Allah Trinitas atau Allah Tritunggal Mahakudus merupakan inti terdalam iman Kristiani. Orang yang beriman Kristiani dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus (bdk. Mat 28: 19). Dengan meterai baptis itu seorang Kristiani memeluk iman Gereja akan Allah Trinitas dan dengan menerima dan menghayati sakramen-sakramen gerejani, ia semakin membuka diri bagi pengaruh daya rahmat atau kasih karunia Allah yang membawa keselamatan.
Setiap kali menandai diri dengan Tanda Salib, mendaraskan Syahadat dan memadahkan Kemuliaan, seorang Kristiani menegaskan imannya akan Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Konsili Vatikan II, mengacu pada Santo Siprianus dari Kartago († 258), mamaknai Gereja sebagai “umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putra dan Roh Kudus” (LG. 4).
Kerangka Umum Teologi Trinitas
Bagaimana iman akan Allah Tritunggal itu dialami sebagai warisan kepercayaan Gereja akan karya keselamatan Allah? Itulah pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam studi ini. Studi ini membahas Teologi Trinitas atau Tritunggal Mahakudus sebagai tema sentral dalam cabang Teologi Dogmatik atau Teologi Sistematik. Pembahasannya bermula dari kesaksian Alkitab, dokumen paling asli dari iman Kristiani, mula-mula Perjanjian Lama, lalu Perjanjian Baru. Setelah menemukan akarnya pada data alkitabiah, studi ini dibangun dengan tiang-tiang ajaran para Bapa Gereja yang termaktub dalam ajaran Konsili-Konsili; dan selanjutnya kerangka bangunan refleksi yang mengacu pada pemikiran para teolog dari abad ke abad.
Sebagai sebuah ulasan sistematis, Teologi Trinitas dimengerti dengan koridor metodologis yang diwariskan melalui cara berpikir tokoh-tokoh terpercaya. Aksioma terkenal dari Anselmus Canterbury (1033-1109), beriman agar mengerti (fides quaerens intelectum) menjadi prinsip metodologis yang dipandang valid. Metode tersebut sebenarnya telah diperkenalkan Santo Agustinus Hippo (354-430) dalam De Trinitate, dengan inspirasi teks Yes 7: 9 versi Septuaginta: “Jika kamu tidak percaya kamu tidak mengerti”[1], artinya percaya supaya mengerti (crede ut inteligas).
Dalam alur metodologi serupa, tokoh Skolastik, Bonaventura (1217-1274), dalam De Mysterio Trinitatis, menulis: “Dari waktu ke waktu kita tergagap (balbutimus) ketika berbicara tentang Wujud Yang Kekal, sebab pengertian kita tidak sanggup menampung realitas Yang Kekal, kecuali jika kita dituntun oleh tangan-Nya selama kita berziarah di dunia”[2].
Ciri metodologis ini menekankan bahwa dasar dari setiap bahasa teologis ialah tindakan Allah sendiri. Teologi memuat refleksi atas seruan pujian manusia kepada Tuhan (doksologi), yang pada gilirannya direfleksikan secara sistematis[3]. Sejalan dengan prinsip metodologi Teologi pada umumnya, Teologi Trinitas merupakan upaya manusia – secara terbatas – membahasakan dan memaknai pengalamannya akan misteri keselamatan (mysterium salutatis)[4].
Dengan demikian, beriman yang dimaksudkan di sini tidak berarti percaya secara buta, tertutup bagi dialog dan inkulturasi. Fides quaerens intelectum tidak berarti menegasi peran akal budi dalam mengungkapkan kebenaran iman. Dalam konteks sejarah perkembangan pemikiran, etos filsofis warisan budaya Yunani misalnya, diterima sebagai seni bertanya yang merangsang dan mempertajam refleksi teologis. Menjadikan iman sebagai titik tolak pemahaman tak berarti tertutup bagi keberagaman sudut pandang ataupun tempat (locus) di mana seseorang berteologi.
Ciri dialogis sebenarnya sudah ada dalam sejarah panjang upaya Gereja merumuskan keyakinan imannya akan Allah Trinitas. Keyakinan ini tampak dalam upayanya menanggapi tendensi-tendensi negatif berikut ini: Dalam upaya memahami dogma Trinitas, prinsip monoteisme ketat (bahasa Yunani: monē dan archē: satu prinsip, satu asal, satu kuasa) warisan Yudaisme maupun monoteimse filosofis warisan Helenisme diadopsi oleh umat Kristiani sesuai batas konteksnya, dan karena itu kekristenan telah berupaya agar tak jatuh dalam bahaya monarkianisme atau sebaliknya triteisme.
Trinitas Ilahi juga tidak identik dengan politeisme, yaitu pandangan yang membenarkan adanya tiga prinsip (triadikē archē, threefold rule) yang berdiri sendiri. Upaya inkulturasi (bukan kristenisasi) seperti itu berjalan seiring sejarah Dogma Trinitas, dan Gereja sampai pada keyakinan bahwa Allah yang monoteis itu juga triniter (trinitarian monotheism).
Yang dimaksudkan dengan Tiga Pribadi Tritunggal, sebagaimana akan ditunjukkan dalam pemabahasan tentang akar biblis Trinitas, ialah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dalam Kitab Suci, tiga Pribadi Ilahi itu disebut dengan nama yang jelas. Peran setiap Pribadi Ilahi juga cukup jelas. Misalnya saja: Bapa Pencipta, Putra Penebus dan Pengantara, Roh Penghibur dan Pengajar. Sedangkan yang belum sungguh jelas ialah bagaimana ketiganya itu merupakan satu-kesatuan, yang dalam bahasa dogmatis dikatakan sebagai kesatuan kodrat. Kesulitan terkahir itu lah yang paling menyibukkan para teolog Trinitas. Dalam upaya menjawab pertanyaan tersebut, studi ini pun mengandalkan buah pemikiran dan metodologi tokoh-tokoh terpercaya.
Terminologi yang dipilih sebagai pusat paradigma studi ini ialah communio (persekutuan). Sebagaimana akan dibahas lebih jauh, teolog kontemporer seperti Gisbert Greshake, berdasarkan studinya yang mendalam tentang Teologi Trinitas, mengembangkan perspektif communio. Opus Magnum Greshake Der dreieine Gott. Eine trinitarische Theologie (terbit 1997) yang diterjemahkan dalam bahasa Italia dengan judul Il Dio Unitrino. Teologia Trinitaria[5], merupakan salah satu sumber utama yang kami gunakan dalam studi ini. Allah Trinitas direfleksikan sebagai persekutuan kasih ilahi yang sempurna, yang menjadi dasar bagi bentuk-bentuk persekutuan yang dapat diupayakan manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
Gagasan dasar Greshake ialah bahwa dalam communio, unsur-unsur partikular diletakkan dalam sebuah nilai universal yang melingkupi mereka. Yang partikular tidak tenggelam dalam kolektivisme, melainkan saling berkontribusi dalam sebuah komunitas. Ia melihat kaitan erat antara paham communio dan konsep biblis koinonia, yang juga berarti ‘persekutuan’.
Dalam persekutuan kasih Trinitas proses ‘menjadi diri’ dan ‘menjadi hadiah bagi yang lain’ merupakan dua gerakan harmonis, gerakan yang saling mengisi satu sama lain, tak bertentangan atau salin mengeksklusi. Setiap Pribadi Ilahi unik dan bebas, namun wujud kebebasannya ialah pengosongan diri (kenosis) agar tetap tinggal bersama Pribadi lain. Itulah karakter ontologis Trinitas. Allah adalah kasih, dan kasih membawa keharmonisan. Communio sempurna terjadi hanya dalam relasi antara Pribadi Ilahi. Manusia sebagai ciptaan berupaya membangun persekutuan, sambil mengarahkan pandangannya pada persekutuan kasih ilahi. Pengalaman manusia akan kasih Allah mendorongnya untuk membangun persekutuan kasih dengan sesama manusia maupun segenap ciptaan lainnya. Paradigma persekutuan melampaui tendensi pengkutuban parsial seperti panteisme, dualisme, monisme, dan sebagainya.
Untuk memperjelas paradigma yang dimaksud, maka dalam studi ini, selain mengulas pemikiran sistematis, pemahaman tentang konsep persona atau pribadi juga diberi tempat. Paham dan tafsir atas istilah tersebut memiliki arti penting untuk memahami persekutuan Pribadi-Pribadi Ilahi, mengingat bahwa istilah persona tidak didefinisikan baik secara biblis maupun dogmatis. Dalam paradigma communio, setiap Pribadi Ilahi merupakan eksistensi relasional, tidak tertutup dalam dan bagi masing-masing diri. Dalam rumusan Dogma Trinitas digunakan istilah pribadi: Allah Bapa dan Putra dan Roh Kudus adalah Tiga Pribadi dalam satu kodrat, yaitu kodrat ilahi.
Dalam paradigma communio, studi ini juga berupaya menunjukkan bahwa Teologi Trinitas jelas mengandaikan kesatuan antara dimensi Kristologis dan Pneumatologis. Dalam persekutuan ilahi, paternitas Bapa tidak dapat dimengerti tanpa keputraan Yesus; dan relasi antara Bapa dan Putra tidak dapat dimengerti tanpa peran Roh Kudus sebagai ikatan kasih sempurna antara keduanya. Dengan kata lain, Kristologi Trinitas dan Pneumatologi Trinitas merupakan satu-kesatuan tema. Untuk memahami dan merefleksikan Teologi Trinitas secara integral (dengan paradigma communio), dalam studi ini perbedaan tekanan antara Gereja Timur dan Barat (diskusi Filioque) coba dimengerti secara komprehensif agar tidak menimbulkan kesan saling mengekslusi.
Visi Integral Tentang Allah, Manusia, dan Dunia
Visi communio mengandaikan sebuah refleksi yang integral tentang relasi antara Allah, manusia, dan dunia. Dunia dimaknai sebagai locus manusia mengalami dan merefleksikan tindakan Allah. Bahasa manusia tentang Trinitas (teologi kita) hanya bersifat analogi (analogia trinitatis). Karena itu, Teologi Trinitas tentu bukan sebuah investigasi untuk membuktikan eksistensi Allah Trinitas (teologi pada dirinya).
Manusia dapat berbicara tentang misteri ilahi sejauh misteri itu sendiri telah menyatakan diri dalam sejarah dunia. Dalam iman Kristiani, ungkapan diri misteri yang tak berhingga (infinitum) nyata dalam peristiwa Yesus Kristus. Dengan peristiwa Firman menjadi daging, manusia dapat membahasakan Dia yang telah bersabda. Singkatnya, bahasa manusia hanya merupakan upaya membahasakan pembahasaan diri Allah dalam sejarah.
Paradigma communio mengandung penekanan bahwa Teologi Trinitas juga berciri praktis. Dikatakan ‘praktis’ karena merefleksikan pengalaman umat Kristiani akan Allah dalam sejarah. Allah telah bertindak nyata, yaitu menjalin relasi kasih dengan manusia agar martabatnya dipulihkan; Ia adalah Allah bagi kita (Deus pro nobis): “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis. 17: 28). Oleh karena kasih Allah yang konkret itu, manusia terdorong untuk belajar mengasihi. Dalam konteks ini, Teologi Trinitas tidak hanya berbicara tentang Tuhan tetapi juga tentang manusia dan sejarah dunia. Semakin jauh manusia berupaya mengenal Allah, hendaknya semakin mendalam pula pengenalan akan diri, sesama, serta makna sejarah.
Ciri praktis yang dikatakan di atas terkait pula dengan keyakinan bahwa persekutuan Allah Trinitas dapat menjadi sebuah paradigma dasar bagi upaya-upaya membangun dan menata dunia sebagai sebuah eukonomia. Tentu saja ciri praktis itu tidak berarti pragmatis belaka. Teologi Trinitas bukan doktrin yang memberi solusi bagi persoalan praktis dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Trinitas menyediakan dasar refleksi dan mendorong pemurnian sikap manusia dalam mengenal tanda kehadiran Kerajaan Allah serta upaya membangun persekutuan dengan segenap ciptaan, dalam harapan akan persekutuan paripurna dengan-Nya.
Refleksi tentang siapa itu Allah, manusia dan dunia, serta relasi antara ketiganya, perlu ditatapkan dengan kenyataan konkret dan aktual di sekitar kita. Tak berlebihan jika dunia kontemporer kini sering digambarkan sebagai dunia yang terluka (wounded world). Krisis di berbagai bidang telah melukai wajah kemanusiaan. Dunia telah menjadi dunia ‘berkebutuhan khusus’ karena ciri relasional yang menjadi kodrat manusia dan segenap ciptaan terhalang oleh primat individualisme. Batas-batas ras, budaya dan agama, intrik politik, kekuasaan dan kepentingan ekonomi, serta perang telah meracuni ruang relasi dalam diri manusia.
Kodrat manusia sebagai makhluk relasional terluka. Rumah bumi telah menjadi ringkih (vulnurable world) karena setiap penghuni terlalu memikirkan keuntungan dan keselamatannya saja. Tanah, udara, air, dan panas bumi sebagai elemen utama ibu bumi tercemar karena aktivisme manusia. Dalam kenyataan seperti ini, relevan lah kesadaran tentang Allah Maharahim, tetapi dengan tekanan bahwa Ia bahkan menjadi ringkih (vulnurable God)[6] seperti ciptaan. Keberpihakan Allah yang radikal itu membuka mata hati manusia untuk lebih insaf bahwa hanya dalam persekutuan kasih dengan Tuhan dan sesama, ia menemukan otentisitas dirinya sebagai citra Allah.
Perihal keprihatinan pada komunitas manusia di era kontemporer, pemikiran beberapa tokoh yang dipandang penting akan dipaparkan. Namun dalam konteks hidup menggereja, Paus Fransiskus adalah figur paling sentral. Inspirasi darinya bukan tiba-tiba muncul misalnya karena wabah virus Covid-19 yang menyerang dunia. Paus dari Argentina ini sebenarnya telah mempersiapkan bahtera Gereja Katolik kalau harus menghadapi angin taufan. Melalu Ensiklik, Seruan Apsotilik, serta berbagai pengajarannya, ia telah membangun sebuah ethos bagi Gereja agar selalu menjadi communio yang memberi kesaksian tentang sukacita dan harapan. Ketika bahtera Gereja dan dunia benar terombang-ambing angin taufan wabah korona, Paus ini setia berdoa, menguatkan, dan memberi kesaksian akan iman, harapan dan kasih Tuhan bagi dunia.
Jauh sebelum wabah korona, Ilia Delio misalnya, melihat bahwa visi kepausan Paus Fransiskus menampilkan corak katolik dalam arti kata sesungguhnya: “Bagaimana tampak kesadaran akan kekatolikan, dan siapakah model kekatolikan di masa sekarang? Tak ada model kekatolikan yang lebih besar di masa ini, selain uskup Roma asal Argentinia, Paus Fransiskus”[7].
Konteks lain yang perlu mendapat perhatian dalam studi ini ialah dampak teknologi informasi. Kemajuan teknologi internet telah menjadikan dunia sebagai sebuah jejaring sosial. Di satu sisi diakui bahwa dunia digital adalah bentuk kemajuan teknologi yang paling mengagumkan di abad ini, yang membawa banyak kegunaan bagi aktivitas manusia: Kecanggihan teknologi digital telah berhasil merangkai dunia sebagai sebuah jejaring yang menjangkau sampai ke sudut-sudutnya. Dengan kemajuan ini terjalin hiper-koneksitas dunia dalam sebuah media raksasa berbasis teknologi internet. Di sisi lain, tak bisa disangkal bahwa kecanggihan jejaring sosial tak menjamin jalinan persaudaraan manusia. Dalam konteks ini, pemaknaan relasi antara pribadi manusia, persekutuan Gereja, serta persekutuan pada tataran sosial, perlu diletakkan kembali pada dasarnya, yaitu persekutuan Trinitas Ilahi. Dengan kata lain, studi ini tak berhenti pada refeksi biblis, historis dan teologisnya, tetapi sedapat mungkin sampai pada aktualisasinya.
Kesalahan Paling Serius atau Penemuan Paling Kaya
Iman Kristen meyakini bahwa misteri persekutuan Trinitas pada dirinya (Trintias ad intra) telah menyatakan diri dalam sejarah keselamatan (Trintias ad extra). Meski demikian harus dikatakan pula bahwa bagaimanapun misteri itu tetap tidak terselami sepenuhnya oleh nalar manusia. Kesadaran tersebut membentuk logika berpikir berikut ini: Di satu pihak orang beriman sadar bahwa bahasanya terbatas, sehingga ia tidak mampu menyelami misteri ilahi secara tuntas.
Di lain pihak, manusia perlu menggunakan kemampuan berpikirnya secara baik dan benar; ia tak boleh terkungkung dalam kemalasan berpikir. Jalan tengah antara sisi keterbatasan manusia di hadapan Allah sebagai misteri yang absolut dan sisi keterbukaan horison manusia ini telah diantisipasi misalnya oleh Santo Agustinus: Baginya, dengan melakukan studi tentang misteri Trinitas, terbuka kemungkinan bahwa orang beriman “melakukan kesalahan paling serius” atau sebaliknya mengupayakan “penelitian paling ketat yang membuahkan penemuan paling kaya”[8]. Bagi Agustinus, meskipun bahasa kita terbatas dan memang tak layak untuk mengungkapkan Tuhan, kita justru wajib berbicara tentang Tuhan, meskipun Ia tetap tak terperikan.
“Bila filsuf Ludwig Wittgenstein, seorang tokoh terkenal dari aliran Filsafat Bahasa, berpendapat bahwa orang orang harus diam diri tentang yang tak terkatakan, Santo Agustinus berkeyakinan bahwa kita justru wajib berbicara tentang Allah, kendati Ia bersifat tak terperikan. Alasan Agustinus rangkap empat: untuk menghindari salah paham tentang-Nya, untuk menolong sesama dalam pergumulannya mencari-cari Tuhan, untuk mewartakan keagungan dan kebaikan-Nya dengan akibat – yang disukai Tuhan – bahwa kita sendiri digembirakan oleh kata-kata puji dan syukur kita, dan akhirnya untuk mengingatkan kita bahwa Tuhanlah kerinduan kita yang terdalam. Kata Agustinus: ‘Merindukan, mengejar, mendambakan Allah itu mungkin bagi kita. Memikirkan atau mengungkapkan-Nya dengan kata-kata yang layak bagi-Nya itu tidak mungkin’”[9].
Kesadaran metodologis di atas akan mewarnai cara pandang saya dalam studi ini. Paparan tentang Trinitas bersumber pada Firman Tuhan yang menjadi kekuatan bagi iman Kristiani, yang direfleksikan dan diendapkan dalam tradisi, serta dirayakan dalam liturgi Gereja. Setelah mencoba menggali kekayaan makna ungkapan diri Allah Trinitas yang tersembunyi di balik sejarah keselamatan dari masa ke masa, kekayaan itu lalu dijadikan sebagai paradigma untuk merefleksikan kembali tema-tema teologis lainnya seperti Eklesiologi, Sakramentologi, Teologi Ekologi, Mariologi, serta kemungkinan dialog antara Teologi, Filsafat, serta ilmu pengetahuan alam (kosmologi). Demikian pula isu-isu modern-kontemporer seperti pluralitas agama, dampak kemajuan teknologi digital bagi pandangan tentang pribadi manusia dan relasinya dengan sesama manusia dan ciptaan lain, perlu direfleksikan pula dalam paradigma Teologi Trinitas.
Studi ini lebih banyak bersandar pada ajaran dan pandangan teologis Gereja Katolik Roma. Corak ekumenis tidak mendapat perhatian khusus. Meski demikian pandangan teologis teolog Gereja Reformasi seperti Jürgen Moltmann cukup banyak dibahas. Dalam bahasa Indonesia, buku Prof. Joas Adiprasetya, An Imaginative Glimpse-Trinitas dan Agama-Agama, merupakan contoh karya yang baik. Tema Filioque yang menyentuh dialog dengan Katolik Ortodoks kami bahas secara khusus, dengan memperhatikan pandangan teolog Ortodoks terkemuka Gregorius Palamas, yang cukup dibahas dalam karya teolog modern seperti John Zizioulas dan Bobrinskoy. Kiranya keterbatasan ini pada waktunya dilengkapi dalam suatu karya khusus.
[1] Saint Augustine, The Trinity (introduction, translation and note Edmund Hill, OP., Jhon E Rotelle OSA), New City, NY., 2012. Lihat Pengantar untuk edisi kedua, hlm. 23.
[2] Myst. Trin. q. 5, a.1, resp. ad 5 [V, 91].
[3] Bdk. Jürgen Verbick, Un Dio Coinvolgente. Dottrina Teologia su Dio, 21-24.
[4] Bdk. Nicola Ciola, Teologia Trinitaria. Storia-Metodo-Prospettive, 14.
[5] Gisbert Greshake, Il Dio Unitrino. Teologia Trinitaria, Queriniana, Brescia, 20083. Tesis Greshake tentang communio juga ia rangkum dalam artikel ini: Greshake, “Trinity as Communio” dalam Rethinking Trinitarian Theology. Dusputed Questions and Contemporary Issues in Trinitarian Theology (edited by Robert J. Wozniak and Gulio Maspero), t&t clark, 2012, hlm. 331-345.
[6] Bdk. Ilia Delio, The Unbearable Wholeness of Being, 81-85.
[7] Bdk. Delio, Making All Things New. Catholicity, Cosmology, Consciousness, 184.
[8] De Trinitate, I, iii, 5.
[9] Nico Syukur Dister, Teologi Trinitas dalam Konteks Mistagogi, 309-310.