Bab Delapan Fratelli Tutti, Peran Agama-agama Dalam Persaudaraan di Dunia. Berdasarkan kesadaran akan kesetaraan manusia sebagai anak Allah, kita semua, perempuan maupun laki-laki, memainkan peran istimewa dalam menjalin damai dan persaudaraan bagi umat manusia.
Tujuan dialog antara agama-agama buka sekedar diplomasi atau sopan-santun, melainkan menjalin persahabatan, damai serta keharmonisan berdasarkan kasih dan kebenaran [271].
Dasar Terdalam. Sebagai umat beriman, kita percaya bahwa dasar terdalam bagi dialog ialah keberadaan kita sebagai anak-anak dari Satu Bapa. Karena kita berasal dari Satu Bapa, maka kita adalah saudara. Dasar dari sikap saling menerima dalam perbedaan bukan hanya nalar, tetapi terutama kasih. Nalar saja tidak cukup untuk membangun persaudaraan [272].
Paus Fransiskus menegaskan pernyataan Paus Yohanes Paulus II dalam Centesimus annus (1 Mei 1991). Dikatakan bahwa, jika tidak ada sebuah nilai transenden yang menyatukan semua manusia, maka tidak ada jaminan yang benar bagi kesatuan manusia. Jika tidak ada kebenaran transenden, yaitu kebenaran paling luhur yang melampaui segala kepentingan manusia, makan manusia sesukanya mengutamakan dirinya demi berbagai alasan: agama, suku, bahasa, identitas bangsa, kedudukan, kuasa, kepemilikan, kepentingan diri….. Akar dari totalitarianisme modern ialah penyangkalan pada keluhuran martabat manusia sebagai pribadi gambaran Allah [273].
Pengalaman kita sebagai umat beragama dalam sejarah menunjukkan bahwa menghadirkan Tuhan dalam pengalaman sebagai manusia membuahkan kebaikan. Jika kita mencari Tuhan dengan hati tulus, kita tidak terjebak dalam kedangkalan pemahaman, ideologi, atau instrumen tertentu. Dengan demikian para penganut agama lain kita pandang sebagai saudara seperjalanan. Mencari Tuhan dengan kaca mata kepentingan kita saja sama dengan berhala kosong [274].
Tantangan serius bagi agama ialah ketika manusia menempatkan pikirannya sebagai berhala yang menggantikan Allah Yang Esa. Ini adalah bahaya dari rasionalisme sempit. Dan ini menandakan bahwa kesadaran manusia masih dangkal; masih dilingkupi sebuah pandangan materialisme. Agama yang baik justru dapat memainkan perannnya yang khusus dalam politik: menjernihkan kesadaran manusia, agar ia tidak mencampuradukkan perannya dalam politik dengan atribut agama [275].
Gereja memang independen dari politik, tetapi ia tidak mengabaikan politik. Sebab, Gereja ada dalam dunia. Dengan motif kemanusiaan Gereja terpanggil untuk memainkan perannya dalam tata sosial masyarakat. Gereja memperjuangkan persaudaraan universal, berdasarkan keluhuran martabat manusia. Bersama Maria, Gereja bagaikan ibu yang melindungi anak-anaknya [276].
Identitas Kekristenan. Gereja menghormati karya Allah dalam agama-agama lain. Gereja menghargai apa yang baik dan suci pada agama lain. Gereja sendiri pun menyadari bahwa ia dipanggil untuk membawa warta gembira Injil; ia tak dapat menyebarkan sukacita tanpa mengikuti irama nada dan melodi Injil. Maka bagi Gereja, sumber yang menyuburkan persaudaraan universal ialah Injil yang pada dasarnya ialah kesaksian tentang seluruh hidup dan pelayanan Yesus [277].
Katolik berarti bersifat universal: dapat bertumbuh dan berkembang di berbagai tempat dan wilayah. Dan corak itulah yang telah terbukti dalam sejarah. Dari sudut pandang manusia, sejarah Gereja memang tidak selalu sempurna. Namun diyakini bahwa daya rahmat Tuhan selalu menyertai manusia. Dan karena rahmat itulah Gereja bertumbuh: Ia bertumbuh bersama Bunda Gereja, Maria. Sebab Maria telah menerima tugas sebagai ibu dari Putranya (bdk Yoh. 19: 26). Oleh kebangkitan Yesus, Gereja menjadi lebih kuat dan mantap dalam mewartakan sukacita hidup baru sebagai saudara dalam Kristus. Dan Maria tetap menyertai para murid Yesus (Kis 12: 17) [278].
Sebagai umat Kristiani, kita memohon agar di tempat-tempat di mana kita hadir sebagai kelompok minor, kebebasan beragama kita dijamin, sebagaimana kita pun menjamin kebebasan beragama saudara-saudari kita yang beragama lain. Dengan jaminan kebebasan itu kita dapat menjalin persaudaraan dan damai. Dasar dari kebebasan itu ialah martabat kita sebagai manusia [279].
Kita juga hendak memohon Tuhan untuk kesatuan segenap umat Kristen karena Roh Kudus sebagai daya penyatu: “Sebab dalam satu Roh kita semua… telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1Kor 12: 13). Dalam kesatuan itu setiap orang memainkan peran khusus: ‘telinga mendengar dengan mata, dan mata mendengar dengan telinga’ (Agustinus).
Hendaknya keinginan Yesus terpenuhi: ‘supaya mereka semua menjadi satu’ (Yoh 17: 21). Dalam ziarah kita di tengah kemajuan global ini, satu hal yang masih perlu diupayakan lagi, yaitu kesatuan seluruh umat Kristiani. Dan jika sampai sekarang belum terwujud, kita tetap berjalan dalam spirit tanggung jawab membangun persekutuan, yaitu satu dalam kasih [280].
Agama dan Kekerasan. Antara agama-agama bisa dibangun sebuah jalan damai, karena disatukan oleh tatapan Allah: Sebab Ia menatap bukan dengan mata, tetapi dengan hati, menatap setiap orang, termasuk yang ateis. Di saat akhir nanti terang datang bagi semua orang, dan akan terjadi kejutan-kejutan. Semua umat beragama perlu berdialog menuju satu Kebenaran.
Agama-agama perlu kembali pada aspek paling esensialnya, yaitu panggilan untuk memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama. Dimensi kesatuan ini menggerakkan kita untuk melampaui batas-batas doktrinal yang sering kali dijadikan sekat, dan menyebabkan rasa takut, saling menolak, bahkan dengan cara kekerasan. Agama tidak mengajarkan kekerasan [281-282].
Menyembah Allah dengan tulus dan rendah hati tidak akan mengarah kepada kebencian dan kekerasan bagi yang lain. Kasih adalah corak esensial setiap agama: ‘Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih’ (1Yoh 4:8). Karena itu terorisme atas nama agama tidak pernah dibenarkan: Dikecam!. Sering kali fundamentalisme menyusup ke para pemimpin agama. Seharusnya para pemimpin adalah motor dialog, pelaku perdamaian universal [283-284].
Paus mengenang pertemuannya dengan Imam Besar Ahmad Al-Tayyeb, di mana mereka membicarakan dan menyadari bersama bahwa agama hendaknya menjadi tempat untuk membangun dialog penuh damai dan persaudaraan. Sudah banyak kekerasan atas nama agama sampai menumpahkan darah umat manusia. Tuhan Maha Esa tidak memerlukan pembelaan manusia. Ia juga tidak menghendaki bahwa namanya digunakan demi kekerasan [285].
Mengingat perjumpaan penuh damai itu, Paus kembali menyerukan damai dan kasih atas nama semua mereka yang miskin dan terabaikan, yang menjadi korban kekerasan atas nama agama: orang yang tak berdosa, orang miskin dan menderita, korban perang, korban pembunuhan atas nama agama, mereka yang takut karena teror…semua saja di mana saja berada. Paus juga menyerukan damai atas nama persaudaraan universal yang merangkul semua kalangan, atas nama kebebasan, keadilan, kebenaran, dan atas nama semua yang berkehendak baik di antero dunia [286].
Dalam seruan ini, hati Paus tergerak, bukan hanya oleh spirit Santo Fransiskus Assisi. Ia juga tergerak oleh tokoh lain seperti Martin Luther King, Desmond Tutu, Mahatma Gandhi, dan banyak tokoh lainnya. Dan akhirnya Paus secara khusus pula merasa tersentuh dengan kata-kata Beato Charle Foucauld, orang yang telah mengabdikan diri kepada Tuhan dengan hidup bersama orang kecil padang gurun di Afrika. Menjelang kematiannya ia berkata: ‘Berdoalah kalian kepada Tuhan, agar saya dapat menjadi saudara bagi semua jiwa-jiwa di negeri ini’. Saya sungguh mau menjadi ‘saudara universal’. Jadi, hanya dengan menyamakan diri dengan kaum terkecil saya dapat menjadi saudara bagi semua. Semoga Tuhan mendorong cita-cita ini kepada kita semua. Amin [287].
Terima kasih sdra…atas ulasan Fratelli Tutti… Salam sehat selalu…
Terima kasih pater–tulisannya sangat bermanfaat dan dapat menambah wawasan dalam tugas pewartaan. . Salam dan doa, semoga pater sehat selalu.. ??
Damai tercapai dengan rasa belas kasih dan bela rasa terhadap diri sendiri dan sesama.
Lengkaplah sudah, crescat et floreat. Terima kasih.
Terimakasih Pater sudah menjelaskan dengan baik?