Bab Tujuh Fratelli Tutti: Jalan Perjumpaan yang Baru. Di banyak wilayah di dunia, ada upaya-upaya damai yang dibangun dengan tujuan menyembuhkan luka traumatis, merajut damai, agar terjadi perjumpaan baru dengan cara-cara yang cerdik dan berani [225].
Memulai Kembali dari Kebenaran. Mengapa perlu perjumpaan baru? Sebab, telah terjadi begitu banyak pertentangan dan peperangan antara umat manusia. Diperlukan pengakuan yang jujur akan apa sesungguhnya yang terjadi, sehingga kebenaran sungguh terkuak, dan perjumpaan baru diupayakan. Perjanjian damai di atas kertas saja tidak cukup. Kita butuh penegakkan kebenaran. Dan kebenaran itu tidak tercapai tanpa keadilan dan belas kasihan. Butuh sikap jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi pada para korban peperangan dan kekerasan, lalu diupayakan rekonsiliasi dan pengampunan. Penegakan kebenaran membutuhkan proses yang tak mudah [226-227].
Arsitek dan Ahli Perdamaian. Jalan menuju damai membutuhkan kerja sama. Untuk menciptakan damai saya perlu berdialog dengan lawan bicara: ia partner dialog. Sebab itu posisi dan cara pandangnya perlu dihargai sebagai sikap yang sah, sekurang-kurangnya dari pihak dia. Adanya partner dialog bukan untuk dibungkam dengan gagasanku. Mungkin saja pandangannya salah. Namun perlu didengarkan agar ada titik terang untuk mengevaluasi. Rekonsiliasi mengandaikan dialog, bukan dominasi satu pihak. Sebuah entitas sosial, entah keluarga, suku, maupun bangsa perlu didasarkan di atas penghargaan pada nilai universal, yaitu kemanusiaan [228-229].
Dialog yang mengabaikan identitas satu pihak bukan dialog. Bumi adalah rumah bersama. Umat manusia hidup dalam satu rumah, tempat di mana tidak ada satu orang pun diabaikan: kakek, nenek, orangtua, anak-anak. Semua bekerja sama. Ketika satu orang sakit, semua menolong. Inilah gambaran komunitas masyarakat yang sejati; inilah komunitas sosial yang kuat dan menang. Tentu saja sebuah keluarga tidak selalu sempurna: bisa terjadi pertengkaran. Namun hal itu tidak memisahkan anggotanya. Susah dan senang dirasakan bersama. Tidak ada yang anonim dalam rumah bersama. Itulah indahnya hidup bersama [230].
Visi damai seperti ini membutuhkan kerja keras. Diperlukan sebuah seni membangun damai. Orang yang membangun damai itu siap mengalami transformasi diri. Damai adalah proyek kehidupan: ia dibangun dalam keseharian. Ada sebuah bangunan arsitektur damai dalam masyarakat. Setiap institusi sosial turut ambil bagian berdasarkan kompetensi mereka yang khusus. Meski demikian, semuanya disatukan dalam satu ‘keahlian’, yakni damai. Damai mempersatukan [231].
Perlu dikatakan bahwa damai bukan hal yang sudah final. Damai menuntut budaya perjumpaan yang diupayakan terus-menerus dan dari berbagai sektor sosial. Sebab ada banyak tantangan dalam jalan membangun damai. Tantangan utama bagi perdamaian ialah kepentingan segelintir orang dan yang bersifat sementara. Sering kali orang mengira dapat mewujudkan perdamaian dengan protes-protes publik, yang hampir selalu diwarnai aksi kekerasan. Aksi seperti ini memiliki dasar yang sangat kabur, dan lebih banyak merupakan manipulasi kepentingan politik [232-233].
Persahabatan sosial dilakukan bukan hanya antara kelompok yang besar dengan kepentingan-kepentingan besar, melainkan dengan pihak yang paling lemah dan diabaikan, yang paling miskin dan di wilayah pinggiran. Oleh sebab itu damai sesungguhnya bukan berati tidak ada perang, melainkan proses berjalan bersama, yang ditandai rasa hormat pada saudari-saudara kita. Persahabatan sejati justru tampak dalam pilihan untuk berpihak pada mereka yang lemah [234-235].
Nilai dan Arti Pengampunan. Mengabaikan rekonsiliasi adalah pilihan yang salah. Paus mengkritik pandangan yang mengatakan bahwa rekonsiliasi itu tidak diperlukan karena itu adalah tanda kekalahan, ketidakmampuan untuk konfrontasi, dan karena itu menyembunyikan masalah. Bagi Fransiskus, rekonsiliasi adalah kebajikan agama-agama. Namun sayangnya pemaknaan rekonsiliasi sering kali tidak utuh. Karena itu, daripada memilih damai, orang sering kali lebih memilih aksi kekerasan, yang sebetulnya hanya mendatangkan aksi kekerasan baru [236-237].
Yesus sendiri mengecam kekerasan (bdk Mat 20: 25-26) tetapi mengajarkan pengampunan ‘sampai tujuh puluh kali tujuh kali’ (Mat.18: 22). Menarik bahwa komunitas Kristen awal yang tumbuh dalam dunia yang ditandai dengan korupsi dan penyimpangan, hidup dalam toleransi dan kesabaran. Dengan jelas dikatakan bahwa mereka ‘menuntun orang yang melawan dengan lemah lembut’ (2Tim 2: 25); mereka diminta ‘tidak bertengkar, tetapi selalu ramah dan lemah lembut terhadap semua orang’ (Titus 3: 2-3). Dalam Kisah Para Rasul digambarkan bahwa para Rasul yang dikejar-kejar para pemimpin, ‘disukai banyak orang’ (Kis 2: 47; 4:21,33; 5:13) [238-239].
Dalam pembicaraan tentang damai, kita perlu merefleksikan kata-kata yang menghentakkan dari Yesus: “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya” (Mat 10: 34-36) [239].
Konteks dari kata-kata ini ialah ajaran Yesus tentang konsistensi pada pilihan: tanpa malu mempertahankannya, meskipun ditentang oleh orang-orang dekat, bahkan oleh keluarga. Jadi ini bukan ayat untuk membenarkan konflik. Justru sebaliknya: kata-kata Yesus ini memberi dasar bagi kita untuk mengatasi konflik. Sebab, hormat kepada nilai kebenaran itu menuntut komitmen, yang tentu disertai rasa hormat pada keluarga. Teks Injil ini menantang radikalitas dan kesetiaan Gereja dalam iman di tengah konflik dan perang kepentingan sosial [240].
Perjuangan Secara Sah dan Pengampunan. Memberi pengampunan bukan berarti mengabaikan keluhuran martabat seseorang di hadapan pelaku kejahatan dan kriminal. Mengasihi musuh bukan berarti membiarkan sikapnya yang buruk atau membenarkan perbuatannya. Mengampuni musuh berarti membantu melepaskannya dari kuasa jahat yang mengekang martabatnya. “Siapa yang menderita ketidakadilan harus dengan kuat membela hak-haknya dan keluarganya, justru karena ia harus menjaga martabat yang telah diberikan kepadanya, satu martabat yang dicintai Tuhan” [241].
Jika seseorang berbuat jahat kepada saya atau sesamaku, tidak ada yang menghalangi saya untuk menuntut keadilan dan berupaya sehingga orang itu – atau siapa pun – tidak lagi membahayakan saya maupun orang lain. Pengampunan bukan berarti mengabaikan sikap adil, justru mengharuskannya. Yang dilarang ialah membalas dengan kekerasan sehingga menyerang hidup seseorang. Sebab cara terakhir ini tidak pernah akan membuahkan damai [242].
Upaya damai dan pengampunan bukan perkara gampang. Sebab upaya ini menuntut usaha terus-menerus ‘mengalahkan kejahatan dengan kebaikan’ (bdk Rm 12: 21). Budaya damai mengandaikan benih damai yang tumbuh dalam hati setiap orang. Orang yang memiliki damai dalam diri, memiliki kelembutan, terdorong untuk mengampuni.
Sebaliknya hati yang keras hanya menuntut balasan, dan ini memicu perang dan kekerasan. Konflik masa lalu yang meninggalkan trauma yang rumit, butuh untuk diurai, bukan dihindari. Mendiamkan luka konflik hanya memperumit kesalahan dan dosa. Menghindari konflik tidak membuahkan damai. Dialog menjadi jalan yang penting: dialog secara transparan dan jujur [243-245].
Ingatan. Pengampunan dan rekonsiliasi adalah sebuah pengalaman personal. Bukan cara yang wajar jika kita meminta sebuah ‘pengampunan sosial’ atau ‘rekonsiliasi sosial’ dari mereka yang mengalami trauma dan luka masa lalu. Tentu tidak disangkal bahwa ada orang yang sungguh berbelas kasih sehingga rela mengampuni musuh yang menganiaya (bdk Mat 5: 44-46). Yang jelas, tidak dapat diadakan sebuah ‘rekonsiliasi umum’ hanya untuk menutup luka ketidakadilan dengan mantel ‘lupa’. Siapa yang pantas mengklaim pantas memaafkan atas nama orang lain? Tanpa menyangkal bahwa ada orang yang mampu dan rela memaafkan, yang jelas meminta orang melupakan trauma masa lalu adalah cara yang tidak pernah dibenarkan [246].
Shoah (pembunuhan terhadap penganut Yahudi Eropa) tidak untuk dilupakan. Paus mengenang para korban Shoah dengan mengutip doa berikut ini: “Ingatlah kami dalam belas kasihan-Mu. Beri kami rahmat untuk merasa malu atas perbuatan kami sebagai manusia, untuk merasa malu akan penyembahan berhala yang paling besar, karena telah melecehkan dan menghancurkan daging kami, yang Engkau jadikan dari lumpur tanah liat, yang Engkau hidupkan dengan nafas kehidupan-Mu. Tidak pernah akan lagi, Tuhan, tidak pernah lagi!” (Yad Vashem) [247].
Tak terlupakan pula bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, serta para korban perang dan kekerasan di berbagai tempat. Tidak ada amnesia bagi peristiwa-peristiwa tragis itu. Kita tidak bisa membuka lembaran sejarah sambil mengatakan bahwa ini hanya peristiwa masa lalu, sebaiknya dilupakan, agar memandang ke depan. ‘Demi kasih Allah, tidak’! Tanpa ingatan tidak ada masa depan [248].
Kita harus memiliki kesadaran kolektif akan semua ini; mengisahkan kesalahan kita ini kepada generasi muda, agar kesadaran akan anti kekerasan semakin tertanam dalam diri manusia. Dan dari pihak para korban kita harapkan agar mereka tidak jatuh dalam logika balas dendam. Dalam hal ini Paus mengapresiasi gerakan-gerakan, baik kecil maupun besar, yang mengupayakan rekonsiliasi melalu solidaritas, pengampunan dan persaudaraan [249].
Mengampuni Tanpa Melupakan. Mengampuni bukan berarti melupakan. Mengampuni merupakan proses pembebasan para korban dari keinginan balas dendam, agar mereka perlahan-lahan lepas dari naluri kekerasan yang sama. Pengampunan adalah sebuah sikap yang sungguh mulia. Hanya dengan kemurahan hati orang dapat mengampuni. Balas dendam tidak pernah menjadi solusi. Di pihak lain, impunitas bukan pilihan tepat. Seorang kriminal yang melukai manusia perlu ditindak adil, meski tetap dalam semangat kasih, agar kita tidak terjebak dalam rantai kekerasan [250-253].
Paus mengulang kata-katanya dari sebuah Homili di Amana-Yordania, 24 Mei 214: “Saya memohon kepada Tuhan ‘untuk mempersiapkan hati kita untuk berjumpa dengan saudara-saudara, terlepas dari perbedaan ide, bahasa, budaya, agama; agar Ia mengurapi seluruh keberadaan kita dengan minyak belas kasihan-Nya, agar kita disembuhkan dari kesalahan, kesalahpahaman, dan dari perselisihan; rahmat untuk mengantar kami dengan kerendahan hati dan kelembutan di jalan yang berat tetapi membuahkan hasil dalam upaya mencari perdamaian’” [254].
Perang dan Hukuman Mati. Sementara orang berpikir bahwa perang dan hukum mati menyelesaikan masalah. Paus menegaskan bahwa keduanya tidak pernah akan menjadi solusi. “Tipu daya ada di dalam hati orang yang merencanakan kejahatan, tetapi orang yang menasihatkan kesejahteraan mendapat sukacita” (Amsal 12: 20). Sejarah membuktikan bahwa perang sungguh menghambat damai sejahtera. Perang bukan kisah masa lalu. Perang itu nyata [255-257].
Perang bertentangan dengan hak asasi manusia. Piagam PBB pun menegaskan hal ini. Dan kiranya PBB tetap memperjuangkan hak semua umat manusia, dan tidak hanya memihak pada kepentingan negara-negara tertentu. Hal utama yang patut disadari ialah kemajuan teknologi senjata kimia dan biologi, yang sangat mungkin digunakan dalam perang. Senjata militer memiliki kekuatan pemusnah, dan tidak ada jaminan bahwa itu tidak disalahgunakan. Banyak korban tidak bersalah karena senjata pemusnah. Tidak ada ‘perang benar’. Jangan ada perang lagi! [258].
Di zaman kita sekarang perang dingin antara negara tertentu terus terjadi. Mereka memiliki kepentingan. Tidak ada masa depan yang baik karena parang. Banyak korban traumatis karena perang. Kejahatan lain seperti terorisme pun muncul karena ambisi politik dan produksi senjata pemusnah. Sungguh, tidak ada solusi damai melalui perang dan kekerasan. Selama orang tidak memikirkan kesejahteraan bersama, perang teru menghantui umat manusia [259-261].
Hukuman Mati. Cara lain yang juga keliru ialah memberikan hukuman mati bagi orang yang dianggap bersalah. Paus Yohanes Paulus Kedua telah mengecam hal ini, karena sama sekali tidak dibenarkan secara moral maupun hukum. Perjanjian Baru mengajarkan bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan bukan solusi untuk kehidupan (bdk Rm 12: 17, 19). Peran memberikan hukum yang adil bagi seseorang ada pada para pemerintah yang mengusahakan kebaikan (bdk Rm 13: 4; 1 Ptr 2: 14). Bagaimanapun, membunuh seseorang adalah kriminal [262-264].
Gereja menentang keras praktek hukuman mati. Orang Kudus seperti St. Agustinus pun menolak hukuman mati. Karena itu Paus juga mengkritik keras hukuman penjara semur hidup. Baginya ini adalah hukuman mati secara halus. Semua orang Kristen dipanggil untuk menjadi pembawa damai dan pembela kehidupan: “Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak” (Yes 2: 4). Bagi kita nubuat ini menjelma dalam diri Yesus, yang kepada seorang murid yang sedang tergoda perbuatan jahat berkata: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat 26: 52) [265-268].
Perkataan Yesus ini menggemakan kembali kata-kata peringatan dari Perjanjian Lama: “Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia. Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri (Kej 9: 5-6). Reaksi spontan dari Yesus yang dikatakan kepada Petrus itu keluar dari hati-Nya, dan sepanjang sejarah sampai sekarang perkataan itu menjadi suatu peringatan bagi kita [289-270].
Selamat pagi Pater…..semoga setiap hati sadar akan belas Kasih Allah supaya memiliki kerinduan yang sama untuk melahirkan damai bagi dunia….Salam Charitas,. Pace e Bene
Makasih Bro Andre atas ulasan Fratelli Tutti ini, singkat, padat, menarik. Grazie
Betapa indahnya rekonsiliasi terjadi mulai dari dalam diri sendiri,
hingga meluas dengan sesama dan alam semesta.
Syukur dan terima kasih Sdr. Andre Atawolo.