahwa Allah orang hidup itu telah menjelma dalam diri Yesus Kristus. Yesus sendiri telah membuktikan bahwa Ia masuk dalam alam maut justru karena menghargai kehidupan. Setelah bangkit, Yesus pergi menyediakan tempat bagi para pengikutnya di rumah Bapa-Nya, dan datang kembali membawa mereka ke tampat ia berada (bdk. Yoh 14: 2-3). “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorapun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14: 6).
Saudari Maut. Hendaknya kita belajar untuk berharap akan kehidupan yang dijanjikan Kristus. Jangan sampai kita terlalu mudah diliputi kecemasan sehingga kehilangan pegangan hidup ketika kematian mengancam. Sudah sewajarnya bahwa manusia mempertahankan hidup dengan bekerja, merawat fisik dan mental, jaminan rasa aman, mewariskan keturunan.
Namun hendaknya semua itu dimaknai secara Kristiani, ditempatkan dalam kerangka harapan akan kehidupan abadi, dan bukan suatu ketergantungan pada dunia fana. Berharapan dalam Kristus juga berarti kritis terhadap bentuk-bentuk hiburan yang hanya memuaskan emosi sesaat mengenai kebangkitan. Mengalami kebangkitan bukan sesederhana membeli tiket dan masuk, namun soal kepercayaan yang diperjuangkan dalam iman.
Pembelaan akan kebangkitan terungkap secara tajam dalam kata-kata Santo Paulus: “Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah kepercayaan kamu” (1 Kor 15: 13). Paulus yakin bahwa meski manusia terkungkung oleh dosa dan maut warisan Adam, namun jauh lebih besarlah kasih karunia Allah yang dilimpahkan kepada semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus (bdk. Rom. 5: 14-15). Maut, musuh terakhir telah dikalahkan (1Kor 15: 26), sehingga oleh-Nya hidup takkan binasa (2Tim 1: 10).
Warta iman itulah yang diwariskan Gereja. Setiap kali kita mendaraskan Credo, bersama Gereja kita berseru: “Aku percaya akan […] kebangkitan badan dan kehidupan kekal, Amin.” Rumusan itu kiranya bukan penghiburan murahan, tapi ungkapan pengalaman Gereja dan harapan mendalam akan Allah yang hidup.
Santo Fransiskus dari Assisi, dalam doa pujiannya yang sangat terkenal, Nyanyian Saudara Matahari, mengekspresikan sambutannya kepada maut: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena saudari Maut badani, daripadanya tidak akan terluput insan hidup satupun. Celakalah mereka yang mati dengan dosa berat; berbahagialah mereka yang didapatinya setia pada kehendak-Mu yang tersuci karena mereka takkan ditimpa maut kedua.” Bersama pujian Fransiskus kita percaya pula bahwa semua mereka yang telah dijemput saudari maut, mengalami kebahagiaan kekal bersama Kristus yang ia imani selama penziarahannya di dunia ini.
Manusia selama hidup didunia,sering tergiur dengan berbagai macam tawaran berinvestasi..Dan banyak orang sangat mendambakan kesejahteraan dan kebahagian..Namun tidak banyak orang yang memikirkan mengenai Investasi hidup kekal,..Bagi orang yang mulai memikirkan tentang investasi hidup kekal karena mereka berharap akan belas kasih Tuhan untuk memperoleh hidup keka/hidup abadi.. .Karena mereka percaya Tuhan Yesus telah menyediakan kediaman bagi kita yaitu Rumah Bapa di surga….Terima kasih ama pater,telah mengutip bacaan bacanan yang sering dibaca pada Ibadat arwah…. (Salam.& Doa ..semoga ama pater sehat selalu)
Suatu peringatan bagi kita yang masih berkelana di dunia ini bahwa kematian pasti terjadi suatu hari nanti sebab kita pasti akan meninggalkan dunia ini untuk kembali menghadap Allah. Oleh karena itu kita diminta untuk berjaga-jaga bila mempelai laki-laki datang. Juga percaya ada kehidupan setelah kematian. Terima kasih Romo untuk mengingatkan kami semua untuk selalu berbuat baik.
Terima kasih bu. Tuhan memberkati kita semua. Amin.