Tuhan menyiapkan tempat istimewa dalam hati-Nya bagi setiap orang yang memiliki ketidakmampuan, termasuk bagi Penerus Santo Petrus” (Paus Fransiskus)[1]
Sebagai pemula untuk tema ‘disabilitas’, dalam tulisan ini saya hanya mau memaparkan bacaan saya yang sangat terbatas tentangnya. Seperti ditandakan pada kalimat judulnya, melalui pembacaan ini, penulis sendiri belajar untuk memahami apa itu disabilitas, dan kiranya dengan demikian bertumbuh dalam diri sebuah kesadaran bahwa di sekitar saya ada sesama yang hidup dalam disabilitas; dan bahwa manusia perlu belajar dari pengalaman keterbatasannya.
‘Difabel’ dan ‘Disabilitas’
Belum ada pengertian baku untuk kedua istilah ini. Istilah ‘difabel’ (different ability) pada umumnya digunakan untuk menyebut orang-orang yang melakukan aktivitas secara berbeda dibandingkan dengan cara normal atau umum, oleh karena keterbatasan pada fungsi anggota tubuh dalam gerak dan sensorik, entah karena sebab bawaan maupun sebab-sebab lain. Seorang penyandang difabel bukan tidak memiliki kemampuan (abilitas), tetapi memilikinya secara berbeda[2]. Elizabeth Barnes menggunakan istilah ‘minority body’[3] untuk mendifinisikan mereka yang mempunyai keterbatasan bagian fisik tertentu, sehingga fungsi dari bagian tersebut berjalan abnormal, atau tepatnya secara berbeda.
Terdapat perbedaan kecil antara ‘difabel’ dan ‘disabilitas’ (disability). Jika difabel dikaitkan dengan keterbatasan fisik, disabilitas dikaitkan dengan gabungan antara keterbatasan fisik dan mental. Istilah ‘disabilitas’ digunakan untuk menerangkan ketidakmampuan yang menghambat seseorang untuk beraktivitas secara normal dan efektif. Ada orang yang mengaitkan kategori ini dengan ketidakmampuan intelektual berat (severe intelectually disability atau disingkat SID)[4]. Termasuk dalam disabilitas ialah autisme, gangguan sklerosis, skizofrenia, down syndrome, dan hiperaktif. Baik difabel maupun disabilitas sama-sama terkait dengan ketidakmampuan fungsi tubuh dan/mental. Dalam bahasa Indonesia, anak-anak yang mengalami gangguan seperti itu disebut “Anak Berkebutuhan Khusus”, lantaran membutuhkan perhatian dan pendampingan khusus dalam beraktivitas. Dalam tulisan ini kami menggunakan istilah disabilitas, demi alasan teknis-praktis, yaitu merangkum semua jenis gangguan yang telah disebutkan.
Asumsi tentang Disabilitas
Barnes membedakan tiga jenis disabilitas, yaitu disabilitas fisik, psikologis dan kognitif (istilah ‘mental’ sebagai variasi). Ia menyadari bahwa kategorisasi ini menyederhanakan kompleksitas disabilitas. Seseorang mungkin menderita hanya salah satu ataupun lebih dari satu bentuk disabilitas; ada yang menderita hanya secara fisik, yang lain fisik sekaligus mental.
Karena tulisan kami ini bersifat reflektif, kategorisasi dan kompleksitas masalah disabilitas tidak akan diperdalam; yang lebih diperhatikan ialah dimensi kemanusiaan. Term-term teknis yang disebut di sini tidak dimaksudkan untuk mendefinisikan subjek, melainkan untuk menunjuk adanya sesuatu yang membedakan seseorang dari kelompok mayoritas. Pembedaan tentu bukan sesuatu yang buruk pada dirinya[5]. Beberapa penulis meyakini bahwa kategori disabilitas adalah hasil ‘konstruksi sosial’[6], bukan sebuah kondisi natural. Sebagai hasil konstruksi sosial, ia tentu bukan stigmatisasi atau sterotipe identitas seseorang (fixed identity)[7]. Lagi pula, sesungguhnya semua manusia memiliki keterbatasan (the lack of ability). Kita semua terlahir dengan kekurangan dan kelemahan. Hanya sayangnya pada saudari-saudara tertentu terdapat kekurangan yang menonjol (the lack of significant ability), sehingga membawa dampak negatif yang lebih signifikan dalam aktivitas dan kehidupan mereka sehari-hari[8].
Dalam rangka sebuah refleksi teologis, disabilitas hendak ditinjau dari perspektif martabat manusia: Pertanyaan yang diajukan ialah siapa manusia, bukan apa itu disabilitas. Hendaknya kita bertanya siapakah dia yang menyadang disabilitas itu; tidaklah cukup mencaritau mengapa ia menderita disabilitas. Dengan titik berangkat itu kiranya orang dapat membangun cara pandang dan sikap yang lebih positif terhadap saudara-saudari penyandang disabilitas. Dengan demikian disabilitas tidak dilihat melulu sebagai tragedi, kekurangan, atau kehilangan.
Inspirasi dari L’Arche
Salah satu buku tentang disabilitas yang menurut saya layak dibaca ialah The Paradox of Disability (editor: Hans Reinders). Artikel-artikel dalam buku ini memuat tanggapan-tanggapan dari perspektif Teologi dan Sains terhadap Jean Vanier dan kehidupan komunitas kaum disabilitas yang ia dirikan. Vanier adalah pendiri L’Arche, sebuah Komunitas para penyandang disabilitas mental (intellectual disabilities). Komunitas ini bermula di Trosly-Breuil, Perancis, sejak 4 Agustus 1964, dan telah berkembang menjadi sebuah solidaritas global untuk pelayanan para penyandang disabilitas. Vanier berasal dari Kanada, studi Teologi dan Filsafat pada sebuah institusi Katolik di Perancis, di bawah bimbingan seorang pastor Dominikan, Thomas Phiippe. Setelah studi ia mengajar di Kanada, dan memutuskan kembali ke Perancis, mendirikan L’Arche dan mengabdikan hidupnya untuk merawat para penyandang disabilitas[9].
Vanier sendiri dalam artikelnya, “What have People with Learning Disabilities Taught Me”, mengakui bahwa para panyandang disabilitas telah ‘mentransformasi dan mengajarkannya visi yang baru dan lebih mendalam tentang kemanusiaan….mereka telah membantu saya untuk menyadari bahwa masyarakat kita membutuhkan communio, dan bahwa mereka yang lemah dan terbatas memiliki sesuatu yang penting bagi dunia sekarang’[10]. Para penulis lain membenarkan bahwa semangat dasar L’Arche ialah communio. “Learning the truth about oneself and others, learning to be with each other and be accepted as who and what they are,… to create freedom of celebrating difference…learning to live with difference and limitation”[11]. Beberapa frase tersebut melukiskan dinamika komunitas L’arche. Yang menjadi bagian dari komunitas ini bukan hanya para penyandang disabilitas, tetapi juga keluarga, relawan, dan para profesional.
Vanier memberi kesaksian bahwa L’Arche merupakan komunitas spiritual, bukan hanya karena ada doa bagi semua orang, tetapi juga karena komitmen untuk menjalin sikap saling mendengar, memberi gesturepositif, healing, berbagi pengalaman terluka dan ditolak, atau karena gambaran diri yang negatif, rasa sepi yang mendalam, bahkan trauma karena mengalami kekerasan. Proses-proses itu mengantar para penyandang bukan pertama-tama kepada independensi, melainkan kematangan sebagai pribadi, dalam memahami makna relasi dengan sesama dan Tuhan[12].
Terinsipirasi oleh Paus Yohanes Paulus II (dalam simposium bertajuk ‘Dignity and Rights of Disable People’, 2004) dan Martin Luther, Vanier merefleksikan bahwa hidup adalah sesuatu yang diterima manusia; manusia tidak menentukan bagaimana dan di mana ia hidup. Manusia lahir dalam keterbatasan. Hanya dalam relasi dengan komunitas lah ia bertumbuh menjadi utuh, menerima situasi batasnya, dan karena itu percaya dan berharap kepada Tuhan. Nilai-nilai seperti ini dialaminya dalam hidup sehari-hari bersama para penyandang disabilitas[13].
Pesana-pesan Paus Fransiskus tentang Disabilitas
Dalam beberapa kesempatan atau melalui akun-akun media sosial, Paus menyuarakan bahwa rasa hormat akan martabat manusia kaum disabilitas tetap dijunjung tinggi. Pada 9 April 2016, di laman twitternya tertulis: “Para penyandang disabilitas adalah sebuah hadiah bagi keluarga dan sebuah kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih, untuk saling menolong dan bersatu”.
Dalam perayaan Ekaristi Tahun Kerahiman untuk orang sakit dan disabilitas, 12 Juni 2016, di Lapangan St. Petrus, Roma, tampak beberapa pelayan altar adalah anak-anak penyandang down syndrome. Terdapat petugas lektor yang membaca dua bacaan pertama dengan teks Alkitab dengan tulisan braille. Sehari sebelum Ekaristi Paus Fransiskus mengadakan audiensi khusus untuk para penyandang disabilitas, diorganisir oleh Komisi Kateketik Keusukupan Roma.
Dalam khotbahnya Paus berpesan: “Di zaman ini, ketika merawat tubuh seseorang telah menjadi obsesi dan bisnis besar, segala sesuatu yang tidak sempurna harus disembunyikan, karena dianggap mengancam kebahagiaan dan ketenangan penampilan pribadi dan membahayakan model dominan bagian tubuh. … Dalam beberapa kasus, bahakan dikatakan bahwa sebaiknya kekurangan itu dihilangkan sesegera mungkin, karena menjadi beban ekonomi yang tidak dapat diterima di saat krisis”. Paus menegaskan bahwa “dunia tidak menjadi lebih baik hanya karena tampilan-tampilan yang ‘sempurna’ – apa lagi yang palsu – tetapi karena solidaritas, saling menerima dan saling hormat antara manusia”. Paus memotivasi komunitas-komunitas gerejani untuk terus memberi harapan bagi orang sakit dan disabilitas melalui tindakan kasih. Ia mayakini bahwa “banyak orang yang cacat dan menderita membuka hati mereka untuk hidup kembali segera setelah mereka menyadari bahwa mereka dicintai”[14].
Kiranya dapat direfleksikan bahwa disabilitas adalah pertama-tama soal kemanusiaan, bukan hanya disabilitas itu sebagai masalah yang kompleks. Diari sudut kemanusiaan, solidaritas antara para orang tua, caregivers, volunteers, tenaga medis, psikolog, pendidik dan komunitas gerejani, menjadi begitu penting. Komunitas Gereja misalnya, perlu menyediakan aksesibilitas khusus di lingkungkannya, serta model katekese persiapan penerimaan sakramen bagi para penyandang disabilitas, agar mereka memperoleh kenyamanan dan tidak merasa terasing.
Manusia sebagai Persona dan Komunitas
Butir-butir refleksi yang telah dipaparkan dalam alinea-alinea di atas dapat dirangkum dalam sebuah cara pandang tentang manusia. Manusia adalah person. Cara pandang ini menekankan penerimaan dan pengakuan akan keberadaan seorang penyandang disabilitas sebagaimana adanya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang unik seperti manusia pada umumnya; dan keunikan itu tidak memisahkan, melainkan memperkaya. Sebagai person, manusia bukan sekedar tubuh. Sebagai person, ia adalah bagian konstitutif dari komunitas sosial. Definisi person tidak boleh dibatasi hanya pada kemampuan sadar-diri dan menentukan-diri sebagai individu (self-conscious and self-determining individuals). Kriteria sebagai person adalah keberadaan seseorang sebagaimana adanya di hadapan Tuhan. Being a human person is about being known by God. Di hadapan Tuhan, setiap person diterima secara utuh, baik kekuatan maupun kelemahannya, baik dalam kesempurnaan maupun disabilitasnya[15].
Dalam pandangan ini disabilitas dimaknai tidak secara fatalistik, jadi bukan kutukan atau hukuman Tuhan. Upaya-upaya healing tetap diupayakan, namun selalu disertai kesadaran bahwa tidak semua disabilitas akan sembuh total. Hendaknya hidup seorang disabilitas tidak dibebani banyak upaya intervensi medis di luar kontrol manusia. Diingatkan bahwa kontrol berlebihan sering datang dari orang sekitar seperti keluarga atau caregiver. Dalam situasi batas seperti disabilitas, peran komunitas menjadi tanda harapan dan sukacita. Bagi orang Kristen, pusat hermeneutik kesadaran ini ialah misteri inkarnasi Kristus: Dalam kelemahan dan penderitaan-Nya Kristus memancarkan sukacita dan harapan akan Kerajaan Allah. Selama hidup-Nya Yesus telah memperlihatkan kasih Allah dengan “membuat orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar…” (Luk 7: 22; bdk. 4: 18-19)[16].
Dimensi biblis-eklesiologis yang menjadi dasar pandangan ini ialah gamabaran Gereja sebagai Tubuh Kristus. Tubuh Kristus merangkul setiap pribadi, baik kelebihan dan kekurangannya. Setiap anggota merupakan bagian dari Tubuh Kristus (1Kor.12); masing-masing merupakan bagian dari satu Tubuh, sesuai perannya. Dalam Tubuh Kristus, tidak ada tempat bagi anggota yang mengklaim paling berjasa; justru yang tampak lemah memberi peran penting. Dalam perspektif ini, pribadi disabilitas diterima sebagai kekayaan dalam komunitas. Disabilitas ditempatkan dalam karangka formasi kematangan pribadi dalam komunitas: Setiap orang perlu belajar menerima kelemahannya dalam hidup bersama. Keterbatasan fisik dan mental bukan alasan yang mengurangi keluhuran martabat seseorang sebagai anggota persekutuan[17].
Dalam cara pandang ini, tentu tidak diabaikan kemungkinan memotivasi orang untuk ‘melawan’ disabilitasnya melalui terapi medis ataupun menemukan kemungkinan untuk mengembangkan karisma tertentu dari para pribadi disabilitas. Dalam konteks ini, apa yang dicetuskan sebagai gerakan perjuangan hak-hak kaum disabilitas (disability pride)[18], dimaknai bukan sebagai protes kaum minor, melainkan solidaritas global membangun komunitas masyarakat yang lebih baik. Perasaan minder sebagai penyandang disabilitas hendaknya diubah menjadi motivasi positif untuk bertumbuh dalam kasih. Wujud dari semangat kasih ialah upaya mentransformasi keterbatasan, bahkan penderitaan menjadi berkat, dan bukan menolaknya. Banyak contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa para penyandang disabilitas telah berhasil (dibantu) keluar dari gambaran diri yang negatif, dan menemukan cara pandang baru yang mencerahkan hidup mereka sendiri maupun orang lain. Tidak perlu diragukan bahwa banyak penyandang disabilitas memiliki kemampuan dan bakat-bakat istimewa, melampaui orang-orang normal.
Catatan tentang Etika Utilitarian
Cara pemaknaan manusia sebagai person dalam komunitas tidak sejalan[19] dengan etika utilitarian (utilitarian ethic), yang berpandangan bahwa dalam determinasi tertentu nilai diri penyandang cacat intelektual berat (SID) menjadi lebih rendah dari makhluk non-human/non-person. Posisi ini terungkap dalam salah satu opsi atas pertanyaan ini: Ketika anda melihat seorang penderita disabilitas intelektual berat dan seekor anjing peliharaan sama-sama terjebak dalam sebuah gedung yang terbakar, siapa yang harus diselamatkan, salah satu atau keduanya?
Aliran etika utilitarian ekstrem berpandangan bahwa siapa yang harus diselamatkan dalam kasus tersebut sangat tergantung dari keseimbangan psikologis (psychological unity) yang dimilikinya: Adalah lebih salah membunuh atau membiarkan mati makhluk non-person yang memiliki kondisi psikologis yang lebih baik dalam hidupnya. Argumentasi ini dipengaruhi oleh definisi klasik tentang person (sejak Boethius), yang mengutamakan kemampuan inteligensi atau rasio, refleksi dan kesadaran diri manusia. De facto, kriteria-kriteria tersebut memang kurang, bahkan tidak dimiliki seorang penyandang SID, sehingga dianggap sebagai non-person.
Tanpa memasuki detil diskusi ini, saya hendak menunjukkan inti pandangan Curtis dan Vehmas, yaitu tekanan pada relasi timbal balik antara person dan komunitas manusia. Keluhuran subjek mengandaikan relasi dengan orang lain, dan oleh karena relasinya dalam komunitas (Gereja, masyarakat, atau komunitas seperti L’Arche), subjek menjadi utuh sebagai pribadi. Ditegaskan bahwa “even the few human with SIDs who are nonpersons should be treated with equal moral consideration in virtue of their standing in the human community relation. Because no non-human animal stands in this relation, those human beings withs SIDs are thus worth more than any non-human animal”[20]. Seandainya dalam kejadian tersebut anjing peliharaan juga turut diselamatkan, itu tidak berarti ia sebanding dengan atau lebih tinggi dari penyandang disabilitas.
Terus Belajar dan Berharap
Tema disabilitas adalah tema tentang sikap terhadap sesama manusia. Perasaan marah dan sikap menolak sering menghantui para penyandang disabilitas di fase-fase awal disabilitas. Mereka cemas akan hidup dan masa depan. Maka mereka perlu dibantu untuk perlahan-lahan menerima kenyataan diri; menyadari adanya keterbatasan yang datang di luar kontrol manusia. Hendaknya komunitas-komunitas membantu mereka membangun gambaran diri yang lebih positif; mereka bukan aib yang harus disembunyikan. Mereka perlu dibimbing untuk menerima keterbatasan, mengurangi reaksi-reaksi negatif yang membebani emosi[21]. Dalam hal ini relavan lah seruan Konsili Vatikan II perihal hak pendidikan bagi “semua orang dari suku, kondisi, atau usia manapun, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi” (Gravissimum Educationis, 1).
Tendensi menolak disabilitas tentu bukan sikap yang tepat bagi orang tua, keluarga atau orang lain yang dekat dengan penyandang disalibitas. Hendaknya orang tua penyandang disabilitas berusaha menjadi teman setia bagi mereka, memberikan perhatian dan kasih secara total. Para caregiverhendaknya memberi energi positif kepada pasiennya agar mereka tidak putus harapan. Tentu saja orang tua dan para caregiverpun membutuhkan pendampingan psiko-spiritual, agar mereka tetap teguh dalam pendampingan. Dengan kata lain, komunitas adalah tanda harapan bagi para penyandang, bukan sekedar rasa optimis, tetapi keterbukaan pada rencana Allah, dan harapan bahwa hanya dalam kesatuan dengan-Nya, manusia menjadi pribadi yang utuh.
Bahan Bacaan
Aritonang J. S. dan Aritonang A. T., Mereka juga Citra Allah. Hakikat dan Sejarah Diakonia Termasuk bagi yang Berkebutuhan Khusus, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2017.
Barnes E., The Minority Body. A Theory of Disability, Oxford University, Oxford, 2016.
Hardawiryana R. (penerjemah), Dokumen Konsili Vatikan II, Obor, Jakarta, 2009.
Jerome E. Bickenbach et all (eds.), Disability and the Good Human Life, Cambridge University, Cambridge, 2014.
Picard A. and Myk Habets (eds), The Theology and the Experience of Disability. Interdiscplinary Perspectives from Voices Down Under, Routledge, London, 2016.
Reinders S. (ed.), The Paradox of Disability. Responses to Jean Vanier and L’Arche Communities from Theology and Sciences, Gransd Rapids, Michigen, 2010.
Catatan Kaki
[1] “The Lord reserves a special place in His heart for whoever has a disability, and so does the Successor of Peter,”demikian kata Paus Fransiskus ketika menyapa peserta perayaan 50 tahun “Deaf Catholic Youth Initiative of the Americas”, dalam audiensi di Hall Paulus VI, Vatikan. ihat https://www.vaticannews.va/en/pope/news/2018-06/pope-francis-disabled-greetings-audience.html.
[2] Bdk. Jan S. Aritonang dan Asteria T. Aritonang, Mereka juga Citra Allah, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2017, 191. Bab IV buku ini memuat paparan mengenai disabilitas dan pengakuan hak-hak mereka di Indonesia.
[3] Elisabeth Barnes, The Minority Body. A Theory of Disability, Oxford University, Oxford, 2016.
[4] Benjamin L. Curtis and Simo Vehmas, “Moral Worth dan Severe Intellectual. Disability – A Hybrid view”, dalam Jerome E. Bickenbach et all (eds.), Disability and the Good Human Life, Cambridge University, Cambridge, 2014, 20.
[5] Bdk. Barnes, The Minority Body, 2-6.
[6] Bdk. Barnes, The Minority Body, 7, 21; Andrew Picard and Myk Habets (eds.), The Theology and the Experience of Disability, Routledge, London, 2016, 1-2. Hans Reinders (ed.), The Paradox of Disability. Responses to Jean Vanier and L’Arche Communities from Theology and Sciences, Gransd Rapids, Michigen, 2010, 9.
[7] Picard and Myk Habets (eds.), The Theology and the Experience of Disability, 4.
[8] Bdk. Barnes, The Minority Body, 16.
[9] Baca informasi selengkapnya pada webeside L’Arche: www.l’arche.org
[10] Bdk. Vainer, “What have People with Learning Disabilities Taught Me” (Reinders, ed.), 19.
[11] Bdk. Reinders, “Human Vulnurabilty: A Conversation at L’Arche” (Reinders, ed.), 5-7.
[12] Bdk. Vainer, “What have People with Learning Disabilities Taught Me” (Reinders, ed.), 20.
[13] Bdk. Vainer, “What have People with Learning Disabilities Taught Me” (Reinders, ed.), 22-24.
[14] Dikutip dari halaman http://www.catholicherald.co.uk/news/2016/06/13/disabled-people-must-not-be-hidden-away-says-pope-francis/.
[15] Bdk. Picard and Myk Habets (eds), The Theology and the Experience of Disability, 15-18.
[16] Bdk. Picard and Myk Habets (eds), The Theology and the Experience of Disability, 178.
[17] Bdk. Picard and Myk Habets (eds), The Theology and the Experience of Disability, 173-4, 177.
[18] Bdk. Barnes, The Minority Body. A Theory of Disability, 184-186.
[19] Tesis utama artikel Benjamin L. Curtis and Simo Vehmas, “Moral Worth dan Severe Intellectual. Disability – A Hybrid view” (Jerome E. Bickenbach et all., eds.), 19-49.
[20] Curtis and Simo Vehmas, “Moral Worth dan Severe Intellectual”, 48.
[21] Bdk. Hans S. Reinders, The Paradox of Disability, 159-160.