Orang banyak yang telah kenyang karena makan roti dan ikan berusaha menemui Yesus. Mereka tampak antusias. Namun Yesus menantang mereka: ‘kamu mencari Aku bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda yang Kubuat, tetapi karena kamu telah kenyang’.
Orang banyak belum mengerti makna sesungguhnya dari tanda yang dibuat Yesus. Mereka melihat Yesus seperti manusia super yang bisa dijadikan raja, penjami kesejahteraan mereka.
Motivasi orang banyak ini wajar saja. Manusia butuh makan dan minum. Namun Yesus memilik tujuan lain. Dengan menggandakan roti dan ikan, Ia mau mengubah cara pandang mereka: membebaskan mereka dari mentalitas materialistis. Makanan jasmani memang perlu. Namun kalau orang hanya mengutamakan itu saja, mutu hidupnya dangkal. Mungkin ia kenyang dan nyaman, tetapi sebenarnya ia merasakan suatu kegelisahan yang mendalam.
Kita sering kali mudah tergoda untuk mencari solusi-solusi instant dalam hidup. Kita gampang tertarik dengan pemimpin politik yang hanya memainkan emsoi sesaat, dan memberontak kepada orang yang berusaha memaksa kita keluar dari zona nyaman. Kita merasa nyaman hidup dalam mentalitas jalan pintas. Kedangkalan seperti itu tampaknya menyenangkan, tetapi sebenarnya sangat ringkih, segera berganti dengan kecemasan, ketakutan, bahkan mengarah kepada ketertekanan, karena orang merasa seolah-olah berada di jalan buntu.
Yesus mau membuka mata kita agar menyadari betapa pentingnya memiliki nilai yang bertahan sampai kehidupan kekal, yang membawa sukacita penuh dan otentik bagi manusia. Nilai-nilai itu ibarat makanan yang memberi nutrisi pada hati dan batin manusia: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu” (6: 27).
Kata-kata Yesus pada Yoh. 6: 27 ini paralel dengan kata-kata-Nya dalam Yoh. 4: 14: “Barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal”. Kedua ayat ini sama-sama menekankan pentingnya karunia hidup kekal yang mengatasi haus dan lapar jasmani.
Anak Manusia, utusan Allah, yang memberikan makanan dan air kehidupan kekal itu dahulu telah hadir dalam wujud manna yang dimakan nenek moyang orang Israel di padang gurun (6: 31). Sekarang Yesus sendiri memberi makna baru pada manna dalam Perjanjian Lama itu: “Bukan Musa, melainkan Allah Bapa-Ku yang memberikan kamu ‘roti yang benar dari sorga’ (32), yaitu roti yang ‘memberi hidup kepada dunia’ (33).
Roti yang dimaksud ialah Yesus sendiri, satu-satunya Anak Manusia yang turun dari surga. Orang banyak tidak menangkap makna yang baru itu. Mereka segera meminta kepada-Nya: “Tuhan berikanlah kami roti itu senantiasa” (34). Permintaan mereka itu senada dengan permintaan perempuan di sumur Yakub: “Tuhan, berikanlah aku air itu” (4: 15).
Permintaan orang banyak itu menjadi kesempatan bagi Yesus untuk mengungkapkan diri-Nya sebagai roti hidup. Dengan penuh wibawa Ia berkata: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepadaku, ia tidak akan haus lagi” (35). Penyebutan nama diri Akulah mengingatkan kita akan perkataan Allah kepada Musa: Aku adalah (Kel. 3: 14). Yesus mendefinisikan diri sebagai roti hidup.
Pewahyuan diri Yesus sebagai roti hidup itu menggemakan undangan sang Kebijaksanaan dalam Kitab Amsal: “Marilah, makanlah rotiku, dan minumlah anggur yang telah kucampur” (Ams. 9:5). Makan roti yang dihidangkan oleh sang Kebijaksanaan berarti meninggalkan kebodohan dan belajar jalan pengertian (9: 6). Yesus mengajak kita menilai hidup dengan lebih bijak. Tak bijak kalau kita mengukur makna hidup hanya dari hal-hal luaran dan sementara.
Kontras antara kata-kata lapar dan haus dengan kata-kata kenyang dan tidak akan haus lagi mengandung penegasan bahwa Yesus adalah jaminan hidup kekal: “Akulah roti hidup.… Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (48-51).
Yesus sang Kebijaksanaan mengundang kita untuk datang kepada-Nya. Kita belajar dari Dia agar kita tahu memaknai hidup secara mendalam. Yesus tidak hanya menawarkan roti untuk kebutuhan fisik, melainkan Sabda-Nya yang membawa kepada kehidupan kekal. Kehidupan yang diberikan Yesus tak bersifat sementara, melainkan abadi. Terima kasih Tuhan Yesus.
Terimakasih Padre bisa menjadi referensi bahan homili
Baik akan saya pakai untuk referensi homili
Terima kasih pater ,lebih menjelaskan buat saya..GBU
Gracias Padre