Artikel ini menawarkan teologi Trinitas St. Bonaventura dari Bagnoregio (1217-1274) sebagai sebuah model teologi pluralitas agama[1]. Pertama-tama akan dipaparkan tinjauan umum atas penggunaan term infinitum dalam wacana dialog dan toleransi antara agama (1). Tinjauan tersebut dimaksudkan untuk menemukan kekhasan pandangan Bonaventura tentang Allah yang infinitum (2). Pada era modern, dalam konteks teologi pluralitas agama, paradigma trinitaris dikemukakan misalnya oleh Jacques Dupuis (1923-2004)[2]. Menarik bahwa baik Bonaventura maupun Dupuis mewacanakan pola Sabda yang triadik [istilah Bonaventura: triplice Verbum] (3). Kemungkinan dialog antara dua tokoh dari mazhab yang berbeda ini hendak dibaca sebagai paradigma “kristologi trinitaris”, dan ditawarkan sebagai sebuah model teologi pluralitas agama (4).
1. Kata infinitum dalam Teologi
Kenan Osborne, dalam bukunya The Infinity of God and a Finite World[3], berargumen bahwa teologi pluralitas agama perlu lebih serius menempatkan eksistensi Allah yang infinitum[4] sebagai pusat wacananya. “Jika Allah itu infinitum, maka tidak satupun agama dapat mengklaim bahwa dirinya, dan hanya dirinya, menyembah satu-satunya Allah yang tak terhingga itu”[5]. Pusat orientasi dialog antara agama ialah Allah yang Satu, bukan keberagaman cara manusia memresentasikan Allah (agama-agama)[6].
Osborne mengobservasi penggunaan term infinitum (tak berhingga) dalam teologi dan mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Dalam sejarah Filsafat Yunani kuno, kata ini muncul dalam tulisan Anaxagoras (sekitar 510-428 SM) dalam pandangannya tentang paradoks-paradoks infinitum. Kata itu juga digunakan oleh Anaximander dari Miletus (610-546 SM). Plato menggunakan term itu dalam karayanya Philebus dan Timaeus untuk menggambarkan pertentangan antara figur pencipta yang tidak berbentuk (formless) atau tidak berakhir (endless) dan ciptaan yang terbatas[7].
Dalam Kitab Suci, baik PL maupun PB, kata ini tidak digunakan. Teks-teks biblis menggunakan misalnya kata ‘Kekal’ dan ‘Satu,’ namun tidak menggunakan kata infinitum untuk menjelaskan eksistensi Allah[8]. Dalam periode Bapa-Bapa Gereja awal, dan kemudian Agustinus (354-430), kata itu beberapa kali digunakan tanpa disertai uraian sistematis tentangnya. Konsili Lateran (694) hanya sekali menggunakan kata ἂπειρον (sine initio). Dalam Konstitusi Dogmatis Dei Filius dari Konsili Vatikan I (1870), kata sifat ‘infinitum’ (tak berhingga) digunakan, namun tanpa disertai penjelasan sistematis. Akhirnya dalam Konsili Vatikan II, kata itu pun absen[9].
Menarik bahwa pada Abad Pertengahan, term infinitum telah digunakan secara sistematik dalam pemikiran Petrus Lombardus, Alexander Hales, Bonaventura, Thomas Aquinas dan Duns Scotus. Pada masa itu karya-karya Aristoteles masih sangat berpengaruh di universitas Paris; ia sendiri menggunakan istilah tersebut secara lebih sistematik dalam Fisika dan Metafisika. Dalam pengaruh Aristoteles itu, penulis-penulis Abad Pertengahan pun menggunakan term itu secara lebih sistematik, meskipun pada gilirannya “membaptis dan mengkristenkan”[10] infinitum Aristoteles dalam kerangka berteologi.
Penggunaan kata infinitum dalam tahap selanjutnya dapat diringkas demikian: Sejak akhir Abad ke Limabelas, teologi Katolik memberi perhatian pada peran Kristus, tetapi lebih terkesen eklesiosentris[11]; term itu pun tidak terdapat dalam dokumen-dokumen Gereja dan karena itu tidak memengaruhi arah teologinya. Era baru mulai terlihat pada Abad ke Sembilanbelas, dengan munculnya karya-karya yang memberi perhatian pada refleksi teologis eksistensi Allah, khususnya Trinitas Ilahi. Arah teologi itu tampak pada penulis-penulis seperti Moltman, Pannenberg, Rahner, Catherine LaCugna, Anne Hunt, dan lain-lain. Tendensi eklesiosentris pun mulai beralih ke teologi Trinitas[12].
Osborne sendiri secara khusus tertarik pada pandangan Duns Scotus. Baginya, berbeda dengan penulis-penulis lain yang menempatkan infinitum sebagai atribut Allah, Scotus menempatkannya sebagai kodrat intrinsik eksistensi Allah. Infinitum bukan unsur tambahan pada Allah, melainkan esensinya. Bagi Scotus, menyebut Allah niscaya menyebut infinitum. Dalam pemikirannya, gagasan metafisik mengenai ‘prinsip pertama’ dikemukakan secara paling tajam[13]. Namun dalam kerangka tema dialog dan toleransi antara umat beragama, kami tertarik memresentasikan pemikiran Bonaventura, yang mengindentikkan infinitum dengan misteri kasih Allah, yaitu Allah Trinitas. Tentu tema pluralitas agama tidak direfleksikan oleh Bonaventura, tetapi kekhasan pandangannya menyediakan pendasaran teologis atas wacana tersebut.
2.Bonaventura: Allah Infinitum itu Trinitaris
Bonaventura mengidentikkan kuasa dan essensi Allah: Oleh karena kuasa Allah itu tidak terbatas, demikan pula esensinya tidak terbatas (sed hoc modo essentia est infinita)[14]. Allah adalah satu-satunya infinitum. Eksistensi Allah bahkan dilukiskan secara superlatif: infinitissimum, completissimum, unitissimum[15]. Sebagai satu-satunya infinitum kepada Allah tidak dapat ditambahkan sesuatu yang lain (impossibile est infinito addi), dan tidak ada hal lain yang lebih besar dari-Nya (Infinito nihil maius)[16].
Bonaventura memberi perhatian bukan hanya pada misteri Allah pada dirinya (in se), tetapi terutama Allah bagi kita (pro nobis). Titik berangkat teologi Trinitasnya ialah primat Allah Bapa sebagai sumber kasih. Ia menggunakan kategori ‘baik’ (bonum) untuk menjelaskan peran Allah Bapa sebagai Prinsip Pertama. Dalam De Mysterio Trinitatis Bonaventura berbicara tentang aspek positif prinsip pertama untuk menunjukkan bahwa dalam Trinitas Ilahi tidak ada kontradiksi antara yang satu dan yang plural[17]. Ganocxy[18] menafsirkan bahwa Trinitas Ilahi dalam pemikiran Bonaventura memiliki corak unum in pluribus, bukan unum in uno. Dalam struktur seperti ini primat prinsip pertama tidak mengabaikan melainkan mengandaikan (includit) pluralitas[19].
Dalam Itinerarium Mentis in Deum, Bonaventura berbicara tentang dua nama Allah: Mengikuti Yohanes Damaskus (676-749), ia berbicara tentang nama Esse (Ada) berdasarkan teks Kel. 3: 14: “Aku adalah Aku”. Mengikuti Dionisius Areopagita, ia merenungkan nama Baik: “Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja (Luk. 18: 19)”[20]. Dalam pengaruh Dionisius ini lah lahir frase terkenal dari Bonaventura: “yang baik itu memancarkan dirinya” (bonum diffusivum sui est)[21]. Ciri ‘memberi diri’ merupakan keniscayaan dari Kebaikan. Sebagai seorang metafisikus, Bonaventura memberi tekanan pada Esse sebagai nama pertama Allah; sedangkan sebagai teolog ia menekankan nama Bonum[22]. Ringkasnya, ia mendamaikan kedua kategori ini dengan menempatkannya sebagai nama-nama Allah: Yang pertama mengusung ciri monoteisme ketat, sedangkan yang kedua mengarah pada pluralitas pribadi Ilahi.
2.1. Allah Bapa: Primitas
Bagi Doctor Seraphicus, Allah Bapa adalah Prinsip Pertama (Primo principio) dalam arti ketat. Tentang primitas (primity/firstness) Allah Bapa ini, ia bertolak dari prinsip filosofis Neo Platonis (Proclus), yang mengatakan bahwa “semakin primat sesuatu, semakin ia produktif, dan karena itu menjadi sumber bagi yang lain”[23]. Sebagai pribadi yang tidak berasal dari sumber lain, Allah Bapa tidak dilahirkan (innascibilitatem ), dan karena itu merupakan Sumber Kebaikan bagi pribadi-pribadi lain[24].
2.2. Allah Putra: Exemplar
Kata kunci untuk pribadi Ilahi kedua ialah exemplar. Dari Allah Bapa mengalir rahmat kasih secara gratis. Sebuah kasih sempurna hanya dapat diterima secara sempurna oleh pribadi ilahi pula. Pribadi penerima itu ialah Allah Putra: Ia lahir dari Bapa (natus est), karena itu merupakan model sempurna (exemplar) dari kasih Bapa[25]. Kristus merupakan pernyataan sempurna diri Allah. Dialah kebenaran (veritas) Allah, titik pusat dan kulminasi dari sejarah keselamatan (Christus Medium). Kiranya jelas bahwa kristologi bonaventuriana merupakan kristologi trinitaris. Ia merangkum secara padat ciri tersebut dalam pola triplice Verbum: Verbum increatum (Sabda yang sejak awal mula ada bersama Bapa), Verbum incarnatum (misteri inkarnasi) dan Verbum inspiratum (Kepenuhan misteri keselamatan)[26].
2.3. Allah Roh Kudus: Donum
Dari Allah mengalir kebaikan tertinggi. Komunikasi antara pribadi Ilahi pun bersifat sempurna[27]. Dalam diri Allah Putra, komunikasi kasih Bapa terungkap secara sempurna pula. Karena bersifat sempurna, pada mereka tidak ada kecemburuan, melainkan kasih tanpa pamrih (amor caritatis, charity-love)[28]. Dengan istilah caritas, Bonaventura menunjukkan bahwa yang terjadi pada kedua pribadi Ilahi itu tidak hanya ‘saling mengasihi’ (di-lectio), tetapi juga ‘mengasihi bersama’ (con-dilectio). Ungkapan dari con–dilectio Bapa dan Putra ialah Roh Kudus. Roh Kudus merupakan ‘anugerah yang dianugerahkan’; Dialah penyatu (nexus)[29] kasih Allah Bapa dan Allah Putra. Dalam Roh, kasih Ilahi mencapai finalitasnya yang penuh (consumatio). Tidak ada kesempuraan melebihi kasih; dan komunikasi kasih yang sungguh-sungguh sempurna niscaya mengandaikan pluralitas pribadi ilahi: Bapa, Putra, Roh Kudus.
Kebaikan Tertinggi (summum bonum), yaitu Allah, mengandaikan komunikasi tertinggi (summa communicabilitate). Sebab, seandainya dalam diri Allah tidak terjadi komunikasi diri yang sempurna, sesungguhnya Ia bukan kasih sempurna. Tegasnya, Trinitas Ilahi merupakan “super-excelling goodness” (superexcellentissimam bonitatem)[30], dan karena itu komunikasi yang terjadi dalam Trinitas niscaya sempurna.
3. Triplice Verbum Bonaventuriana dan Dupuis
Pada tahun 2015 terbit sebuah artikel yang memuat perbandingan pemikiran Jacques Dupuis dengan Bonaventura, dengan fokus pada topik “triplice verbum”[31]. Menurut studi ini, dinamika triplice Verbum bonaventuriana, sebagaimana disebut di atas, “memfasilitasi” distingsi problematik peran Sabda model Dupuis, yaitu: Sabda-yang-menjadi-manusia (Word-to-be-incarnate), tindakan Sabda yang menjadi manusia (the action of the Word incarnate), dan peran Sabda setelah kebangkitan (Word as such)[32].
Di sini kami tidak membahas diskusi tentang model “triplice verbum” Dupuis itu. Kami hanya mau menunjukkan bahwa pola itulah yang mendasari posisi “pluralisme inklusif” atau “inklusif pluralisme”-nya dalam issue pluralitas agama. Paradigma itu, meskipun telah mendapat catatan dari Konggregasi Ajaran Iman, merupakan sebuah sumbangan penting bagi Teologi Plurisme agama. Dupuis itu seorang pluralis tetapi ia menolak teosentrisme yang merelativisir figur-figur pribadi dalam agama-agama; ia juga sekaligus seorang inklusif, tetapi tidak suka mengabsolutkan figur Yesus Kristus dengan cara arogan dan intoleran. Karena itu ia berbicara tentang peran Kristus yang “konstitutif” dan “relasional” untuk melawan tendensi mengabsolutkannya bagi agama lain[33].
Mengingat kemungkinan bahaya ‘berat sebelah’ baik eksklusivisme maupun pluralisme, Dupuis mengidealkan paradigma trinitaris atau kristologi-trinitaris. Baginya misteri Allah Trinitas dalam Kekristenan adalah Realitas Akhir an sich. Ini tidak berarti bahwa Kekristenan menjadi bukti sempurna kedalaman diri Allah [mengingat bahwa, bahkan manifestasi Allah dalam Yesus pun belum tertampung oleh pikiran manusia (bdk. Yoh. 1: 18)], tetapi bahwa doktrin Allah Trinitas koresponden secara objektif dengan realitas terdalam Allah, meski hanya secara analogis. Realitas Akhir tersebut personal sekaligus interpersonal. Dasar doktrin Kristen tentang Allah adalah pengalaman manusiawi Yesus selama hidup-Nya di dunia: hidup dalam kesadaran manusiawi-Nya akan relasi yang intim sebagai Anak terhadap Tuhan yang Ia sebut sebagai Bapa (Abba), dan terhadap Roh yang dijanjikan-Nya untuk menyertai Gereja-Nya (Yoh. 14:16-17; 16: 7)[34].
4. Paradigma Trinitas Bonaventuriana
Pokok-pokok di atas kiranya telah menunjukkan bahwa teologi Trinitas Bonaventura menyediakan intuisi teologis yang relevan dengan realitas pluralisme agama. Perspektif inilah yang hendak dikemukakan dalam tulisan ini – tentu tanpa mengabaikan pendekatan-pendekatan lain, melainkan menawarkan perspektif lain untuk menampung sumbangan dan nilai khas masing-masing agama demi membentuk sebuah cara berdialog yang lebih integral. Sebab ciri ‘absolut’ sebuah agama sesungguhnya terletak pada keterbukaannya akan keberagaman, serta kemampuannya mengupayakan kesatuan atas dasar keyakinannya tanpa menjadi arogan dan sempit[35].
“Yang Absolut” adalah Allah Bapa sendiri, atau dalam bahasa bonaventuriana: Allah Bapa tidak dilahirkan. Teologi Abad Pertengahan membahasakannya dengan kata infinitum. Dalam realitas agama yang plural, hendaknya kita menjadikan iman akan satu Allah sebagai pusat orientasi. Allah adalah satu-satunya Kebenaran, bukan kebenaran objektif, sebagaimana diagung-agungkan ilmu pengetahuan atau filsafat, tetapi kebenaran yang personal. Bagi orang Kristen, Allah yang infinitum itu telah menjadi Allah bagi kita (pro nobis). Dalam diri Kristus, kebenaran yang bersifat personal itu mengungkapkan diri-Nya[36]. Yesus berkata: “Akulah jalan kebenaran dan hidup” (Yoh 14: 6).
Dimensi kristologis ini merupakan pendasaran teologis yang krusial bagi konteks pluralitas agama. Bonaventura telah menunjukkannya dalam tema Christus Medium. Peran Kristus bukan sekedar ‘pengantara’ antara Allah dan manusia. Ia adalah Medium, yaitu titik temu (convenientia) dari tata ciptaan yang terbatas; Ia merupakan titik kulminasi pengetahuan manusia yang terbatas. Atau dalam kata-kata Hayes, “Kristus adalah jawaban dari pencarian metafisik manusia”[37]. Bonaventura mewacanakan “kristosentris”, tetapi tidak terjebak dalam pola “kristomonisme”[38].
Kristologi yang inklusif ini kiranya membuka pemahaman tentang peran Roh Kudus yang identik dengan karunia-karunia baru (donum). Dari pihak manusia, ciptaan yang terbatas, pentinglah mengakui keterbatasan pengalamannya akan Allah infinitum, agar ia menjadi lebih terbuka pada misteri pengungkapan diri Allah dalam perjumpaan dengan agama-agama lain. Santo Paulus mengingatkan bahwa kepenuhan Kebenaran baru menjadi sungguh-sungguh terjadi pada zaman akhir (bdk. 1Kor 15: 25). Dimensi eskatologis keselamatan ini mengundang kita mengarahkan pandangan ke realitas yang akan datang, agar keyakinan kita sekarang ini tidak picik. Lagi pula Yesus bukan pribadi eksklusif. Ia adalah kepala dari banyak anggota (Kol 1: 18; Ef. 1: 22).
Penutup
Di tengah realitas keberagaman agama, pencarian orang Kristen akan Kebenaran belum berakhir. Meski demikian, paradigma pencariannya tidak kabur, sebab telah tersingkap dalam wajah Kristus. Dalam perjumpaan dengan agama-agama lain kita bersaksi tentang Allah Bapa sumber kasih yang mengalirkan kehidupan; kita mengakui bahwa Bapa telah mengungkapkan kasih-Nya dalam Kristus; dan akhirnya kita mengimani bahwa oleh kuasa Roh Allah kita masih terus dibarui dengan anugerah yang lebih kaya, sampai kita mengambil bagian dalam kepenuhan Kasih-Nya (consumatio). “Inilah seluruh metafisika kita” (haec est tota nostra metaphysica), tulis Bonaventura, yaitu emanasi, eksemplaritas, dan kepenuhan (de emanatione, de exemplaritate, de consumatione)[39].
Daftar Rujukan
Begasse de Dhaem A., “Cristologia trinitaria e teologia delle religioni. Il ‘triplice’ Verbum in Bonaventura e J. Dupuis”, dalam Gregorianum, 96 (2015), p. 791-817.
Cousins E., Bonaventure and the Coincidence of Opposites, Franciscan Herald Press, Chicago, 1978.
Dupuis, J., Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, Orbis Books, NY., 1997.
Dupuis, J., Christianity and the Religions. From Confrontation to Dialogue, Orbis Books, NY., 2003.
Ganoczy A., Il Creatore Trinitario Teologia della Trinità e sinergia (Italian translation by Carlo Danna), Queriniana, Brescia, 2003.
Greshake G., Il Dio Unitrino Teologia Trinitaria, Queriniana, Brescia, 2008..
Hayes Z., “The meaning of Convenientia in the Metaphysics of St. Bonaventure”, dalam Franciscan Studies, 34 (1974), p. 74-100.
Mathieu L., La Trinità creatrice secondo san Bonaventura, Biblioteca Francescana, Milano, 1994.
Melone M., “La vita in Dio, summa bonitas et caritas, nel mistero della Trinità: il fondamento della comunione e della creazione”, dalam Doctor Seraphicus, 62 (2014), p.7-25.
Osborene, K., The Infinite God and a Finite World. A Franciscan Approach, Franciscan Institute Saint Bonaventure University, NY., 2015.
Opere di San Bonaventura. Sermoni Teologici/1. Il Mistero della Trinità; Itinerario Della Mente in Dio, Città Nuova, Roma, 1993
Opere di San Bonaventura. Sermoni Teologici/1.Collazioni Sull’Exaёmeron, Città Nuova, Roma, 1994.
Works of St Bonaventure (II) [revised and expanded), Itinerarium Mentis in Deum, Franciscan Institute Publications Saint Bonaventure University, NY., 2002.
Works of St Bonaventure (III), Disputed questions on the Mystery of the Trinity, Franciscan Institute Publications Saint Bonaventure University, NY., 2000.
[1] Contoh studi yang pernah dibuat tentang tema serupa: Ewert H. Cousins, Bonaventure and the Coincidence of Opposites, Franciscan Herald Press, Chicago, 1978, khususnya bab IX, hlm. 269-288.
[2] Bdk. Jacques Dupuis, Christianity and the Religions. From Confrontation to Dialogue, Orbis Books, NY, 2003; J. Dupuis, Towards a Christian Theology of Religious Pluralism, Orbis Books, NY., 1997.
[3] Kenan B. Osborne, OFM., The Infinity of God and a Finite World. A Franciscan approach, Franciscan Institute Publications, St. Bonaventure University, NY., 2015.
[4] το ἂπειρον, infinitum, infinite, tak terhingga. Dalam artikel ini kami lebih sering menulis infinitum.
[5] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, ix.
[6] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, xi.
[7] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, xx-xxi, 65.
[8] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, xiv, 2-3
[9] Bdk. K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, 3-6, 18.
[10] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, xxxv; bdk. hlm. 65-82.
[11] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, xxiv-xxv, 1.
[12] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, xiv-xvi.
[13] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, xiv, xxxviii, 95-96.
[14] Myst. Trin., q. 8, resp. ad 7 (V, 115b). Sumber utama karya-karya Bonaventura: Seraphici Doctoris Sancti Bonaventure, Opera Omnia (10 volumes), Studio et Cura PP. Collegii a. S. Bonaventure, Ad Claras Aquas, Quaracchi, 1882-1902.
[15] K. Osborne, The Infinity of God and a Finite World, 102, 116.
[16] I Sent., d. 43., a. u, q. 3. concl. (I, 771b); II Sent., d. 1., a., q. 2. (II, 20).
[17] Myst. Trin., q. 2. a. 2. fund. 6 (V, 64b).
[18] Alexander Ganocxy, Il Creatore Trinitario, Queriniana, Brescia, 2003, hlm. 99.
[19] Myst. Trin., q. 8, concl. (V, 114). M. Melone “La vita di Dio. ‘Summa Bonita et Caritas’, nel Mistero della Trinità”: Il fondamento della comunione della creazione, in Doctor Seraphicus, 62 (2014), hlm. 11.
[20] Cf. Itin., V, 2 (V, 304a).
[21] Itin., VI, 2 (V, 310).
[22] Cf. Luc Mathieu, La Trinità creatrice, Edizioni Biblioteca Francescana, Milano, 1994, hlm. 28.
[23] I Sent., d. 17, p. 1. a.u., q.2 ad 3 (I, 470). Luc Mathieu, La Trinità Creatrice, 73.
[24] I Sent., d. 2, a. 1, q. 2 concl. (I, 54a).
[25] Itin., VI, 2 (V, 311).
[26] Hexaёm., III, 2 (V, 343).
[27] Cf. M. Melone, “La vita di Dio”, 10.
[28] Cf. I Sent., d. 10, a. 1, q. 2, f. 4 (I, 197).
[29] I Sent., d. 10, a. 2, resp. (I, 202).
[30] Itin. VI, 3 (V, 311).
[31] Amury Begasse De Dhaem, “Cristologia trinitaria e teologia delle religioni. Il ‘triplice’ Verbum in Bonaventura e J. Dupuis”, in Gregorianum, 96 (2015).
[32] Bdk. J. Dupuis, Christianity and the Religions. From Confrontation to Dialogue, 140-162; De Dhaem, “Cristologia trinitaria e teologia delle religioni”, 807-808.
[33] De Dhaem, “Cristologia trinitaria e teologia delle religioni”, 803.
[34] Bdk. J. Dupuis, Towards a Christian Theology of Religious Pluralism, 259, 263.
[35] Bdk. Gisbert Greshake, Il Dio Unitrino, Queriniana, Brescia, 2008, hlm. 586.
[36] Bdk. Greshake, Il Dio Unitrino, 593 dst.
[37] Hexaёm., I, 11 (V, 331). Lihat juga Zachary Hayes, The meaning of Convenientia in the Metaphysics of St. Bonaventure, in Franciscan Studies 34 (1974). hlm.74
[38] De Dhaem, “Cristologia trinitaria e teologia delle religioni”, 794.
[39] Hexaёm., I, 17 (V, 332).