Dalam KBBI versi daring, kata ‘kerumunan’ berarti ‘kumpulan orang dan sebagainya yang tidak teratur dan bersifat sementara’. KBBI lalu membuat contoh penggunaan kata ‘berkerumun’ dalam kalimat. Misalnya penduduk yang kelaparan itu ~ di dekat mobil yang membawa air dan bahan makanan. Atau contoh kalimat dengan kata mengerumuni: wartawan ~ Menteri Luar Negeri yang baru tiba kembali dari Bangkok.
Kerumunan terjadi ketika terdapat banyak orang di suatu tempat yang sama, dan cenderung tak teratur. Selain manusia, hewan juga bisa berkerumun. Biasanya manusia ataupun hewan berkerumun karena terdapat sesuatu atau seseorang yang menjadi pusat perhatian bersama, yang menarik perhatian mereka, yang dianggap penting, maupun karena berupa hal yang sangat dibutuhkan. Kerumunan terjadi karena kehadiran tokoh publik tertentu, karena orang membutuhakan makanan, karena ada aksi menarik, ritus keagamaan, dan sebagainya.
Di masa pandemi corona ini, perihal membuat kerumunan adalah hal yang dihindari. Demi memutus rantai penularan wabah, warga diminta untuk menghindari kerumunan. Tanpa adanya wabah corona pun, sebetulnya kata ‘kerumunan’ atau aksi berkerumun sudah mengandung tendensi negatif: ada kesan tidak teratur, potensial mengganggu kenyamanan orang lain, bahkan mungkin menimbulkan keresahan, lebih-lebih kalau kerumunan itu tidak dibatasi dengan tata tertib. Dalam kerumunan, manusia mungkin bertindak dengan insting, tersulut emosi. Sebuah demonstrasi damai misalnya, bisa berubah menjadi aksi brutal.
Di masa pandemi corona sekarang ini, aksi berkerumun adalah sesuatu yang sangat beresiko. Kerumunan bukan hanya aksi yang berpotensi buruk, tetapi juga menjadi media yang mendatangkan bahaya bagi kesehatan, yaitu penuluran virus corona. Jadi, alasan rasional dan wajar untuk menghidari kerumunan begitu jelas dan gamblang. Dengan menghindari kerumunan, orang mengambil bagian sebagai garda depan melawan penularan virus. Menghindari kerumunan berarti merawat hidupku dan menghormati hak hidup sesama.
Di masa pandemi ini, larangan membuat kerumunan bukan hanya sebuah norma hukum, tetapi juga suatu norma dalam hati nurani. Diharapkan bahwa setiap warga memiliki kesadaran, mau menaati petunjuk pemerintah dan para petugas medis, demi kepentingan bersama. Warga dihimbau agar mampu menahan diri dari hasrat untuk berkerumun, apalagi kalau hanya untuk memenuhi keinginan sementara dan sekelompok orang saja. Norma-norma itu bertujuan agar kita turut mewujudkan semangat berbela rasa: hidup dalam kesadaran akan keberadaan sesama di sekitar kita. Lagi pula kalau kita mengaku sebagai orang beragama, norma-norma tersebut jelas merupakan bagian dari intisari ajaran agama.
Wabah corona membantu kita lebih sadar bahwa manusia itu makhluk sosial, sehingga ia memang membutuhkan relasi dengan sesama. Manusia tidak terlempar sendirian di dunia. Menjadi makhluk sosial mengandaiakn dua hal: diriku sudah terbentuk dengan baik, dan karena itu, saya mampu membangun relasi yang baik dan benar dengan sesama. Dalam situasi khusus wabah corona, menjadi diriku berarti tidak mudah ikut ramai dalam kerumunan, apa lagi kalau kerumunan itu penuh resiko bagiku dan bagi sesama.
Fenomena ‘berkerumun’ yang terjadi di tengah pandemi corona menimbulkan pertanyaan: Mengapa orang masih berani berkerumun tanpa mengindahkan aturan pembatasan sosial dan fisik? Mudah dimengerti bahwa sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan sesama. Tetapi untuk sungguh menjadi makhluk sosial, diperlukan satu tahap yang lebih serius: orang sudah selesai dengan dirinya, menjadi pribadi, mampu menerima dan menghargai diri. Kalau tahap itu belum tuntas, maka sangat mungkin bahwa corak ‘makhluk sosial’ diterjemahkan secara dangkal: individu yang suka tenggelam dalam kerumunan. Tentu tak mudah mengatur orang yang suka tenggelam dalam kerumunan.