Salah satu kebiasaan ayah kami semasa hidupnya ialah membaca. Yang paling terang dalam ingatan saya ialah beliau sering membaca Alkitab, terutama kisah-kisah menarik dalam Perjanjian Lama.
Sejak kecil, dari bapa saya telah mendengar tentang Kisah Penciptaan, Adam dan Hawa, Nabi Musa, Simson, Tobit. Ia membaca lalu mengisahkannya kembali: lebih sering kepada mama, lalu kepada anak-anak.
Bapa juga sering membaca koran lokal, terutama yang bertema kekatolikan. Sekitar tahun 1986 saya ingat ia gemar membaca “Rumah Kita”, sebuah halaman renungan Katolik, bagian dari “Dian”, majalah lokal waktu itu, dari penerbit Nusa Indah, di Ende.
Buku kenangan kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia, termasuk ke Maumere, Flores pada tahun 1989 dibacanya berulang kali. Paus ini begitu mengesankan beliau.
Beberapa buku yang temanya sulit, juga coba beliau baca, meskipun tidak tuntas, terutama kalau bukan dunianya. Namun apa saja yang bisa beliau baca, selalu ia ceritakan kembali.
Beliau cukup membaca riwayat Santo Fransiskus Assisi. Terakhir kami menghadiahkan sebuah buku tentang Ekaristi. Dalam obrolan lewat telepon, beliau menyinggung tentang Martin Luther, salah satu tokoh yang dibahas dalam buku tersebut. Menarik.
Tahun 2016 lalu ketika berada di rumah, saya perhatikan beliau membaca Chatolic Life, sebuah jurnal Katolik, yang banyak beredar di Flores. Ia dan rekan-rekannya yang pensiun berlangganan jurnal itu. Barita-berita tentang Paus Fransiskus selalu menarik baginya.
Suatu pagi di Juni 2019, beliau duduk di tangga rumah membaca sekumpulan kliping yang terjilid rapi. Sebagian besar beritanya tentang Paus Fransiskus dan seputar peristiwa aktual Gereja. Sambil membaca ia menjelaskan kepada saya hal-hal yang mengesankan.
Bapa bukan penulis, tetapi ia suka menulis. Tepatnya ia suka mendokumentasikan hal-hal penting dengan tulisan. Tahun 1984-1986, saya ingat, sebagai guru bapa menulis materi mengajar anak SD dengan tulisan tangan. Mesin ketik masih terlalu mewah.
Tulisan tangannya indah. Saya suka meniru tulisan bapa. Malam hari di Lewoheba, sebuah kampung terpencil di pulau Lembata, ia terus menulis hanya ditemani nyala pelita. Masih tersimpan buku harian bapa: tulisan tangannya tentang peristiwa penting, riwayat singkat anak-anak, serta untaian doa yang diam-diam ia tulis untuk kehidupan keluarga.
Tanggal 2 Oktober 2007: Karena tidak bisa mengetik dengan komputer, anak yang ke 4 dimintanya mendokumentasikan riwayat hidupnya yang sudah ia tulis tangan. Semua tersusun rapi. Di hari penguburan bapa, 19 Januari 2021, Romo Wilem membacakan riwayat tersebut. Bapa juga telah mendokumentasikan riwayat mama. Sejak 12 November 2013 riwayat itu telah diketik rapi oleh saudara kami yang paling kecil.
Satu hal mengesankan di riwayat hidup bapa. Riwayat diakhiri dengan sebuah anak judul “Allah itu Kasih”. Ini kalimat yang tertera di bawah judul itu: “Tak satu pun dapat ada tanpa Allah. Setiap orang atau keluarga yang benar-benar hina-dina di hadapan Allah telah mendengar KABAR GEMBIRA, bahwa Allah telah menjadikan kita sesuatu yang berharga anak-anak-Nya. Sungguh! Allah mengasihi kita. Kerena itu kita berharga”. Inspiratif.
Bapa terkasih, engkau ayah, guru, dan motivator kami. Terima kasih atas teladan hidup. Darimu kami sadar bahwa menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Terima kasih telah mewariskan hal-hal bernilai. Bagi keluarga serta banyak orang, bapa telah mendokumentasikan teladan kasih. Beristirahatlah dalam Kasih Tuhan. Amin.
Bagagia di Surga bapak. Engkau telah meninggalkan warisan yg luar biasa hebat untuk anak-anak.
Inspiratif. … terima kasih Pater …..berbahagia di surga untuk Papa Pater…
Bapa yang sangat Arif…membaca dan mengisahkan kembali.
Saya tidak mengenal dekat Beliau, tapi saat baca tulisan ini saya merasakan kehadiran Beliau sungguh menghadirkan kenyamanan tersendiri. Bahagia pastinya menjadi bagian dari Belia ya Pater. Bahagia di surga Bapa.
Bapa guru Yan Glea, semoga bahagia di surga bersama para kudus Allah.