Credo Panjang atau Credo hasil Konsili Nikea-Konstantinopel pada tahun 381, memuat iman Gereja Katolik akan Allah Tritunggal Mahakudus. Rumusan iman akan Allah Bapa yang Esa dan akan Allah Putra yang sehakikat dengan-Nya, disusul rumusan iman akan Allah Roh Kudus: “Dan akan Roh Kudus. Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Bapa, yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan” [DH 125-126]. Credo tersebut ditegaskan kembali dalam ajaran Konsili Konstantinopel II pada tahun 553: “Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah Allah Tritunggal yang sehakekat, memiliki kodrat, kekuatan dan kuasa yang satu; bahwa Ia adalah Keallahan dalam Tiga Pribadi” [DH 150][1].
Rumusan dogmatis tersebut nyatanya tidak mengurangi pertanyaan maupun penafsiran tentang misteri Allah Tritunggal, termasuk tentang Roh Kudus. Paper ini membahas beberapa hal tentang Teologi Roh Kudus (Pneumatologi) menurut Jürgen Moltmann (lahir 1926). Paham Pneumatologinya mencakup pendasaran biblis, paham istilah pribadi, tanggapan terhadap polemik filioque, serta penafsiran teologis tentang Allah Trinitas sebagai persekutuan kasih. Buku The Spirit of Life memuat argumentasi Moltmann tentang kodrat Roh Kudus sebagai Pribadi Ilahi, dan bukan sebagai daya anonim atau Pribadi Ilahi yang pasif saja.
1.Tentang Moltmann
Moltmann, salah satu teolog Kristen terkemuka, profesor emeritus dalam bidang Teologi Sistematik di Universitas Tübingen, Jerman. Ia lahir pada 8 April 1926 di Hamburg, Jerman. Pada 1944, pendidikannya terhenti ketika ia direkrut oleh tentara Jerman untuk tugas berperang melawan tentara Inggris. Akan tetapi, ia menyerah kepada prajurit Inggris pada tahun 1945. Selama beberapa tahun berikutnya (1945-1947) Moltmann dipenjara sebagai tahanan perang.
Tahun 1948 ia kembali ke Jerman dan melanjutkan belajar Ilmu Teologi di Universitas Göttingen, di mana dia sangat dipengaruhi oleh Teologi Karl Barth. Pada tahun 1952 ia meraih gelar doktor dari universitas itu di bawah bimbingan Otto Weber, yang membantu mengembangkan perspektif Teologi Harapan. Pada tahun 1967 ia menjadi Profesor Teologi Sistematik di Universitas Tübingen sampai pensiun pada tahun 1994. Karya-karya Motlmann membahas tema Teologi penciptaan, Trinitas, Kristologi, Pneumatologi dan Eskatologi[2].
2.Roh Sumber Hidup Semesta
Dalam Penciptaan peran Roh dimaknai sebagai pemberi atau sumber hidup (the fountain of life/ fons vitae). Berdasarkan teks Kejadian tentang Allah yang meniupkan nafas hidup kepada debu tanah sehingga menjadi makhluk hidup, yaitu manusia (Kej 2: 7), Moltmann meyakini bahwa penciptaan bermula dari kasih Allah (creatio ex amore Dei). Dalam konteks ini ia mengidentikkan peran Roh dengan kasih Allah yang mengandung daya cipta. Dengan memaknai peran Roh secara demikian Moltmann meyakini bahwa dunia telah dilandasi oleh komunikasi diri Allah. Karena itu dunia memiliki dimensi relasional. Buku Moltmann God in Creation ditulis dalam keprihatinan dia akan krisis ekologi yang terjadi oleh karena sikap eksploitatif manusia. Ia mengajak umat Kristen memaknai dunia sebagai sebuah komunitas yang dijiwai oleh satu daya ilahi, yaitu Roh (cosmic Spirit)[3].
Bagi Moltmann Trinitas dan Penciptaan merupakan dua hal yang terkait erat. Alam semesta merupakan jejak Trinitas Ilahi: Allah menciptakan dengan Sabda dan dalam penyertaan Roh. Dalam konteks Pneumatologi ia menekankan peran Roh sebagai daya kreatif yang menjiwai seluruh tatanan semesta. Dalam tradisi Kebijaksanaan, Roh tampil sebagai kekuatan feminim yang menjamin kaharmonisan semesta. Daya yang bersifat kosmik ini, pada Perjanjian Baru tampak dalam penyatuan jemaat, dan penyempurnaan semesta pada zaman akhir (eskatologis)[4].
Menarik untuk dicatat bahwa terkait peran Roh dalam kosmos, Moltmann, sebagai teolog, sampai pada keyakinan bahwa Roh berperan dalam proses evolusi makhluk hidup. Baginya evolusi bumi, dari wujud paling sederhana menuju yang paling kompleks, sebagaimana diyakini para saintis, dapat dimengerti secara teologis juga. Moltmann meyakini bahwa tujuan evolusi semesta adalah persekutuan (the goal of evolution is community): elemen partikel, atom, molekul, sel makro molekul, organisme multi-sel, organisme hidup, populasi organisme, makhluk hidup, hewan, perkembangan dari hewan menuju manusia tegak, manusia, populasi manusia, komunitas manusia. Dan lebih lanjut dalam diri manusia, adanya kesadaran (consciousness) dimaknai sebagai peran Roh dalam diri manusia[5].
3.Yesus bersatu dengan Bapa dalam Roh Kudus
Kesaksian Injil tentang relasi istimewa antara Yesus dan Allah Bapa, yang dipanggil-Nya Bapa (Abba), memperlihatkan bahwa relasi itu tidak terlepas dari peran Roh Kudus, yang merupakan Roh Bapa (Mat 10: 20; 12: 28) dan Roh Yesus juga (Yoh 14: 26; 16: 7, 14).
Penginjil Lukas melukiskan bahwa penyertaan Roh kepada Putra (Logos) terjadi sejak Sabda dikandung dalam rahim Maria. “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau” (Luk 1:35). Sebelum Yesus menjalani misi mesianik di dunia, Roh Kudus selalui menyertai-Nya. Di sini sudah tampak bahwa peristiwa Yesus dikandung Maria sudah memperlihatkan ciri trinitaris karya penyelamatan Allah.
Figur Tiga Pribadi Ilahi dinyatakan dengan lebih jelas pada pembaptisan Yesus di sungai Yordan, di mana Putra melihat langit terbuka dan Roh seperti burung merpati ‘turun ke atas-Nya’ (Mrk 1: 10), serentak mendengar suara Bapa yang memanggil-Nya sebagai ‘Anak yang terkasih’ (Mrk. 1: 11). Langit terbuka merupakan simbol ungkapan diri Allah. Misteri relasi kesatuan antara Bapa dan Putra dan Roh Kudus tampak jelas. Peristiwa baptis menggemakan nubuat Yesaya tentang hamba Yahweh: “Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa” (Yes 42:1ss; 61, 1)[6].
Kesaksian Injil Markus (bdk. Mat. 3: 13-17; Luk. 3: 21-22) tentang baptis Yesus menegaskan dua hal: 1) Peran istimewa Kristus dalam sejarah keselamatan, berdasarkan relasi-Nya yang intim dengan Abba. Tidak ada tokoh manapun yang memiliki kualitas relasi dengan Allah yang sebanding dengan-Nya. 2) Relasi istimewa antara Anak dan Bapa tidak terlepas dari peran atau kehadiran Roh Kudus. Roh Kudus hadir secara tetap dalam Yesus: Roh ‘turun ke atas Dia’ (Luk 3: 22), ‘tinggal di atas-Nya’ (Yoh 1: 32), ‘turun dan tinggal di atas-Nya’ (1:33). Berkat kehadiran dan penyertaan Roh, relasi kesatuan antara Bapa dan Putra terwujud secara penuh. Roh Kudus berperan sebagai penyelaras atau penyempurna relasi antara Bapa dan Putra[7].
Dalam adegan pembaptisan identitas keputraan Yesus tersingkap: Ia adalah Anak dari Bapa, yang disertai oleh Roh Kudus. Dengan penegasan identitas dan kualitas diri itu Yesus mengawali misi-Nya, menjalankan tugas mesianik yang dipercayakan Bapa, yaitu mewartakan Kerajaan Allah bagi manusia, dalam bimbingan Roh Kudus. Adegan baptis di sungai Yordan, memperlihatkan jawaban ya tanpa syarat dari Putra untuk melaksanakan kehendak Bapa[8].
Dan Roh ‘turun ke atas-Nya’, artinya Roh itu menyatukan kehendak Anak dan Bapa, sehingga seluruh karya pelayanan Anak merupakan ungkapan dari ketaatan total dan kesatuan yang erat dengan kehendak Bapa. Misi Yesus di dunia merupakan cara berada-Nya sebagai ‘Anak yang dikasihi Bapa’. Dapat dikatakan bahwa “diri pribadi Yesus identik dengan misi-Nya; Dia adalah misi Allah”. Yang terjadi dalam pembaptisan bukan sekedar penyerahan tugas dari Bapa kepada Putra, melainkan manifestasi kesatuan erat antara keduanya dalam ikatan Roh yang satu dan sama. Menarik untuk dicatat bahwa momen ketika Roh Kudus turun ke atas Yesus pada persitiwa baptis, oleh penginjil Lukas dirumuskan sebagai perkenanan Bapa: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Luk 3: 22)[9].
Roh yang menyertai Putra sejak Ia dikandung Maria, yang turun pada waktu pembaptisan, dan yang selalu menyertai karya pelayanan-Nya, pada peristiwa salib digambarkan sebagai persembahan diri Putra kepada Bapa. Dalam surat kepada orang Ibrani dikatakan bahwa kurban darah Kristus merupakan wujud persembahan diri-Nya yang tak bercacat kepada Allah, “oleh Roh yang kekal” (Ibr 9: 14). Kristus mampersembahkan diri-Nya secara total oleh daya Roh yang kekal. ‘Oleh daya Roh’ artinya yang dipersembahkan Yesus kepada Bapa itu bukan hanya sebagian tetapi seluruh diri-Nya. Itulah persembahan yang sempurna kepada Bapa.
Sebagaimana dipaparkan Bordoni[10], teks-teks Perjanjian Baru seperti Yoh 19: 30 (bdk. Mat 27: 50, Mrk 15: 33, Luk 23: 46), memberi makna mendalam tentang totalitas ketaatan Putra kepada Bapa dalam Roh. Di salib, “sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai’. Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya”. Menyerahkan nyawa (paredoken to pneuma) artinya: menyerahkan Roh-Nya, artinya seluruh eksistensi-Nya, seluruh potensi dan kuasanya, seluruh daya kekuatan-Nya, kepada Bapa.
Jika pada peristiwa baptis, Roh turun ke atas Yesus, dan karena itu Ia berkenan bagi Bapa, kini di salib, Roh itu dihembuskan Kristus. Roh yang dihembuskan Putra di salib itu mendapat kualitas yang baru, yaitu Roh kasih yang menyatukan Bapa dan Putra. Roh yang telah menyertai Yesus selama hidup-Nya kini dikurbankan sebagai bentuk ketaatan yang total, ungkapan kesatuan diri yang utuh dengan kehendak Bapa. Roh Kudus yang merupakan wujud kasih Bapa kepada Putra kini dipersembahkan kembali oleh Putra kepada Bapa. Di sini Roh Kudus dimaknai sebagai “persembahan yang dipersembahkan secara utuh”.
Dengan melihat peristiwa salib Yesus Kristus, Moltmann merefleksikan peran dan daya Roh Kudus. Baginya pada salib, Putra merasa sendiri, karena Allah Bapa meninggalkan Allah Putra (Anak-Nya terkasih, yang kepada-Nya Bapa berkenan). Dengan lebih tegas Paulus melukiskan bahwa pada salib tampak bahwa “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa” (2Kor 5: 21) dan “menjadi kutuk karena kita” (Gal. 3: 13). Di salib Yesus tampak menjadi Allah yang ditinggalkan dalam kesendirian, dan Ia pun menyerah kalah[11].
Di balik kesan itu sesungguhnya Putra berserah diri secara total kepada Bapa. Seruan Putra yang tampak ditinggalkan Bapa, oleh Moltmann dimaknai sebagai totalitas penyatuan diri-Nya dalam Dia yang mengasihi-Nya[12]. Melalui kematian-Nya Putra mempersempahkan kasih yang utuh kepada Bapa. Keduanya sekarang bersatu dalam kesatuan kodrat yaitu kasih ilahi. Maut – sebagai bentuk paling radikal penderitaan manusia – tampak memisahkan mereka, namun kekuatan kasih menyatukan mereka kembali. Kedunya sekarang bersatu dalam Roh, yaitu kasih yang telah diberikan Bapa kepada Putra sejak semula dan sekarang oleh Putra dipersembahkan kepada Bapa. Roh adalah kasih Ilahi yang mengalahkan maut.
Di salib tampak peran Roh Kudus sebagai kasih yang menyatukan Bapa dan Putra. Oleh karena itu Molmann melihat kaitan erat antara Teologi salib dan Teologi Trinitas. Baginya: “Teologi Salib adalah doktrin Trinitas dan sebaliknya doktrin Trinitas adalah Teologi Salib”[13]. Pada salib Kristus, tampak jelas bahwa Allah yang berpihak pada keselamatan dunia adalah Allah Tritunggal. Persekutuan Tritunggal menjadi dasar harapan bagi umat manusia.
Allah Bapa telah membangkitkan Putra dari maut; Dialah penyebab kebangkitan Yesus: “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis 2: 36). Namun tindakan-Nya itu terlaksana oleh daya Roh, karena itu tidak dapat dimengerti tanpa peran Roh. Dalam konteks ini Paulus mengatakan bahwa Roh Dia (Bapa) telah membangkitkan Yesus (Rom 8: 11). Yesus yang bangkit, sekarang hidup oleh daya Roh.
Dengan kebangkitan, daya Roh Bapa kini nyata dalam kejayaan Anak-Nya, karena itu Bapa dimuliakan. Kini Kristus hidup secara baru yaitu hidup oleh ‘Roh yang menghidupkan’ (1Kor 15: 45). Dengan Paskah, hidup Kristus adalah hidup Roh, dan kemuliaan Kristus adalah kemuliaan Roh[14]. Paulus menyakinkan jemaat di Korintus “bahwa tidak ada seorang pun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: ‘Terkutuklah Yesus!’ dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku ‘Yesus adalah Tuhan’, selain oleh Roh Kudus (1Kor 12:3).
Peristiwa Paskah menegaskan bahwa Roh menampilkan ciri teosentris: Ia tidak berada di luar Pribadi Ilahi yang lain, bukan pula sebuah daya anonim, melainkan di dalam mereka. Peran Roh menegaskan kualitas mesianik Yesus: Dengan Paskah terjadi pneumatisiasi Yesus, artinya kemanusiaan Yesus kini dimuliakan dalam Roh. “Karena sekalipun Ia telah disalibkan oleh karena kelemahan, namun Ia hidup karena kuasa Allah” (2 Kor 13:4).
Peristiwa Paskah juga menegaskan bahwa kini Yesus hidup penuh Roh; Ia dibenarkan oleh Allah, dan kini ada sebagai Tuhan, Anak Allah. Dan dengan demikian Roh Kudus adalah Roh Kristus (Rm 8:9), dan Roh Anak (Gal 4:6); oleh daya Roh, komunikasi antara Bapa dan Putra menjadi komunikasi sempurna: Mereka adalah satu Roh/Anima, satu kehendak, satu kasih. Dalam ikatan relasi kasih itu, Roh Allah ada di dalam Kristus dan bekerja melalui Kristus, sedangkan Kristus hidup dan bekerja melalui Roh Allah[15].
- Jaminan Hidup Jemaat
Teks-teks biblis tentang kebangkitan Yesus oleh daya Roh Kudus itu juga menjadi dasar bagi Moltmann untuk memaknai peran dan kodrat Roh Kudus. Yesus bangkit oleh daya Roh yang menghidupkan [creative Spirit] (Rm 1: 4; 8: 11; 1 Ptr 3: 18; 1Tim 3: 16).
Dengan kebangkitan Yesus menjadi Adam Baru, sebab sekarang Ia hidup oleh Roh (1Kor 15: 45). Peran Roh dalam Kebangkitan Yesus mengantisipasi sebuah kepenuhan bagi manusia (1Kor 1: 22). Roh merupakan karunia sulung yang menjamin pembaruan tubuh manusia menjadi anak Allah (Rm 8: 23). Dengan kemuliaan kebangkitan, baptisan umat beriman dimaknai sebagai meterai hidup baru. Sebab Allah yang telah memuliakan Yesus, juga akan mengikutsertakan manusia dalam kemuliaan-Nya (Rm 1: 64; 1Kor 6: 14).
Dengan kata lain, bagi Moltmann, peristiwa Paskah berciri trinitaris: Bapa membangkitkan Putra dalam Roh. Dan berkat daya Roh Kudus, kemuliaan Tuhan terbuka bagi umat beriman: “Bapa membangkitkan Putra melalui Roh; Bapa mewahyukan Putra melalui Roh; dan Putra diangkat menjadi Tuhan atas kerajaan-Nya oleh daya Roh Kudus”[16].
Moltmann menunjuk beberapa teks Surat Paulus di mana Roh diidentikkan dengan Tuhan: “Sebab Tuhan adalah Roh” (2Kor 3: 17). Roh Kudus adalah Roh Allah (Rm 8: 9, 11,14; 1Kor 2: 11, 14), dan Allah adalah sumber asal Roh (bdk. 1Yoh 4: 1). Yesus yang bangkit menghembuskan Roh Kudus kepada para murid (bdk Yoh 20: 21). Melalui Kristus yang telah bangkit Tuhan menghembuskan Roh (Titus 3: 5)[17]. Dalam Injil Yohens kita juga menemukan frase ‘Allah itu Roh’ (Yoh 4: 24), mirip dengan pernyataan ‘Allah adalah kasih’ (1 Yoh 4: 8). Tegasnya, Roh Kudus dalam persekutuan Trinitas bukan sekedar sebuah energi yang anonim atau abstrak, melainkan Pribadi Ilahi sebagaimana Bapa dan Putra.
Penginjil Yohanes juga menampilkan peran Roh Kudus bukan hanya sebagai sebuah energi spiritual, melainkan sebagai Pribadi Ilahi dalam persekutuan Trinitas. Sebagai Pribadi Ilahi, daya Roh memungkinakn kesatuan antara Allah dan umat manusia. Yoh. 15:26: “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa”. Roh kebenaran yang diutus oleh Putra kepada jemaat itu, berasal dari Bapa.
Yoh. 14:26: “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu. Ia akan bersaksi tentang Aku”. Tekan dari teks ini ialah bahwa Roh datang dari Bapa melalui Putra[18].
Moltmann menunjuk pula beberapa teks Perjanjian Baru sebagai pendasaran peran Roh sebagai pengikat kesatuan jemaat beriman[19]: a] Roh Kudus merupakan daya ilahi yang membarui seorang Kristen: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh. 3:5). Orang yang dibaptis dalam Roh diubah menjadi ciptaan baru (bdk. 2Kor 5: 17).
Roh juga berperan b] sebagai penyatu jemaat. Keberagaman dalam jemaat tidak menimbulkan perpecahan berkat Roh yang satu dan sama (Gal. 3: 28; Kis 4: 31-35). c] Dalam daya Roh yang satu dan sama, keberagaman karunia dalam diri jemaat disatukan (bdk 1Kor 12). d] Daya Roh yang sifatnya menyatukan itu menjadi dasar keyakinan bahwa jiwa (anima) manusia akan bersatu pula dengan Roh Allah, sehingga ia menjadi anak Allah (bdk. Rm 8: 16). Roh yang telah menghidupkan Kristus pada Pasakah, akan membangkitkan pula manusia dari kematian (bdk 1Kor 6: 14), mengubah penderitaan manusia menjadi kemuliaan (bdk Rm 8: 23).
4. Problem Filioque (dan Putra)
Injil dan ajaran Gereja menjadi dasar bagi Gereja Katolik Roma untuk meyakini bahwa Roh Kudus datang bukan hanya dari Bapa melainkan dari Bapa dan Putra (Filioque). Asal mula Roh adalah Bapa. Namun mengingat bahwa Bapa adalah Bapa dari Putra, maka harus dikatakan bahwa Roh Kudus mengalir dan Bapa (dan Putra)[20]. Frase dan Putra sebenarnya tidak ada dalam rumusan Credo Nikea-Konstantiopel, tetapi ditambahkan kemudian oleh Gereja Barat. Alasan penambahan ialah untuk menangkal bidaah Arianisme yang menyangkal kodrat ilahi Yesus Kristus. Filioque mengandung keyakinan bahwa Roh Kudus mengalir pula dari Putra, Pribadi Ilahi yang bersama Bapa mengalirkan Roh Kudus[21].
Et in Spiritum Sanctum, Dominum et vivificantem, qui ex Patre (Filioque) procedit, qui cum Patre et Filio simul adoratur et glorificatur, qui locutus est per prophetas. | Dan akan Roh Kudus. Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Bapa (dan Putra), yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan. Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. |
Penambahan kata Filioque itu, mula-mula muncul dan berkembang di Gereja Spanyol, lalu secara politis juga didukung Raja Charles I (742-814); dan terus diperteguh oleh Paus Benediktus VIII, sehingga menyebabkan pemisahan (skisma) antara Gereja Katolik Barat dan Timur. Gereja Timur menolak kata filioque, sebaliknya Gereja Barat menerimanya dan semakin teguh pada Sinode Lion 1274 dan Konsil Firenze 1438-1445[22].
Bagi Gereja Barat penambahan ini bukan untuk mengatakan ada dua prinsip pertama dalam Trinitas. Tentu yang menjadi Prinsip Pertama adalah Bapa sendiri. Meski demikian peran Allah Bapa itu tidak identik dengan monarkianisme, sebab mengandaikan peran Putra pula. Bagi Gereja Roma, sebagaimana diyakini bahwa Bapa melahirkan Putra dengan daya Roh Kudus (Spirituque), demikian pantas diyakini pula bahwa Roh Kudus datang dari Bapa dan Putra (Filioque). Jadi tujuan utama penambahan kata filioque oleh Gereja Barat ialah menegaskan iman yang sama akan Allah yang Esa, sebagaimana diakui pula oleh Gereja Timur[23]. Bagi Gereja Barat, peran Bapa sebagai sumber asal Roh Kudus tidak dapat dipisahkan dari Putra, sebab hanya dari Putra lah kita menyebut Pribadi Pertama sebagai Bapa. Jadi Putra ikut berpartisipasi dengan Bapa sebagai sumber yang mengalirkan Roh Kudus[24].
Rumusan dogmatis (Nikea-Konstantinopel) sendiri memang tidak bermaksud menimbulkan polemik. Tujuan utama Konsili ialah menekankan keilahian Roh Kudus sebagai Pribadi Ilahi dalam Trinitas, melawan bidaah Pneumatomachian yang menyangkal keilahian Roh Kudus, karena memandangnya hanya sebagai sebuah energi ilahi yang anonim. Jadi perbedaan pandangan antara Gereja Barat dan Timur itu bukan dua Dogma yang bertentangan, tetapi dua interpretasi yang dapat saling melengkapi[25]. Perbedaan tekanan antara pandangan Gereja Timur dan Barat dalam memahami asal Roh Kudus merupakan ‘perbedaan sensibilitas dan perspektif’[26] yang justru dapat saling memperkaya. Kesimpulan: kata filioque mendorong para teolog untuk terus menafsirkan asal dan peran Roh Kudus dalam Trinitas dengan lebih tepat.
5. Pneumatologi Trinitaris (A Trinitarian Pneumatology)
Moltmann mencatat bahwa dalam tradisi Gereja, Roh Kudus disimbolkan secara beragam: energi ilahi, angin, api, cahaya, air dan sebagainya. Simbol-simbol itu menunjukkan kekayaan peran Roh Kudus. Mengingat kekayaan itu, ia meyakini bahwa kita dapat mengenal karya Roh Kudus tidak hanya melalui refleksi teologis, tetapi terutama juga dari pengalaman. Tentu saja harus diingat bahwa apa yang kita alami itu bukan dampak dari gerak Roh Kudus sendiri saja sebagai individu ilahi. Karena itu Moltmann menegaskan bahwa Pneumatologi yang ia anut ialah sebuah Pneumatologi Trinitarsi (a Trinitarian Pneumatology)[27].
- Reflaksi Teologis
Moltmann meyakini bahwa asal-mula Roh Kudus ialah Allah Bapa (Yoh. 15: 26), bukan dari Putra. Allah Bapa adalah sumber dan asal Putra dan Roh Kudus: Bapa yang melahirkan Putra dan menghembuskan atau mengalirkan Roh Kudus. Di satu pihak, Bapa adalah Pribadi Pertama yang tidak bergantung pada Pribadi lain. Di lain pihak – sebagaimana ditafsirkan Gereja Barat – dalam mengalirkan Roh Kudus itu, peran Bapa melibatkan Putra sebagai pengantara (per Filium) yang sejak kekal ada bersama Bapa. Peran Bapa dalam mengalirkan Roh Kudus tidak bersifat monarkis tetapi relasional, yaitu dalam relasi dengan Putra yang lahir dari-Nya. Dalam konteks ini Gereja Barat meyakini bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa (dan Putra)[28].
Seorang teolog Gereja Timur dari Rusia, Vasilii Bolotov (1854-1900) menganjurkan frase ‘Roh Kudus berasal dari Bapa dari Putra’ (The Holy Spirit who proceeds from the Father of the Son) untuk menjembatani perbedaan tafsiran antara Gereja Timur dan Barat. Frase Bolotov itu kiranya dapat berbunyi Roh Kudus berasal dari Bapa yang berputra.
Moltmann berusaha mengatasi model intepretasi yang terjebak dalam bahaya monarkianisme (Hanya Bapa Pribadi Ilahi, dua Pribadi lain sebagai subordinasi Bapa) atau sebaliknya triteisme (ada tiga individu ilahi yang mandiri dan berbeda). Baginya, Roh Kudus diutus Bapa dan melalui Putra (and by the Son). Karena itu Ia adalah Roh Bapa dan Roh Putra. Dari Bapa Ia memperoleh eksistensi diri ilahi yang sempurna, sedangkan dari Putra ciri relasionalnya. Asal dan peran yang demikian itu menunjukkan bahwa Roh adalah Pribadi Ilahi, bukan semacam suatu ciptaan super[29] dan Roh itu adalah Roh yang menghidupkan (1Kor 15: 45)[30].
Allah Bapa ialah Pribadi dari mana Putra dan Roh Kudus berasal. Allah Putra ialah Pribadi yang memberi kesaksian tentang Bapa dan Roh Kudus. Roh Kudus ialah Pribadi Ilahi, yang di dalam-Nya kasih Bapa dan Putra menyatu secara sempurna (share-love). Bapa adalah Pencipta, tidak dilahirkan; Putra dilahirkan, tetapi tidak melahirkan; Roh Kudus berasal dari Bapa, mendapat eksistensinya sebagai Pribadi dan kodrat ilahi-Nya dari Bapa yang berputra. Tiap Pribadi Ilahi memiliki peran khas namun berkaitan satu sama lain: Bapa adalah sebab awal, Putra sebagai Pengantara, dan Roh Kudus sebagai Penyatu keduanya. Roh Kudus berasal dari Bapa (yang berputra), dan menerima kodrat Pribadi-Nya dari Bapa serta Putra[31].
- Pengalaman Jemaat[32].
Moltmann mendasarkan diri pada teks 2Kor 13:13, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian”. Ini merupakan salam penutup dari Paulus kepada jemaat Korintus. Peran Roh dikaitkan dengan kata persekutuan (koinonia). Kata ini menunjuk peran Roh di dalam persekutuan Trinitas Ilahi (penyatu kasih karunia Bapa dan Putra) maupun kepada jemaat, yaitu sebagai Pribadi Ilahi yang menyatukan, yang memberi kemungkinan bagi setiap pihak untuk mengambil bagian. Berbicara tentang mengambil bagian mengandaikan keberagaman, dan setiap pihak mau turut serta dalam kesatuan dengan bebas, tanpa suatu obsesi atau kepentingan.
Aspek pengalaman ini juga mengacu pada doa Yesus sendiri kepada Bapa, agar para murid-Nya boleh mengambil bagian dalam kesatuan antara Bapa dan Putra: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita” (Yoh 17: 21). Doa Yesus itu terwujud bagi para murid sebagai pengalaman akan daya Roh yang menyatukan jemaat. Dalam sebuah communio kita tidak lagi mengutamakan individu saja, melainkan individu yang ditempatkan dalam relasi dengan seluruh anggota. Dalam sebuah komunitas, setiap pribadi memainkan peran yang khas, namun kekhasannya itu sekaligus merupakan hadiah atau pemberian bagi pribadi lainnya.
Dengan peran Roh Kudus sebagai Pribadi Ketiga dalam Trinitas, sisi unitarian dan trnitarian bukan lagi dua hal bertentangan, melainkan saling melengkapi. Prinsip tersebut menjadi dasar bagi kesatuan jemaat (Gereja): Dalam koinonia atau communio, pribadi bukan lawan melainkan bagian dari yang komunal. Dalam konteks ini, Moltmann menerima keyakinan tradisional Gereja bahwa manusia adalah gambaran dan rupa Allah Trinitas (imago Trinitatis). Bahkan ketika ketika kita berbicara tentang manusia sebagai pribadi, kita sudah mengandaikan bahwa keberadaannya sudah selalu melibatkan orang lain. Manusia makhluk sosial.
6. Makna Kata Pribadi
- Makna Etimologis
Istilah pribadi digunakan dalam rumusan dogmatis iman Katolik akan Allah Trinitas dalam Credo: Allah Trinitas itu Tiga Pribadi Ilahi dalam satu Kodrat. Kata pribadi memiliki sejarah pengertian dan penafsiran panjang dalam pemikiran Filsafat dan Teologi. Di era modern, kata tersebut menjadi sebuah diskusi pula, sebab mudah saja disamakan dengan kata individu, yang oleh orang modern dimengerti sebagai subjek mandiri yang menentukan diri sendiri.
Untuk menghindari kekeliruan seperti itu, Moltmann[33] berusaha menjelaskan perkembangan definisi dan tafsir atas istilah tersebut untuk menunjukkan bahwa, dengan pemahaman yang tepat tentang etimologi kata pribadi serta pemaknaannya sebagai istilah teknis dalam konteks Teologi Trinitas, kita akan terbantu untuk memahami maknanya dalam konteks Trinitas.
Kata pribadi (bahasa Yunani prόsopon) berarti topeng (dalam dunia teater), dan dikaitkan dengan peran suatu individu sebagai wajah yang menampilkan situasi sosial kemasyarakatan. Sinonim dari kata prόsopon ialah hypόstasis. Istilah terakhir ini menjadi istilah teknis dalam Teologi Trinitas. Dalam tradisi Latin, kata tersebut diterjemahkan dengan istilah persona.
- Definisi Boethius
Tokoh terkemuka yang merumuskan definisi istilah persona ialah Severinus Boetius (475/477-524/526), seorang pejabat senator dari Roma. Menurutnya, “Persona proprie dicitur naturae rationalis individua substantia” (PL 64, 1343 C)[34]. Person properly means an individual substance of rational nature. Bagi Boethius, persona merupakan sebuah substansi individual dari kodrat yang rasional. Boethius memahami persona sebagai kodrat rasional yang khusus, berdiri sendiri, otonom. Baginya, individu merupakan elemen utama dari suatu pribadi.
Definisi Boethius ini sangat berpengaruh bagi pandangan Filsafat modern tentang manusia sebagai subjek yang bebas dalam menentukan dirinya, terutama berdasarkan kemampuan berpikir secara rasional. Sebaliknya dalam dunia Teologi, definisi itu dipandang kurang memadai untuk diterapkan bagi paham pribadi dalam konteks Teologi Trinitas, karena lebih menekan ciri individu yang mandiri tetapi kurang memberi tempat pada ciri relasional.
- Definisi Rikard dari Santo Viktor
Dalam tradisi Teologi Gereja Latin, definisi yang dipandang lebih cocok untuk Teologi Trinitas ialah definisi yang dibuat oleh Rikard dari Santo Viktor (†1173). Menurut Rikard, persona divina est divinae naturae incommunicabilis existentia[35], an incommunicable existence of the divine nature. Pribadi ilahi adalah sebuah eksistensi kodrat ilahi yang tak tersembunyi atau tak tergantikan. Elemen terpenting dari definisi Rikard ialah kata eksistensi. Adapun istilah Latin existere terdiri dari kata ex dan sistere. Kata sistere menunjuk cara berada suatu pribadi atau individu; sedangkan kata ex menunjuk relasi (kergantungan) pada pribadi lain.
Rikard menekankan bahwa elemen yang menentukan keberadaan persona ialah relasi dengan asal-muasalnya: satu Pribadi Ilahi tidak melulu berada dari dan bagi dirinya. Paham Rikard tentang persona memberi tempat bukan hanya tentang relasi antara dua pihak (hubungan timbal balik), tetapi juga dimensi ke tiga yang mendasari relasi timbal balik[36]. Jadi bagi Rikard, keberadaan setiap Pribadi Ilahi sudah selalu mengandaikan relasi dengan Pribadi lain.
Rikard menggambarkan kasih Allah dengan istilah caritas (charity-love, kasih tanpa pamrih). Baginya, “kasih dalam arti kata sebenarnya bukan cinta diri yang eksklusif. Kasih mengandaikan adanya orang lain yang dikasihi. Sebab jika tidak ada pluralitas pribadi, tidak terjadi kasih”[37]. Kasih timbal-balik antara dua Pribadi Ilahi disatukan dengan kasih yang tidak egois, tidak cemburu, tidak menuntut balas. Kasih timbal balik (dilectio) disempurnakan oleh Pribadi Ketiga sebagai penyempurna sehingga terwujud communio Trinitas.
Dengan logika berpikir seperti itu Rikard sampai pada kesimpulan bahwa: dalam Roh Kudus kasih antara Bapa dan Putra menjadi kasih bersama (condilectio, co-love). Roh menyempurnakan sukacita kasih. Kasih sempurna mengandaikan tiga Pribadi Ilahi: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Bagi Rikard “kita berbicara tentang kasih bersama (condilectio) ketika terdapat Pribadi Ketiga yang dicintai secara bersama oleh dua Pribadi lain dalam keharmonisan dan dengan Roh yang sama”[38].
7.Beberapa Kesimpulan
Berbagai Nama untuk Roh Kudus. Moltmann mencatat berbagai nama yang diberikan untuk Roh Kudus. Teks-teks Perjanjian Baru menempatkan sifat kudus hanya pada Roh, menjadi Roh Kudus. Kata ‘roh’ disematkan pada dua Pribadi lainnya: Roh Allah dan Roh Putra. Agustinus memahami Roh Kudus sebagai vinculum caritatis (kasih yang menyatukan) atau donum amborum (anugerah keduanya: Bapa dan Putra). Rikard dari Santo Viktor menggunakan kata condilectio untuk menunjukkan peran Roh sebagai pengikat kasih Bapa dan Putra .
Kodrat Roh Kudus. Moltmann berusaha menunjukkan asal dan peran Roh sebagai Pribadi Ilahi, bukan sebuah energi anonim. Sebagai Pribadi Ilahi, Roh berasal dari Bapa dan Putra, dan kerena itu menjadi pengikat antara kasih Bapa dan Putra. Dengan peran itu Roh Kudus dimaknai pula sebagai Pangkal Karunia yang menjadi sumber sekaligus penyatu jemaat memiliki beragam karunia Roh. Daya penyatu yang mengalir dari Roh Kudus telah tampak sejak penciptaan. Roh adalah daya cipta yang menjiwai keharmonisan alam semesta.
Tiga Pribadi dalam Persekutuan. Ketiga Pribadi Ilahi itu satu kodrat, yaitu kodrat ilahi; ketiga Pribadi Ilahi itu setara, tetapi “tidak homogen”[39]. Peran satu Pribadi mengandaikan Pribadi lain, karena mereka satu dalam kasih dan kehendak. Pada mereka terjadi sebuah communio sempurna. Karena itu, keyakinan bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putra (Filioque) tidak terlepas dari keyakinan bahwa Putra berasal dari Bapa dan Roh Kudus (Spirituque)[40]. Dengan kata lain, dalam Teologi Trinitas, refleksi tentang asal dan kordat Allah Putra (Kristologi) dan Allah Roh Kudus (Pneumatologi) merupakan satu-kesatuan.
Roh Kudus adalah Kasih yang Menyatukan. Sebagai Pribadi Ilahi Ketiga, daya Roh Kudus menyatukan kedua Pribadi pertama, dan dengan demikian menjadikan relasi kasih Tiga Pribadi Ilahi sebagai persekutuan atau communio sempurna, sebuah persekutuan tak terperikan[41].
“Dari kekal Roh Kudus menyertai Putra agar Ia tinggal dalam Bapa dan mengungkapkan Bapa melalui diri Putra. Roh adalah cahaya kekal yang memungkinkan Bapa mengenal Putra dan sebaliknya Putra mengenal Bapa. Dalam Roh Kudus kehidupan ilahi yang kekal mencapai kesadaran diri-Nya, sehingga memantulkan wujud-Nya yang sempurna. Dalam Roh Kudus kehidupan ilahi menjadi sebuah kesadaran akan kehindahan-Nya yang kekal. Melalui Roh Kudus kehidupan ilahi yang kekal menjadi sebuah perjamuan rahasia Trinitas”[42].
Catatan Penutup
Berdasarkan pendasaran biblis, pandangan para Bapa Gereja, ajaran Konsili, sebagaimana dikemukakan Moltmann, kita dapat menegaskan bahwa Roh Kudus adalah Pribadi Ilahi. Sebagaimana dirumuskan dalam Kredo: Ia Tuhan yang menghidupkan (Dominum et vivificantem). Dalam refleksi teologis diyakini bahwa Roh adalah kasih yang menyatukan Bapa dan Putra. Bapa adalah sumber asal kasih; Putra adalah penerima kasih Bapa; Roh Kudus adalah kasih yang mempersatukan Bapa dan Putra atau kasih bersama (share-love) Bapa dan Putra. Roh Kudus menjadikan kasih Bapa dan Putra utuh dan sempurna.
Berdasarkan pengalaman hidup konkret, dalam tindakan kasih, yang terjadi ialah ada pihak pemberi dan penerima. Dan yang menyatukan keduanya adalah kasih itu sendiri. Kasih sejati merangkul tiga tindakan: memberi, menerima, berbagi. Roh Kudus menggerakkan kita untuk membagikan lagi kasih karunia yang telah kita peroleh, agar semakin banyak orang mengalami kasih. Ciri utama kasih dalam kekuatan Roh ialah berbagi (share). Dalam daya Roh, kasih sejati tidak hanya bersifat timbal balik saja, tetapi menjadi sempurna dalam pengurbanan.
[1] Bdk. Niko Dister, Teologi Sistematika I, Kanisius, Yogyakarta, 2004, hlm. 143-146.
[2] Tema-tema teologis itu tampak dalam judul beberapa karya Moltmann: Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian Eschatology (1965),The Crucified God(1972),Man(1974),The Church in the Power of the Spirit(1975),The Trinity and the Kingdom of God(1980),God in Creation(1985),The Way of Jesus Christ(1989),The Spirit of Life(1991).
[3] Bdk. Moltmann, God in Creation, SCM Press, Michigan, 1985, hlm. 10-17.
[4] Bdk. Moltmann, God in Creation, 98-100.
[5] Bdk. Moltmann, The Spirit of Life, Fortress Press, Minneapolis, 1992, 226-230.
[6] Bdk. M. Bordoni, La Cristologia nell’orizzonte dello Spirito, Queriniana, Roma, 1995, hlm. 47.
[7] Bdk. M. Bordoni, La Cristologia nell’orizzonte dello Spirito, 48.
[8] Bdk. P. Coda, Dalla Trinità. L’avvento di Dio tra storia e profezia, CN., Roma, 2011, hlm. 222.
[9] Bdk. Ivan Salvadori, L’autocoscienza di Gesù, Città Nuova, Roma, 2011, hlm. 206, 217.
[10] Bdk. M. Bordoni, La Cristologia nell’orizzonte dello Spirito, 248-249.
[11] Bdk. Moltmann, The Crucified God, Frotress Press, Minneapolis, 1993, hlm. 241-243.
[12] Bdk. Moltmann, The Crucified God, 244-245.
[13] Moltmann, The Crucified God, 241.
[14] Bdk. M. Bordoni, La Cristologia nell’orizzonte dello Spirito, 251-252; F. Xavier Durrwell, La Risurrezione di Gesù. Mistero di Salvezza, Città Nuova, Roma, 1993, hlm. 75-78.
[15] Bdk. M. Bordoni, La Cristologia nell’orizzonte dello Spirito, 253-254.
[16] Bdk. Moltmann, The Trinity and the Kingdom, Frotress Press, Minneapolis, 1980, hlm. 88.
[17] Bdk. Moltmann, The Trinity and the Kingdom, 122-124.
[18] Moltmann, The Trinity and the Kingdom, 70.
[19] Bdk. Moltman, God in Creation, 99-101.
[20] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 183-184.
[21] Bdk. Nicolo Mandonia, Cristo Sempre Vivo nello Spirito, EDB, Bologna, 2005, hlm. 95-196.
[22] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 178-179.
[23] Bdk. Nicolo Mandonia, Cristo Sempre Vivo nello Spirito, 197-199.
[24] Bdk. Moltman, The Spirit of Life, 306.
[25] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 181.
[26] P. Coda, Dalla Trinità, 389.
[27] Bdk. Moltman, The Spirit of Life, 10-14.
[28] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 182-183.
[29] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 185-186.
[30] Bdk. Moltman, The Spirit of Life, 271.
[31] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 185-187.
[32] Bdk. Moltman, The Spirit of Life, 217-221.
[33] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 171-176.
[34] Andrea Milano, Persona in Teologia. Alle origini del Significato nel Cristianesimo antico, Edizione Dehoniane, Roma, 1996, hlm. 14.
[35] The Trinity, IV, 22. Versi bahasa Inggris mengikuti Richard of Saint Victor, The Trinity (English translation and commentary by Ruben Angelici), Cascade Books, Eugene, Oregon, 2011.
[36] Andrea Milano, Persona in Teologia, 336-337.
[37] The Trinity, III, 2.
[38] The Trinity, III, 19.
[39] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 189.
[40] Bdk. Madonia, Cristo Sempre Vivo nello Spirito, 197.
[41] Bdk. Moltman, The Trinity and the Kingdom, 169.
[42] Moltman, The Trinity and the Kingdom, 72.
Komentar 1