Tahun 2021 terbit buku terbaru Ilia Delio, The Hours of the Universe. Reflections on God, Science, and the Human Journey (Orbis Books). Seperti tampak dari judul, tema-tema yang menjadi minatnya diulas. Teolog Skolastik, Bonaventura, dan paleontolog modern, Teilhard de Chardin tetap menarik bagi Delio. Visi Paus Fransiskus ia ulas. Pandemi corona direfleksikan. Kemajuan teknologi ditelaah.
Sejarah alam semesta diibaratkan Delio dengan waktu doa tujuh kali sehari, dari pagi buta sampai penutup di waktu malam. Semesta diperkiran berusia 13, 8 miliar tahun; bumi berkisar 4, 2 miliar tahun. Manusia sebagai makhluk ber-kesadaran baru muncul 140 ribu tahun lalu di Afrika. Semesta masih berziarah. Antara awal dan akhir, semesta menjadi lebih kompleks, namun tetap terarah.
Semesta berevolusi, tak statis. Di antara pagi buta dan malam masih ada fajar, jelang siang, tengah hari, petang, dan sore hari. Asal mula segala realitas fisik ialah seberkas cahaya. Lalu kehidupan berkembang dari materi yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Ada energi penggerak evolusi. Energi itu tak murni material. Ia berdimensi spiritual. Mystery dan discovery bergantian.
Iman Kristiani berbicara tentang Allah yang terlibat dalam semesta. Allah dimuliakan karena Ia ikut serta dalam sakit dan derita manusia, bukan karena Ia adalah sempurna. Laudato Si, terpujilah Engkau Tuhanku, karena Engkau menjelmakan diri dalam segenap ciptaan; Engkau inti terdalam kesadaran semesta. Bagi Delio ‘kosmologisasi’ Allah lebih penting daripada indoktrinasi Allah.
Mengacu pada gagasan kosmoteandrisme Pannikar, Delio meyakini bahwa evolusi memosisikan kosmos (cosmos), Allah (theos), dan manusia (aner) dalam sebuah korelasi yang harmonis. Allah bukan realitas asing nun jauh di sana: Ia berevolusi dalam keseharian manusia. Tanpa kosmos dan manusia, eksistensi Allah tak nyata. Allah ‘membutuhkan’ ciptaan untuk mengungkapkan diri.
Realitas ilahi, insani, dan meterial memang berbeda, namun tak terpisahkan. Model dari kesatuan tiga unsur itu ialah diri Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi daging. Firman menjadi masterpiece segenap ciptaan, sebab permulaan ciptaan dan tatanannya adalah Firman. Lebih lagi: dalam diri Kristus itu, kematian dan kehidupan saling mengisi. Keutuhan hidup lahir dari saudari maut.
Mati dan hidup adalah realitas konkret setiap makhluk. Memiliki kesadaran berarti siap menerima kedua realitas itu. Pandemi Covid-19 merupakan contoh yang menunjuk dengan jelas kerentanan ciptaan seperti manusia. Manusia perlu ‘mati’ agar ia lebih sadar bahwa kebanggaannya akan kemajuan ilmu dan teknologi bisa saja hanya ilusi. Manusia harus lebih sadar siapa dirinya.
Pada dasarnya manusia adalah sebuah keterhubungan. Ia butuh sesama, ia butuh bumi, ia butuh jawaban atas pertanyaan apa makna hidup. Absurd kalau ia mendambakan kebaikan dalam dunia yang sakit dan rusak oleh ulahnya. Dalam konteks ini relevan lah berbicara tentang kasih. Dan kalau Allah ada, dan yang absolut pada-Nya adalah kasih, maka eksistensi-Nya relevan bagi manusia.
Tempat agama dan doktrin direfleksikan kembali. Kekristenan adalah Kristus, bukan sekumpulan doktrin. Kristus adalah Pribadi yang mengasihi, mengampuni, menderita, bangkit lagi. Kebajikan-kebajikan itulah yang ada di balik ide besar global consciousness. Kesalehan beragama itu perlu, tapi tanpa suatu visi tentang kosmos-rumah bersama, agama jadi ruang sempit kepuasan diri umatnya.
Completorium: doa menjelang tidur dalam harapan akan hari baru. Dunia tak memberi jawaban paripurna bagi dambaan manusia. Manusia pun bermimpi tentang dirinya: dari mana akau datang, apa tujuan hidupku? Seorang Kristiani percaya bahwa Allah adalah kasih. Jika kasih adalah realitas nan luhur, maka yang paripurna adalah relasi, bukan keterasingan. Aku berharap maka aku ada.