Gereja Katolik mengajarkan bahwa dalam Ekaristi, Yesus Kristus hadir secara nyata. Istilah ‘kehadiran nyata’ (realis praesentia) menegaskan bahwa Yesus sendiri sungguh hadir.
Pada Perjamua Akhir Yesus sendiri berkata kepada para murid-Nya: ‘Inilah Tubuh-Ku’, bukan ‘Ini simbol atau tanda Tubuh-Ku’.
Seorang Kristiani sewajarnya mengimani bahwa Tuhan Yesus itu Maha-hadir (omnipresens). Kehadiran-Nya tidak dibatasi ruang dan waktu, di luar batas nalar serta kriteria manusia. Manusia insan terbatas tentu tidak dapat membatasi Tuhan sang Pencipta ruang dan waktu.
Dalam kerangka iman itu, seharunya seorang beriman percaya pula bahwa dalam seluruh perayaan Ekaristi, Yesus selalu hadir. Santo Paulus mengatakan bahwa Ekaristi itu ‘Perjamuan Tuhan’. Artinya Yesus tuan rumah perjamuan. Lebih lagi: Ia adalah perjamuan. Bagaimana mungkin Ia tak hadir!
Oleh karena itu Gereja meyakini bahwa ketika imam selebran menguduskan roti dan anggur dan mendasarkan seluruh Doa Syukur Agung, materi roti dan anggur tersebut menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Inilah keyakinan paling sentral dari selurut ritus perayaan Ekaristi Gereja Katolik.
Untuk membantu orang beriman memahami momen sakral perubahan itu, Gereja (Konsili Trente) menggunakan istilah ‘transsubstansiasi’ (Latin: transsubstantiatio). Terdiri dari dua kata: Kata trans berarti berubah. Kata yang kedua ialah substansi. Kata ini memang memiliki arti khusus.
Di telinga orang modern, substansi suatu benda ialah kandungan molekul dan atom sebagai elemen dasarnya. Substansi sepotong roti misalnya bisa dilihat dengan jelas melalui mikroskop. Bagaimanapun substansi suatu benda pasti berupa materi, meskipun sangat halus, tak kasat mata.
Pemahaman biasa ini berbeda dengan maksud Gereja dalam keyakinan tentang Ekaristi. Substansi yang dimaksudkan di sini ialah realitas yang melampau materi (metafisik). Setelah dikuduskan imam selebran, substansi roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Bagaimana itu mugkin?
Dalam Ekaristi, Gereja percaya bahwa substansi roti dan anggur yang adalah materi itu sungguh dibarui, seluruhnya menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Yang tampak tentu saja roti dan anggur, namun hakikat-nya baru, karena bersifat ilahi. Bagaimana mungkin yang material menjadi ilahi?
Titik berangkatnya ialah diri Yesus, bukan materi pada dirinya. Dalam Perjamuan Akhir Dia menyatakan diri-Nya dalam roti dan anggur. Begitu juga dalam Ekaristi Gereja sekarang, Yesus pula yang berinisiatif menyatakan diri. Dan hanya karena itu, materi menjadi kudus dan sakral.
Berbagai istilah dan gambaran diusulkan para ahli untuk menjelaskan maksud transsubstantiatio. Tapi kata-kata St. Paulus menarik. Ibarat seorang tuan rumah menyediakan perjamuan makan. Yang terhidang adalah makanan, tetapi maknanya mendalam: pengurbanan diri sang tuan pesta.
Tuan rumah perjamuan menjadi pemersatu semua tamu undangan: mereka satu dalam rasa persaudaraan, solidaritas, kasih sayang. Orang tentu tidak bisa menyentuh dengan jari persaudaraan, solidaritas dan kasih sayang. Namun itu dapat dirasakan melalui hidangan makanan.
Kosa kata kita untuk memahami misteri perubahan substansi roti dan anggur dalam Ekaristi memang terbatas. Pada titik batas bahasa ini, iman menjadi penting. Menurut mata telanjang, yang tampak ialah materi roti dan anggur, tetapi menurut mata iman, itu Tubuh dan Darah Yesus. Mukjizat.
Ketika Yesus mengatakan bahwa Ia memberikan daging-Nya sebagai makanan dan Darah-Nya sebagai minuman (Yoh. 6: 51-61), banyak orang mengeluh bahkan mengundurkan diri. Yesus pun tak kompromi. Ia bahkan menantang para murid-Nya: ‘apakah kamu mau pergi juga’?
Jawab Petrus: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.” Pertanyaan Yesus menantang kita pula. Jawaban petrus kiranya memberi inspirasi: “Tuhan, saya tidak mengerti apa yang Engkau ajarkan, namun saya tahu siapa Engkau” (Brown).
Terimakasih Pater sudah membantu utk memahami misteri yg terkandung dalam perjamuan Ekaristi. Salam sehat Pater?