Judul bab keempat Fratelli Tutti: Hati yang Terbuka bagi seluruh Dunia. Paus menegaskan bahwa ketika visi persaudaraan universal menyentuh kenyataan manusia sebagai makhluk daging, ia menjadi visi imperatif: mengharuskan kita bertindak konkret.
Ketika yang menjadi sesama kita adalah orang asing, tantangan bagi kita menjadi lebih kompleks. Paus menyerukan empat kata kerja yang merangkum sikap etis kita kepada orang asing atau pendatang: menerima, melindungi, meningkatkan, mengintegrasikan [128-129].
Paus menyebut hal-hal konkret yang dapat dilakukan bagi orang-orang asing di negara atau kota tempat kita tinggal: memberikan penginapan terutama bagi mereka yang paling lemah (orang tua dan anak-anak), menyediakan makanan, memberi jaminan keamanan, menghormati kebebasan beragama, memungkinkan pendidikan bagi anak-anak,…..
Kepada para pendatang yang telah lama tinggal, hendaknya diupayakan status kewarganegaraan penuh, dan diberikan hak-hak sebagai warga, bukan sebagai minoritas, yang sering kali menjadi pembenaran untuk perlakuan diskriminatif. Tentu saja seruan seperti ini mengandaikan kerja sama komunitas-komunitas internasional, bukan atas kemauan negara tertentu saja [130-132].
Saling Memperkaya. Para imigran adalah sebuah berkat: kehadiran mereka membuka kemungkinan bagi kita untuk perjumpaan dengan pribadi lain dengan budaya yang berbeda; dan karena itu saling memperkaya. Paus secara khusus mengajak orang muda untuk belajar menerima para imigran, dan tidak terprovokasi pada sikap diskriminatif dan rasisme. Para imigran tetapi diberi kesempatan untuk mengungkapkan diri dengan budaya aslinya, dan kita dapat belajar dari budaya mereka. Untuk itu perlu dialog yang otentik dan belajar saling memperkaya satu sama lain [133-134].
Paus memberi contoh para imigran dari Meksiko yang turut memperkaya kultur Amerika Serikat; atau para imigran Italia dan orang Yahudi yang turut membentuk dan memperkaya kultur Argentina, negara asal Paus. Dalam konteks ini Paus menegaskan bahwa ia bersama Imam besar Ahmad Al-Tayyeb menyadari pentingnya relasi antara dunia Timur dan Barat [135].
“Dari peradaban Timur Barat dapat belajar memulihkan beberapa penyakit dalam aspek spiritual dan religiusnya yang disebabkan oleh dominasi materialisme. Sebaliknya Timur dapat menemukan pada peradaban Barat begitu banyak elemen yang bisa membantunya mengatasi kekurangannya, perpecahan, konflik dan kemunduran dunia ilmiah, teknis dan budaya” [136].
Saling Melengkapi. Akar budaya suatu bangsa adalah harta berharga bagi semua manusia. Belum pernah terjadi sebelumnya, bahwa dunia kita sekarang terkoneksi satu sama lain. Semua terhubung. Jelas pula bahwa kemiskinan dan penderitaan suatu negara akan berdampak bagi semua. Kita membutuhkan sistem hukum, politik dan ekonomi yang memungkinkan kerja sama semua pihak. Negara miskin perlu dibantu negara maju untuk mendapat akses pasar internasional [137-138].
Menerima dengan gratis. Paus tegaskan bahwa di sini ia tidak sedang berbicara tentang utilitarianisme: sekedar saling memanfaatkan. Ada pula corak cuma-cuma. Ini adalah ajakan untuk memberi tanpa mengharapkan balasan yang menguntungkan. Negara-negara hendaknya tidak hanya menerima ilmuwan dan investor asing, tetapi juga mereka yang lemah dan miskin.
Ingatlah akan kasih Tuhan yang tidak memilah-milah. Ia menerbitkan matahari baik bagi orang baik maupun orang jahat (Mat 5: 45). Yesus juga mengingatkan kita: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6: 3-4). Kita telah menerima secara cuma-cuma dari Bapa yang penuh kasih, maka hendaknya kita memberi dengan cuma-cuma pula (Mat 10: 8). [139-140]
Sebuah bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak tertutup dalam nasionalismenya. Dalam situasi krisis seperti sekarang ini kualitas sebuah negara diuji. Sayangnya banyak negara masih tertutup. Ketika para imigran hanya dilihat sebagai ‘perebut’, mereka dianggap berbahaya. Hanya sebuah budaya sosial dan politik yang terbuka bagi orang asing lah yang memiliki masa depan [140-141].
Lokal dan Universal. Menyadari situasi global namun memberi aksi nyata di lingkungan sekitar, itulah prinsip dasar yang dipegang. Kedua hal ini merupakan satu-kesatuan. Warga kota dan negara memang harus bertindak di tingkat lokal dalam rangka menyikapi realitas sekitar. Dan politik sebuah bangsa hendaknya membuka wawasan bagi cara pandang warga akan situasi global, tidak membiarkan mereka terkurung hanya dalam rutinitas lokal. Warga yang tak tercabut dari akar budayanya akan mampu membuka diri secara kritis bagi perkembangan global [142-143].
Unsur universal dan global tidak perlu mendominasi kebudayaan lokal. Universal bukan berarti homogen. Ini palsu. Sejarah keruntuhan Babel (Kej 11:1-9) sudah cukup memberi pesan bahwa manusia tidak bisa menyederhanakan keberagaman karunia Allah dengan ambisinya untuk menyeragamkan semua. Keharmonisan tetap dirawat dalam rumah bersama. Dan itu mungkin kalau perbedaan diterima sebagai hadiah yang memperkaya persaudaraan universal [143-145].
Narsisme lokal bukan tanda yang baik untuk persaudaraan universal. Memelihara kebudayaan lokal tanpa horizon keterbukaan pada yang universal pun tidak sehat. ‘Lokalisme’ hanya membuat suatu negara atau kota menjadi tertutup. “Kebudayaan tanpa keterbukaan pada nilai universal adalah bukan budaya” (Yoh. Paulus II). Dengan kata lain, dialog antara budaya menjadi penting. Dengannya kita menemukan keindahan dari budaya dan bangsa lain. Namun cita-cita ini tinggal sebuah utopia jika manusia tidak belajar membuka diri dan menerima perbedaan [146-150].
Dari wilayah khusus. Paus tidak menutup mata bahwa ada wilayah-wilayah lokal tertentu yang mengupayakan sebuah kultur hidup yang terbuka di perbatasan dengan negara lain. Negara-negara miskin mudah membangun keterbukaan di wilayah batas. Di sana ada aksi solidaritas secara tulus untuk membangun ‘kita’ di wilayah perbatasan. Sikap ini mungkin tumbuh karena Pendidikan yang membentuk seseorang untuk mengasihi sesama sekitar, mulai dari keluarga [151].
Sikap demikian lebih sulit dibangun antara negara-negara besar dan maju. Individualisme dan narsisisme bangsa masih mewarnai banyak negara. Ada perasaan takut terhadap bangsa lain. Jangan-jangan kita dididik untuk merasa takut terhadap orang lain? (152-153].
Luar biasa ulasannya. Seruan demikian semoga semakin membuka wawasan semakin banyak orang untuk memandang yang lain sebagai kado dari Allah untuk kebahagiaan bersama dan tidak takut untuk bertumbuh dan belajar bersama walaupun beragam….salam Charitas, Pace e bene