Buku Membangun Tanpa Sekathadir sebagai sebuah hasil refleksi para penulis terhadap 20 tahun otonomi Lembata. Hal inilah yang menjadi latar belakang saya memilih judul dari tulisan ini, yakni apa kata orang tentang Lembata?
Dalam buku tersebut, para penulis berusaha menjawab pertanyaan: mengapa Lembata harus otonomi? Bagaimana perkembangannya selama 20 tahun? Apakah tujuan dari otonomi Lembata sudah tercapai secara maksimal? Jika tujuan dari otonomi Lembata tersebut masih jauh dari harapan, apa saja impian ata Lembata pada masa-masa yang akan datang berhadapan dengan perkembangan dunia yang semakin modern?
Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, beberapa penulis yang lain juga menguraikan pelbagai potensi daerah. Potensi-potensi tersebut berkaitan dengan kualitas Kabupaten Lembata dari segi ekonomi, sosial budaya, agama dan politik. Meskipun demikian, potensi-potensi itu belum sepenuhnya membebaskan Lembata dari ketertinggalan sejak awal berdirinya sebagai kabupaten yang mandiri hingga kini. Hal tersebut terindikasi lewat pembangun fisik (sarana dan prasarana) dan pemberdayaan SDM yang belum memadai.
Secara umum, kumpulan karya para penulis buku Membangun Tanpa Sekat di atas berjumlah 26 tulisan. 26 tulisan tersebut dibagi lagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama berisi sejumlah tulisan, yakni Lembata dan Kepemimpinan Melayani, Memanen Buah Otonom, Dua Puluh Tahun Otonomi Lembata, Wajah Lembata yang Perlu Dipoles, Pembelajaran Berbasis Motivasi, Guru Terima Kasih, Jokowi, Guru dan Lembata, dan Berguru Kearifan Tempo Doeloe.
Bagian kedua buku berisi artikel-artikel seperti Kekuatan Budaya Lembata, Spiritualitas Ata Lembata, Pariwisata dan Kearifan Lokal, Selamat Datang Desa Budaya Leuwayang, Filosofi Tenun Tradisional, Lamalera dalam Konstruksi Konservasi, Politik yang Jauh dari Rakyat, dan Korupsi Awololong.
Bagian ketiga dari buku yang bersangkutan terdiri dari delapan artikel, yaitu Ketakutan Momok Pembangunan, Menelisik Tambang Emas di Lembata, Mengabdi Rakyat, Nasionalisme: Sebuah Pembaharuan Etis, Lembata yang Remaja, Balita yang Terancam ISPA dan Bahaya Rokok, Mengapa Orang Lembata Merantau, dan Sastra sebagai Sebuah Refleksi Kehidupan Manusia.
Bercermin dari tulisan-tulisan di atas, dapat dilihat bahwa setiap penulis melihat Lembata dari sejumlah tema yang berbeda-beda. Tema-tema tersebut berhubungan dengan sejarah, kepemimpinan, pendidikan, kesehatan, pariwisata, kebudayaan, spiritualitas, filsafat, pelbagai pengetahuan lokal serta sarana dan prasarana. Dari tema-tema itu, para pembaca akan memperoleh pengetahuan tentang perjalanan Lembata selama 20 tahun.
Perjalanan kabupaten Lembata yang otonom tersebut berawal dari aspirasi masyarakat Lembata agar terlepas dari Kabupaten Flores Timur. Aspirasi itu dimotivasi oleh dorongan untuk meningkatkan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi-potensi daerah secara efektif dan efisien. Dalam hal inilah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 tahun 1999 mengafirmasi Lembata sebagai kabupaten yang otonom.
Sekalipun demikian, pelbagai cela dan kekurangan masih menodai visi dan misi awal terbentuknya otonomi Lembata itu. Selama 20 tahun, kabupaten Lembata diidentifikasikan dengan seorang anak yang berbakat, tetapi belum menemukan seorang guru yang tepat. Hal ini disampaikan oleh Melkhior Koli Baran dalam tulisannya tentang Memanen Buah Otonomi. Dia melihat bahwa kekayaan SDA dan SDM yang terdapat di kabupaten Lembata belum mengandaikan kemajuannya. Faktanya, masyarakat Lembata masih menunggu perubahan.
Di sisi lain, keunikan dan kekhasan kultur Lembata juga mengalami degradasi sebagai akibat perkembangan globalisasi. Dalam hal-hal inilah, seluruh elemen masyarakat Lembata perlu kembali pada motivasi awal terbentuknya sebagai kabupaten yang otonom.
Membaca buku Membangun Tanpa Sekat yang sudah diuraikan secara singkat di atas, saya ingin menambahkan sedikit komentar berkaitan dengan beberapa hal di dalam buku tersebut. Komentar ini berfokus pada beberapa kelebihan dan kekurangan dari buku yang bersangkutan. Kelebihan yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut.
Pertama, buku Membangun Tanpa Sekat ini termasuk bacaan yang mudah dimengerti. Penulis mengatakan hal tersebut karena buku yang bersangkutan menjelaskan pelbagai hal tentang perjalanan Lembata sebagai kabupaten yang otonom dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Terlihat sekali bahwa di dalam buku itu, penulis tidak menggunakan istilah-istilah sulit yang membutuhkan penjelasan lebih dalam, melainkan dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Hal tersebut cukup membantu pembaca dalam memahami maksud dari isi buku itu.
Kedua, buku Membangun Tanpa Sekat termasuk buku edukatif karena memberikan informasi tentang budaya dan opini-opini yang berkaitan dengan bagaimana Kabupaten Lembata itu seharusnya dibangun dari segi pariwisata, sosial budaya dan politik.
Ketiga, buku Membangun Tanpa Sekat juga merupakan buku yang inspiratif. Sekalipun demikian, buku Membangun Tanpa Sekat juga memiliki kekurangan. Kekurangan dari buku tersebut terindikasi lewat beberapa kesalahan dalam penulisan kalimat, seperti “Lembatasempat” (hal. 41) dalam tulisan Guru Terima Kasih karya Justin L. Wejak.
Akhirnya, buku Membangun Tanpa Sekat perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin mengenal dan mencintai kampung halaman, Lembata tercinta. Kehadiran buku ini dapat menjadi inspirasi dan bahan pelajaran bagai generasi yang akan datang untuk membangun Kabupaten Lembata ke arah yang lebih baik.
Trima kasih Pater tulisan tentang Lembata ..tana kelahiran. Semoga semakin Cinta Lembata…
Terima ksh byk kak Pater tulisannya yg sangat menarik dan inspiratif ttg lewo tanah tite Lembata….salut dg kak Pater….
Kata George kak Pater paling hebaaaat….
Slm dr kami b3