Di hari Minggu biasa ke-34, Minggu terakhir masa biasa, Gereja merayakan Hari Raya Yesus Krisus Raja Semesta Alam. Penempatan ini menegaskan iman Kristen akan Kristus sebagai penguasa waktu, sejak awal hingga akhir. Kristus Alfa dan Omega. Sejarah awal dan pemaknaan perayaan ini berkembang pada masa beberapa Paus, meskipun inti seruan mereka sama.
Perayaan Liturgi. Hari Raya ini secara resmi ditetapkan oleh Paus Pius XI, pada 11 Desember 1925, sebagai akhir perayaan Gubileum pada tahun itu. Menjelang perayaan itu, umat mengadakan sebuah triduum atau tiga hari doa dan permenungan khusus, dengan tujuan memohon kepada Tuhan agar kasih Kristus sungguh merajai manusia, dan agar hati manusia dijauhkan dari berhala-berhala yang menghalangi kasih Kristus yang meraja dalam diri manusia.
Quas Primas. Penetapan Hari Raya ini ditandai dengan sebuah Ensiklik dari Pius XI yang berjudul Quas Primas (Yang Pertama). Konteks penetapan Hari Raya dan kemunculan Ensiklik ini ialah perlawanan terhadap tendensi ‘sekularimse’ dalam dunia, yang juga menyerang Gereja Katolik waktu itu. Sebuah Ensiklik dirasa tak cukup menyuarakan perlawanan bagi liberalisme. Bagi Paus, sebuah perayaan liturgis akan secara perlahan namun efektif mengubah mentalitas umat.
Dengan merayakan perayaan ini dalam ritus liturgi, diharapkan bahwa umat Katolik semakin terpusat pada kekuasaan Kristus. Hanya Kristus lah Raja semesta alam, Awal dan Akhir (bdk Why 21: 16). Di hadapan Pilatus, Yesus menegaskan kekuasaan-Nya. “Jadi Engkau adalah raja”? Jawab Yesus: “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja” (Yoh 18: 37).
Ad caeli Reginam. Paus Pius XII dalam Ensiklik Ad caeli Reginam (Ratu Surga), 11 Oktober 1954 kembali menegskan kuasa Kristus atas alam semesta. Sebagai Raja, Ia sungguh ilahi dan sungguh insani. Pisu XII menekan bahwa kerajaan Kristus bersifat spiritual. Lawan dari kuasa Kristus ialah kuasa jahat: iblis. Kerajaan Kristus tidak dikuatkan dengan senjata, melainkan kasih dan kebenaran.
Para pengikut Kristus Raja ialah orang-orang yang tidak melekat pada harta dunia, melainkan yang berani menyangkal diri dan memikul salib mengikuti raja mereka. Raja itu adalah penguasa kini dan akan datang: Ia akan datang kembali di akhir zaman untuk mengadili manusia, memisahkan kambing dari domba (Mat 25: 31ss). Dengan kedatangan yang kedua itu, Raja Kristus akan menyatukan segala ciptaan dalam kausa-Nya. Itulah saatnya langit dan bumi baru tercipta (Why 21: 1).
Oleh sebab itu, selama di dunia pun para pengikut-Nya selalu siap menantikan kedatangan kembali sang raja. Bersama Bunda Maria, Gereja berdoa dan berseru: Maranatha, datanglah Tuhan (bdk. 1Kor 16: 22). Dengan keyakinan itu, Pius XII terus mengecam bentuk baru idolatria yang muncul di Eropa dan Amerika Latin (Meksiko): perang, berhala ekonomi, intrik politik, rasisme.
Annum sacrum. Pada Hari Raya Kristus Raja, 11 Juni 1899, Paus Leo XIII menguduskan Gereja, dunia dan segenap umat manusia bagi Kristus. Pernyataan Paus memuat doa memohonkan indulgensi umum bagi segenap umat manusia, khususnya mereka yang telah menghina atau meninggalkan iman akan hati Yesus yang penuh kasih. Doa indulgensi ini didahului dengan Ensiklik berjudul Annum Sacrum (Tahun Sakral) pada 25 Mei 1899. Dengan Ensiliki itu Paus menetapkan satu tahun penuh untuk doa bagi penyatuan semua umat Katolik mau segenap umat manusia dalam kuasa Kristus.
Satu-Satunya Raja-ku? Seruan para Paus ini relevan dari zaman ke zaman. Di era kontemporer ini pun terdapat sikap-sikap idolatria. Di era kemajuan dunia digital serta perkembangan ilmu pengetahuan, alasan untuk menyangkal Kristus dan meninggalkan Gereja semakin kuat. Tantangan iman menjadi lebih berat karena pandemi corona yang belum berakhir pula. Perayaan Kristus Raja Semesta Alam mengajukan pertanyaan kuat: Apakah Kristus masih benar-benar raja di hatiku?
Terima kasih Romo Andre
mantap romo andre…
Terima kasih pater atas penjelasan, telah memberikan pemahaman tentang KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM.. Salam dan doa, semoga pater sehat selalu.. ???