Thomas Aquinas, lahir di puri Roccasecca, propinsi Frosinone, dekat Napoli, anak sebuah keluarga bangsawan Italia. Sejak 1230 ia dididik oleh para rahib Benediktin di Monte Cassino.
Pada tahun 1238 ia menjalani studium general di universitas Napoli. Setelah masa pendidikan itu, bertentangan dengan keinginan orang tuanya, ia memutuskan masuk Ordo Dominikan (pengikut Santo Dominikus).
Antara 1252-1256 ia belajar di universitas Paris di bawah bimbingan gurunya Albertus Agung, dan kemudian menjadi profesor di universtias tersebut (1256-1259). Dalam periode 1259-1268 ia mengajar di Napoli, Orvieto, Viterbo dan Roma – Italia. Thomas meninggal ketika sedang mengikuti Konsili Lion di Paris dalam usia 50 tahun. Pada 1323 ia digelari kudus[1].
Karya Thomas, Summa Theologiae (ST) merupakan sumber penting seluruh sistem teologinya, termasuk tema teologi politiknya. ST I-II, QQ. 90-108 membahas secara khusus kategori-kategori hukum, antara lain yang paling terkemuka ialah teori hukum kodrat. Selain itu traktat kecilnya De Regno (On Kingship) juga merupakan teks kunci tentang sistem pemerintahan dalam komunitas masyarakat.
Tatanan Hukum. Thomas, pujangga Gereja yang digelari doctor angelicus ini, berbicara tentang tiga hukum: hukum abadi (lex aeterna), hukum kodrat (lex naturalis) dan hukum manusia (lex humana)[2].
Buku Summa Theologiae, Distingsi I-II, Quaestiones 93 berbicara tentang hukum abadi (the eternal law). Kewibawaan hukum abadi terletak dalam Allah. Hukum kodrat adalah hukum dasar moral yang mencerminkan kebijaksanaan Ilahi. Allah Pencipta diibaratkan dengan sang seniman, sedangkan ciptaan merupakan ungkapan dari karya dari seniman itu. Tata ciptaan merupakan model (exemplar) dari sang Seniman Abadi[3].
Hukum abadi adalah kebijaksanaan atau rencana abadi ilahi sendiri yang berkenan menciptakan alam semesta. Dengan sendirinya, seluruh realitas alam semesta dengan segala apa yang terjadi dan bergerak di dalamnya mengikuti hukum abadi karena di luar kebijaksanaan ilahi tidak ada sesuatu apa pun yang dapat ada[4].
Ciptaan dapat mengenal hukum abadi, tetapi bukan secara langsung, melainkan karena dampaknya (in its effect). Dengan demikian ciptaan-ciptaan dapat berpatisipasi dalam hukum ilahi – yang adalah kebenaran yang tidak berubah (unchangeable truth) – sesuai tingkat kemampuannya[5]. Hukum ilahi merupakan tata pemerintahan ilahi. Bagi ciptaan, menjadi subjek pemerintahan ilahi berarti menjadi subjek hukum ilahi itu sendiri[6].
Dengan istilah ‘hukum kodrat’ mau dikatakan bahwa kodrat manusia menjadi ‘hukum’ baginya, dan yang mengadakan hukum itu ialah Allah sendiri. Manusia dapat menjalani hukum tersebut (hidup sesuai kodratnya) karena ia adalah makhluk berakal budi yang memiliki pengertian dan kebebasan; ia tidak hidup melulu menurut dorongan insting.
Bagi Thomas, hukum kodrat merupakan hukum normatif hidup bernegara; hukum kodrat merupakan dasar segala kewajiban manusia, dasar satu-satunya. Hukum positif sebagai hukum buatan manusia hanyalah sah sejauh berdasarkan hukum kodrat. Tindakan legislatif negara hanya legitim jika sesuai dengan norma-norma moral.
Teori Hukum Kodrat, di satu pihak menghendaki agar kodrat manusia tunduk pada wewenang Sang Pencipta; di lain pihak dapat memahami bahwa kita hendaknya hidup demikan karena perintah Allah itu sesuai dengan potensialitas dan identitas kita yang sebenarnya. Perintah Allah bukan sesuatu yang membelenggu melainkan menampung aktualiasasi diri manusia. Karena kodrat kita adalah kemanusiaan kita, makan hidup sesuai kodrat sama artinya dengan hidup sesui dengan martabat manusia.
“Teroi Hukum Kodrat merupakan etika yang menempatkan manusia pada pusatnya, tetapi manusia bukan dalam suatu otonomi berlebihan, melainkan sebagai ciptaan Allah. Dan karena segenap hukum harus berdasarkan hukum kodrat, segala hukum harus menghormati mertabat manusia”[7].
Hukum positif buatan manusia yang bertentangan dengan hukum kodrat dengan sendirinya tidak mempunyai hak dan daya ikat sama sekali. Karena itu hukum positif harus memiliki syarat-syarat forma dan meterial. Secara formal, hukum positif harus adil, artinya: terarah pada kesejahteraan umum; diadakan oleh lembaga yang berwenang; dan harus membebani para bawahan hukum secara merata.
Tujuan Hidup. Dalam Question 92 Summa Theologia dikatakan bahwa hukum dalam kehidupan politik dimaksudkan untuk menciptakan kebaikan bagi manusia[8].
Thomas membedakan tiga tujuan hidup manusia, di mana negara turut berperan dalam tatanan masyarakat: Pertama, hidup dalam arti tidak mati (vivere) Kedua, hidup dengan baik (bene vivere), artinya segala kebutuhan sebagai manusia terpenuhi. Kepenuhan itu bukan hanya untuk manusia sebagai pribadi, tetapi juga sebagai kelompok. Sebab, ia adalah makhluk sosial (animal sociale). Ketiga, mencapai kebahagiaan yang sebenarnya, yang terjadi bukan di dunia ini, melainkan pada dunia akhirat. Pada tujuan akhir ini manusia mengalami kebahagiaan abadi (beate vivere)[9].
Dengan kata lain, negara itu penting, tetapi bukan yang paling penting. Manusia adalah lebih penting, karena ia akan hidup lestari di akhirat. “Keterarahan manusia kepada negara bukanlah dengan keseluruhan kepribadiannya dan dengan segala harta bendanya; […] melainkan seluruh manusia harus diarahkan kepada Allah”[10].
Bagi Thomas manusia adalah makhluk sosial, tapi juga mkhluk politik; makhluk yang mampu berkomunikasi, dan tinggal dalam komunitas sebagai makhluk bebas, bukan budak. Dalam sebuah komunitas manusia hidup dengan tujuan tertentu, yaitu mencapai ‘kebaikan bersama’ (common good). Untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin yang mengarahkan komunitas masyarakat secara baik dan benar[11].
Pemimpin yang Ideal. Thomas mengidealkan hanya satu pemimpin (seperti raja) dalam tatanan masyarakat. Dan sebagai pemimpin ia harus bekerja demi kepentingan komunitas masyarakat, bukan dirinya sendiri. Pemimpin yang memperjuangakan hanya kepentingannya sendiri adalah tirani. Bagi Thomas, pemimpin tunggal itu lebih baik dibandingkan pemimpin kelompok (The rule of one man is unqualifiedly the best).
Jika komunitas masyarakat dipimpin beberapa (sekelompok) orang, akan terjadi persaingan di antara mereka. Salah satu dari mereka akan mendominasi, dan bahaya tirani menjadi lebih kuat. Dari perspektif teologi, hendak dikatakan bahwa Santo Thomas mengidealkan tatanan masyarakat sebagai cerminan dari kuasa Tuhan sebagai raja dan pencipta yang tunggal. Ia meyakini bahwa seluruh alam semesta berada di bawa otoritas dan kuasa Ilahi: “et in toto universo unus Deus factor omnium et recto”[12].
[1] Lihat misalnya, R. W. Dyson (ed.), Aquinas Political Writings, Cambridge University, Cambridge, 2004, hlm. xxxvii.
[2] Lihat Franz-Magnis Suseno, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, 2016 (edisi revisi), hlm. 109-126; 239-244.
[3] Cf. Saint Thomas Aquinas, On Law, Morality, and Politics (William P. Baumgrath and Richard J. Regan, S.J., eds), Hacket Publishing Company, Indianapolis/Cambridge, 1988, hlm. 34.
[4] Franz-Magnis Suseno, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, hlm. 109.
[5] Saint Thomas Aquinas, On Law, Morality, and Politics, 35-36.
[6] Saint Thomas Aquinas, On Law, Morality, and Politics, 39.
[7] Franz-Magnis Suseno, Etika Politik, 113.
[8] Saint Thomas Aquinas, On Law, Morality, and Politics, 30.
[9] Franz-Magnis Suseno, Etika Politik, 241-242.
[10] S. Th. I-II q. 21, a.4 ad 3. Franz-Magnis Suseno, Etika Politik, 243.
[11] De regno, buku I bab 1 (Dyson, ed.), Aquinas Political Writings, hlm. 4-7).
[12] Bdk. De regno, buku I bab 2-6 [2] (Dyson (ed.), Aquinas Political Writings, hlm. 8-17).
Tetima kasih Pater